Sejarah Indonesia tak lepas dari berbagai titik balik yang membentuk wajah demokrasi hari ini. Salah satunya adalah rangkaian aksi mahasiswa pada penghujung Orde Baru yang menggema di berbagai penjuru tanah air. Di tengah gelombang tuntutan perubahan itu, tragedi tak terelakkan terjadi di sebuah kampus di ibu kota, Tragedi Trisakti. Di sanalah, suara reformasi yang bergemuruh justru dibalas dengan peluru. Tanggal 12 Mei menjadi saksi bisu ketika perjuangan empat mahasiswa harus dibayar dengan nyawa. Peristiwa inilah yang kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, tetap dikenang sebagai salah satu luka terdalam dalam perjalanan reformasi Indonesia.
Tepat hari ini, 12 Mei 2025, Indonesia mengenang kembali peristiwa kelam yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah reformasi, Tragedi Trisakti. Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur tertembak saat menyuarakan tuntutan perubahan. Namun luka sejarah itu tetap terbuka, menjadi pengingat bahwa demokrasi dan kebebasan dibayar dengan darah generasi muda bangsa.
Dikutip dari laman Humas Trisakti, Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Trisakti, turun ke jalan menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Tuntutan ini lahir dari keresahan yang meluas akibat krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak akhir 1997, dipicu oleh gelombang krisis finansial Asia. Nilai rupiah terjun bebas, harga kebutuhan pokok melambung, dan tingkat pengangguran melonjak drastis. Situasi ini memuncak menjadi ketidakpuasan politik dan sosial yang memaksa mahasiswa untuk bertindak.
Mahasiswa Universitas Trisakti memulai aksinya secara damai. Pada siang hari, sekitar pukul 12.30, mereka bergerak dari kampus menuju Gedung Nusantara, kompleks parlemen di Senayan. Namun di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh aparat keamanan yang terdiri dari Polri dan militer. Ketegangan sempat terjadi, dan beberapa perwakilan mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan aparat agar mereka diizinkan melanjutkan aksi.
Namun suasana semakin memanas ketika menjelang sore, tepatnya pukul 17.15, mahasiswa mulai bergerak mundur kembali ke dalam kampus. Di saat itulah, aparat keamanan justru mulai merangsek maju dan melepaskan tembakan ke arah mahasiswa. Suasana berubah kacau. Para mahasiswa panik, berlari mencari perlindungan, sebagian besar kembali ke lingkungan kampus Trisakti.
Sayangnya, di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman itu, empat nyawa muda melayang. Elang Mulia Lesmana (1978–1998), Heri Hertanto (1977–1998), Hafidin Royan (1976–1998), dan Hendriawan Sie (1975–1998) tewas tertembak. Peluru-peluru tajam menembus bagian vital tubuh mereka: kepala, dada, dan tenggorokan. Puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka, dan beberapa dilarikan ke RS Sumber Waras. Hingga malam tiba, suasana Jakarta mencekam.
Pihak keamanan saat itu menyangkal telah menggunakan peluru tajam. Namun hasil otopsi membantah pernyataan tersebut, dimana peluru yang menewaskan keempat mahasiswa terbukti peluru tajam. Diduga peluru-peluru itu merupakan hasil pantulan dari tanah, yang semula ditembakkan sebagai “tembakan peringatan”. Pasukan yang dikerahkan dalam aksi tersebut berasal dari satuan Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, serta pasukan anti huru hara lainnya yang dilengkapi gas air mata, tameng, dan senjata laras panjang seperti Steyr dan SS-1.
Tragedi Trisakti menjadi pemantik dari gelombang demonstrasi dan kerusuhan besar yang melanda Jakarta dan kota-kota lain. Tiga hari kemudian, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah berkuasa selama 32 tahun. Namun, keadilan bagi para korban Trisakti belum pernah benar-benar ditegakkan. Hingga kini, kasus ini masih belum menemukan titik terang di ranah hukum.
Setiap tahun, Universitas Trisakti memperingati tragedi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap para mahasiswa yang gugur demi cita-cita reformasi. Empat nama mereka kini terukir dalam sejarah bangsa, bukan sebagai korban semata, melainkan sebagai martir yang menyerahkan hidupnya demi demokrasi.
Tragedi Trisakti adalah pelajaran pahit bagi negeri ini, bahwa suara rakyat tak selayaknya dibungkam dengan kekerasan, dan bahwa demokrasi sejati menuntut keberanian untuk menghadapi masa lalu dengan jujur. Selama keadilan belum ditegakkan, selama pelaku belum dimintai pertanggungjawaban, luka Trisakti akan tetap menganga dalam ingatan bangsa.[UN]