Tanggal 8 Juni setiap tahun diperingati sebagai hari kelahiran Presiden Soeharto, sosok penting dalam sejarah modern Indonesia. Lahir di Yogyakarta pada 8 Juni 1921, Soeharto dikenal sebagai Presiden kedua Republik Indonesia sekaligus pemimpin dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Indonesia.
Yakni selama 31 tahun 70 hari, dari tahun 1967 hingga 1998. Ia mendapat julukan “The Smiling General” dan juga dijuluki “Bapak Pembangunan” berkat program-program ekonomi dan pembangunan infrastruktur nasional yang ia canangkan selama era Orde Baru.
Masa Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Soeharto dilahirkan di Desa Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada masa penjajahan Belanda. Ia berasal dari keluarga petani sederhana. Ayahnya bernama Kertosudiro, yang bekerja sebagai petani dan juga seorang pembantu lurah, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Namun sejak bayi, Soeharto tidak diasuh langsung oleh kedua orang tuanya. Ia dititipkan kepada seorang dukun bayi bernama Mbah Kromo, yang membantu proses kelahirannya. Setelah kurang lebih empat tahun, Soeharto kemudian diasuh kembali oleh ibunya dan ayah tirinya.
Orang tua kandung Soeharto telah bercerai ketika ia masih kecil, dan masing-masing menikah lagi. Masa kecil Soeharto dilalui dengan penuh keterbatasan dan sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Pendidikan dan Masa Muda
Mengutip berbagai sumber, Soeharto mulai mengenyam pendidikan pada usia delapan tahun, relatif terlambat dibandingkan anak-anak seusianya saat itu. Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di berbagai tempat, seperti di Puluhan, Godean, lalu pindah ke Pedes, dan kemudian ke Wuryantoro dititipkan kepada Prawirohardjo seorang mantri Tani.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Soeharto melanjutkan ke SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun, pendidikannya sempat terputus akibat pendudukan Jepang pada awal 1940-an, saat Jepang mengambil alih Hindia Belanda selama Perang Dunia II.
Soeharto awalnya masuk sekolah guru di Solo pada tahun 1940, namun kemudian memilih untuk bergabung dengan militer. Ia diterima di Sekolah Bintara di Gombong, Jawa Tengah, dan lulus sebagai prajurit. Pada tahun 1941, ia bahkan terpilih sebagai Prajurit Teladan. Sejak kecil, Soeharto memang telah bercita-cita menjadi seorang tentara.
Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air), organisasi militer yang dibentuk Jepang untuk melatih orang Indonesia menjadi prajurit. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda.
Karier militernya terus menanjak. Ia sempat menjadi sersan di tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), lalu menjabat sebagai Komandan PETA, dan kemudian menjadi Komandan Resimen berpangkat Mayor. Setelah itu, ia naik menjadi Komandan Batalyon dengan pangkat Letnan Kolonel.
Salah satu peristiwa yang mengukuhkan reputasinya adalah peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Yogyakarta yang menjadi ibukota Republik Indonesia sedang dikuasai Belanda.
Soeharto memimpin operasi militer untuk merebut kota Yogyakarta dan menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Serangan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa TNI masih memiliki daya tempur dan semangat perjuangan yang tinggi.
Pada masa itu, Soeharto juga menjadi pengawal dari Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam operasi pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda pada awal 1960-an, Soeharto dipercaya menjadi Panglima Komando Mandala yang bermarkas di Makassar.
Menuju Puncak Kekuasaan: Orde Baru
Nama Soeharto semakin dikenal publik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang menewaskan enam jenderal senior TNI AD. Dalam kekacauan tersebut, Soeharto mengambil kendali militer dan memimpin operasi penumpasan gerakan yang dituding sebagai pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peranannya dalam menumpas gerakan ini membawa Soeharto ke panggung kekuasaan nasional. Pada 12 Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkatnya sebagai Pejabat Presiden menggantikan Soekarno. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968, ia resmi menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.
Selama lebih dari tiga dekade memimpin Indonesia, Soeharto menerapkan pemerintahan yang dikenal sebagai Orde Baru. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, swasembada pangan terutama beras, peningkatan taraf hidup, dan pembangunan infrastruktur nasional yang merata.
Melalui program pembangunan jangka panjang yang dikenal sebagai Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Soeharto memprioritaskan sektor pertanian, pendidikan, dan industrialisasi. Ia berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah capaian yang membuatnya mendapat pengakuan dari FAO.
Namun, era Orde Baru juga diwarnai dengan pemerintahan yang sangat terpusat, pembatasan kebebasan pers, pelanggaran HAM, dominasi militer dalam politik, dan berbagai kasus korupsi di lingkungan keluarga serta kroni-kroninya. Tuduhan ini semakin kuat menjelang akhir masa pemerintahannya, terlebih setelah terjadinya krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 yang mengguncang ekonomi nasional.
Tekanan dari rakyat, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat akhirnya memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya masa Reformasi.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah yang lebih dikenal sebagai Ibu Tien Soeharto pada tanggal 27 Desember 1947. Saat itu, Soeharto berusia 26 tahun dan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu:
Siti Hardijanti Rukmana (Tutut)
Sigit Harjojudanto
Bambang Trihatmodjo
Siti Hediati Hariyadi (Titiek)
Hutomo Mandala Putra (Tommy)
Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Keluarga Soeharto cukup dikenal publik, terutama karena beberapa anaknya terlibat dalam dunia bisnis dan politik, serta menjadi sorotan selama dan setelah masa pemerintahan Orde Baru.
Akhir Hayat
Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 di Jakarta dalam usia 86 tahun. Ia dimakamkan secara militer dengan penghormatan kenegaraan. Pemerintah Indonesia menetapkan masa berkabung nasional selama tujuh hari sebagai penghormatan terakhir bagi mantan Presiden Republik Indonesia.
Warisan politik dan kepemimpinan Soeharto menjadi perdebatan hingga kini. Di satu sisi, ia dipuji atas keberhasilan pembangunan nasional, kestabilan ekonomi, dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada. Di sisi lain, ia dikecam karena praktik otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman lawan politik, serta korupsi yang sistematis.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Soeharto adalah figur sentral dalam sejarah Indonesia. Perjalanan hidupnya yang dimulai dari anak petani sederhana hingga menjadi presiden selama lebih dari tiga dekade telah memberikan dampak besar dalam pembentukan arah dan karakter bangsa Indonesia modern. [UN]