Latar Belakang
Mengutip laman Fahum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, reformasi tidak hadir secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari akar persoalan ekonomi, sosial, dan politik yang mendalam. Sejak pertengahan 1997, Indonesia diterpa badai krisis moneter Asia. Nilai tukar rupiah jatuh bebas, harga kebutuhan pokok meroket, dan angka kemiskinan melonjak drastis. Situasi ini menimbulkan gejolak sosial dan memperkuat rasa frustrasi masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap tidak mampu mengelola krisis dan terlalu lama bersandar pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ketidakpuasan rakyat menemukan suaranya melalui gerakan mahasiswa. Di berbagai kota, mahasiswa turun ke jalan, menyuarakan tuntutan reformasi sistem pemerintahan. Demonstrasi berlangsung damai, tetapi eskalasinya tidak dapat dibendung. Puncak tekanan terjadi pada 12 Mei 1998 ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur ditembak dalam aksi damai di Jakarta. Tragedi Trisakti ini mengguncang nurani bangsa dan memicu gelombang demonstrasi yang lebih besar dan meluas.
Desakan publik yang terus membesar, disertai kondisi politik dan sosial yang semakin genting, akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Dalam pidatonya, ia menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden B. J. Habibie. Momen ini menjadi penanda berakhirnya Orde Baru dan awal dimulainya era Reformasi di Indonesia.
Hari Reformasi bukan hanya peristiwa politik. Ia adalah simbol perjuangan rakyat dalam menuntut pemerintahan yang lebih terbuka, adil, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dalam era Reformasi, Indonesia melakukan amandemen terhadap UUD 1945, membatasi masa jabatan presiden, memperkuat lembaga-lembaga negara, serta mendorong penegakan hak asasi manusia dan pemberantasan KKN sebagai agenda utama.
Peringatan 21 Mei bukanlah ritual seremonial belaka. Ia merupakan bentuk penghormatan terhadap keberanian mahasiswa dan rakyat yang mengorbankan kenyamanan demi masa depan bangsa. Semangat Reformasi menjadi pengingat agar nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan keadilan terus dijaga dan tidak kembali dikubur oleh praktik kekuasaan yang menindas.
Dampak Reformasi
Reformasi membawa dampak besar, baik positif maupun negatif. Di sisi positif, transisi ke demokrasi memberikan napas segar dalam sistem politik. Pemerintahan B. J. Habibie membuka ruang reformasi konstitusi, memperkenalkan pemilihan presiden secara langsung, serta menciptakan sistem legislatif yang lebih representatif. Kebebasan pers tumbuh pesat, memungkinkan masyarakat mengakses informasi secara lebih luas dan terbuka.
Namun, di balik euforia perubahan, terdapat luka dan tantangan. Kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998 menyebabkan korban jiwa dan kerusakan besar. Ketegangan etnis dan agama pun meningkat. Krisis ekonomi yang belum mereda membuat pengangguran dan kemiskinan melonjak. Perubahan yang cepat juga menggoyahkan stabilitas lembaga-lembaga pemerintah, menimbulkan tantangan dalam efektivitas tata kelola dan penegakan hukum.
Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak momen bersejarah itu, namun api Reformasi tak boleh padam. Tuntutan akan keadilan, transparansi, dan kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Setiap tanggal 21 Mei, bangsa ini diingatkan bahwa Reformasi adalah warisan perjuangan kolektif, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga dan mewujudkannya dalam kehidupan bernegara.
Era Reformasi adalah cermin tekad bangsa untuk tidak menyerah pada ketidakadilan. Ia adalah kompas yang menuntun Indonesia menuju demokrasi yang lebih dewasa, inklusif, dan berpihak pada rakyat. Maka, memperingati 21 Mei adalah lebih dari sekadar mengenang sejarah, ia adalah ajakan untuk terus menjaga cita-cita bangsa yang pernah diperjuangkan dengan air mata dan darah. [UN]