Tanggal 7 Juni 1999 merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia. Hari itu, rakyat Indonesia untuk pertama kalinya dalam era Reformasi menggunakan hak suaranya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang terbuka, bebas, dan demokratis setelah lebih dari tiga dekade berada dalam cengkeraman rezim Orde Baru.
Pemilu ini tidak hanya menjadi simbol peralihan kekuasaan yang damai, tetapi juga mencerminkan komitmen kolektif bangsa Indonesia untuk membangun sistem demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Melansir laman resmi KPU, berikut rincian sejarah pemilu 1999.
Runtuhnya Orde Baru dan Tuntutan Reformasi
Pemilu 1999 tidak dapat dipisahkan dari runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah menjabat selama 32 tahun, Soeharto akhirnya mengundurkan diri di tengah krisis ekonomi yang melumpuhkan negeri dan tekanan publik yang menggelora di seluruh pelosok Tanah Air. Aksi demonstrasi mahasiswa, kerusuhan sosial, serta hilangnya legitimasi politik dan moral Soeharto menjadi puncak dari akumulasi ketidakpuasan terhadap pemerintahan Orde Baru.
Jabatan presiden kemudian dipegang oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Ia naik ke tampuk kekuasaan dalam situasi transisi yang penuh ketidakpastian. Namun, di tengah tekanan berat, baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional, Habibie mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Salah satu keputusan paling penting yang ia ambil adalah mempercepat pelaksanaan Pemilu, menggantikan hasil Pemilu 1997 yang dinilai tidak mencerminkan suara rakyat secara adil dan demokratis.
Langkah ini merupakan tindakan berani. Sebab, dengan mempercepat pemilu, Habibie tidak hanya menggantikan keanggotaan DPR dan MPR yang lama, tetapi juga memangkas masa jabatannya sendiri yang seharusnya berlangsung hingga tahun 2003. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada presiden yang secara sukarela memangkas masa kekuasaannya demi pembaruan sistem politik nasional.
Reformasi Sistem Politik dan Lahirnya KPU
Sebelum pemilu bisa diselenggarakan, pemerintah terlebih dahulu menyusun kerangka hukum baru yang diperlukan untuk melaksanakan pemilu yang lebih terbuka dan demokratis.
Tiga rancangan undang-undang (RUU) disiapkan: RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilihan Umum, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini dirumuskan oleh sebuah tim yang dikenal dengan nama Tim 7, diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Depdagri, Jakarta.
Setelah melalui pembahasan dengan DPR dan disahkan menjadi undang-undang, Presiden Habibie membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komposisi KPU terdiri atas wakil-wakil partai politik dan perwakilan pemerintah, berbeda dengan masa Orde Baru di mana pemilu dikendalikan penuh oleh pemerintah dan hanya melibatkan tiga partai politik. KPU inilah yang bertugas menyelenggarakan Pemilu 1999.
Salah satu ciri khas Pemilu 1999 adalah jumlah pesertanya yang sangat besar. Sebanyak 48 partai politik turut serta, mencerminkan semangat kebebasan dan keterbukaan politik yang lahir dari era Reformasi.
Ini merupakan lonjakan luar biasa dibandingkan hanya tiga partai yang mengikuti pemilu-pemilu sebelumnya (Golkar, PPP, dan PDI). Padahal, di Departemen Kehakiman dan HAM saat itu tercatat ada 141 partai politik yang terdaftar, namun hanya 48 yang memenuhi syarat untuk ikut serta dalam pemilu.
Partai-partai peserta mencerminkan spektrum politik yang luas: dari nasionalis, Islam, sosialis, hingga partai-partai berbasis kelompok minoritas.
Nama-nama seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), hingga partai-partai kecil seperti Partai Nasional Indonesia Supeni dan Partai Cinta Damai, turut meramaikan kontestasi.
Hari Pemungutan Suara
Pada hari Senin, 7 Juni 1999, jutaan rakyat Indonesia mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk memberikan hak suara mereka. Meskipun persiapannya hanya berlangsung selama beberapa bulan dan situasi nasional masih belum sepenuhnya stabil, pelaksanaan pemilu berjalan relatif damai dan lancar.
Hanya beberapa daerah, khususnya di Sumatera Utara, yang harus menunda pelaksanaan pemungutan suara selama satu pekan akibat keterlambatan pengiriman logistik pemilu. Di luar itu, pemungutan suara berjalan tanpa kekacauan yang berarti—berbeda jauh dari kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi kemungkinan terjadinya bentrokan atau kekerasan massal.
Namun, tantangan tidak berhenti di hari pemungutan suara. Tahap penghitungan dan rekapitulasi suara justru memicu polemik. Sebanyak 27 partai peserta pemilu menolak menandatangani berita acara hasil penghitungan suara dengan alasan bahwa pemilu tidak dilaksanakan secara jujur dan adil (jurdil). Mereka menyatakan keberatan secara kolektif dalam rapat pleno KPU.
Daftar partai yang menolak hasil penghitungan antara lain Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PID, Murba, SPSI, PUMI, dan PSP.
Hasil rapat pleno KPU diserahkan kepada Presiden dan kemudian diteruskan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) untuk diteliti lebih lanjut. Panwaslu akhirnya menyatakan bahwa pemilu sudah sah, dengan alasan mayoritas partai yang menolak tidak menyertakan bukti tertulis atau data konkret atas keberatan mereka. Presiden Habibie pun secara resmi menyatakan bahwa hasil pemilu sah dan berlaku. Hasil resmi pemilu diumumkan pada 26 Juli 1999.
Perseteruan dalam Pembagian Kursi DPR
Setelah hasil pemilu disahkan, tahap berikutnya adalah pembagian kursi DPR. Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) menetapkan bahwa dari 462 kursi DPR yang diperebutkan, mayoritas sebesar 90,26 persen atau 417 kursi dikuasai oleh lima partai besar. Namun, persoalan muncul ketika membahas pembagian kursi sisa (kursi kompensasi) dari suara yang tidak memenuhi ambang batas kursi penuh.
Kelompok delapan partai Islam yang tergabung dalam stembus accoord menuntut agar suara gabungan mereka dihitung sebagai satu entitas dalam pembagian kursi sisa. Mereka mengklaim berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Namun hasil rapat Kelompok Kerja PPI hanya memberikan 40 kursi kepada mereka.
Perselisihan ini dibawa ke forum KPU. Dalam voting, opsi untuk membagi kursi sisa tanpa memperhitungkan stembus accoord mendapat dukungan 43 suara, sedangkan yang mendukung stembus accoord hanya 12 suara. Lebih dari delapan partai memilih untuk walk out dari rapat. Akhirnya, PPI melaksanakan pembagian kursi sesuai keputusan KPU pada 1 September 1999.
Hasil Akhir Pemilu 1999
Berikut hasil perolehan suara dan kursi lima partai besar:
PDI Perjuangan:
Suara: 35.689.073 (33,74%)
Kursi: 153
Golkar:
Suara: 23.741.758 (22,44%)
Kursi: 120
Turun drastis dari 325 kursi pada Pemilu 1997
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa):
Suara: 13.336.982 (12,61%)
Kursi: 51
PPP (Partai Persatuan Pembangunan):
Suara: 11.329.905 (10,71%)
Kursi: 58
Berkurang 31 kursi dibandingkan Pemilu 1997
PAN (Partai Amanat Nasional):
Suara: 7.528.956 (7,12%)
Kursi: 34
Partai-partai kecil lainnya, meskipun banyak dalam jumlah, tidak berhasil memperoleh kursi signifikan. PDI lama misalnya, hanya memperoleh dua kursi merosot tajam dari perolehan sebelumnya.
Pemilu 7 Juni 1999 menjadi momentum penting dalam sejarah bangsa. Ia menandai babak baru dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Dalam waktu yang relatif singkat dan dalam situasi nasional yang penuh tekanan baik politik, ekonomi, sosial maupun internasional bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu yang bebas, damai, dan demokratis.
Keberanian Presiden B.J. Habibie untuk menyelenggarakan pemilu lebih awal, meskipun harus memangkas masa jabatannya, merupakan tindakan luar biasa dalam sejarah kepresidenan. Ia membuka jalan bagi pemilihan pemimpin secara demokratis melalui Sidang Umum MPR. Tak berlebihan jika pemilu ini disebut sebagai pondasi penting bagi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru, sekaligus menjadi model pelajaran berharga dalam transisi kekuasaan yang damai dan sah. [UN]