Soeharto (Foto/Reuters)

DUNIA perburuhan Indonesia tampaknya tak akan pernah melupakan tanggal 8 Mei. Pada hari itu di tahun 1993, seorang buruh perempuan ditemukan meninggal dunia. Marsinah, sang buruh, dibunuh secara keji. Bahkan sampai hari ini pembunuhnya tidak terungkap.

Orde Baru adalah mimpi buruk bagi kaum buruh. Rezim ini tidak sekedar meninggalkan luka hebat pada tragedi dibunuhnya Marsinah; atau nasib Wiji Thukul di Solo yang diculik dan hilang karena dianggap berbahaya mengorganisir buruh-buruh di kawasan kumuh; Juga Muchtar Pakpahan di Sumatera Utara yang dipenjara bertahun-tahun karena mendirikan serikat yang tidak direstui penguasa, serta banyak kisah buruh lainnya.

Rezim pada saat itu memberangus setiap gerakan yang dilakukan buruh. Orde Baru melarang peringatan Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei, dan menghapus istilah “buruh”  yang kemudian diganti dengan “karyawan”. Sejak Maret 1966, yaitu sejak awal kekuasaannya, Soeharto sudah membidik kaum buruh yang jumlahnya sangat banyak, yang jauh lebih banyak dari seluruh tentara yang ada di bawah kekuasaannya.

Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia. Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, beda dengan budaya Barat. Soeharto juga menekankan bahwa warga negara wajib menunjukkan rasa hormat pada pemimpin mereka, sebagaimana anggota keluarga pada kepala keluarga. 

Hal itu diuraikan Leena Avonius and Damien Kingsbury dalam “From Marsinah to Munir: Grounding Human Rights in Indonesia” yang terbit tahun 2008. Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak melakukan mediasi adalah pihak militer. 

Kondisi Perburuhan Pada Masa Orba

Kaum buruh pasti memiliki andil besar dalam perkembangan pembangunan industri dunia, begitu juga halnya di Indonesia. Layaknya yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu negara harus menciptakan masyarakat yang adil dan berkesejahteraan. Namun, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto telah mengkhianati konstitusi tersebut dengan menelantarkan dan menindas buruhnya.

Menurut Soegiri DS dan Edi Cahyono, dalam buku Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru (2003), di masa Orde Baru terdapat kesenjangan pengupahan yang menyebabkan seringnya pemogokan kerja. 

Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap kaum buruh tampaknya didesain dengan sistematis dan represif dengan dalih kemajuan pembangunan. Bukan hanya upah yang rendah dan jam kerja yang panjang, akan tetapi kebebasan berserikat kaum buruh juga ditiadakan. 

SPSI adalah satu-satunya serikat buruh yang resmi dan diakui pemerintah pada waktu itu. Selain SPSI, maka serikat buruh tersebut dianggap sebagai serikat buruh ilegal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 28, ayat 8 tahun 1985, masyarakat telah dijamin kebebasannya untuk berserikat.

Selain menghilangkan kebebasan berserikat, dalam buku Negara dan Ketertindasan Buruh (2001), Abdul Azis menjelaskan, Orde Baru juga menciptakan sebuah konsep bernama Hubungan Industrial Pancasila (HIP) untuk buruh dan perusahaan. Tujuan HIP adalah supaya buruh dan perusahaan dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Namun, HIP sebenarnya merupakan upaya manipulasi sistematis yang sengaja dilakukan untuk melemahkan kaum buruh di bawah kuasa pemodal.

Kebijakan pemerintah Orde Baru yang paling menindas kaum buruh adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja di tahun 1986. Pertama, ada Peraturan Menteri (Permen) No. 342/1986 tentang intervensi militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan. Kedua, Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara seperti lembaga hukum. Ketiga, Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan unit kerja (UK) di perusahaan harus melibatkan pengusaha. Terakhir, Permen No. 04/1986 tentang pemberian izin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). 

Marsinah

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. 

Pada saat itu buruh PT CPS digaji Rp1.700 per hari. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250 per hari. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.

Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tidak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangan pasti akan dipotong.

Negosiasi antara buruh dengan perusahaan PT CPS mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja. Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995), pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja. 

Kala itu reputasi SPSI tergolong buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh. 

Karena Yudo Prakoso koordinator aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Koramil 0816/04 Porong maka akhirnya Marsinah lah yang memegang kendali memimpin protes para buruh. 

Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS pun bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh.

Di Kodim Sidoarjo, Yudo Prakoso diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. 

Esoknya, 5 Mei, ternyata ke-12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Surat panggilan berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak. 

Ke-tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. 

Emosi Marsinah memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja.

Marsinah berani menentang penguasa. Ia tidak takut dengan perusahaannya yang selalu dilindungi militer. Buruh perempuan pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) ini tidak gentar membela hak-hak pekerja yang dirampas oleh pemilik perusahaan.

Hadirnya Marsinah pun dianggap menghambat kemajuan dan produksi di perusahaan. Walaupun Marsinah tidak pernah berniat menjatuhkan perusahaan. Ia hanya meminta apa yang seharusnya menjadi hak para buruh.

Sikap Rezim Orde Baru Terhadap Buruh yang Berani

Tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah hari libur nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. 

Pada 7 Mei buruh pun kembali bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. 

Namun pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Visum pun dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. 

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya didapati serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter. 

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping juga tulang kemaluan bagian kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya.. 

Tak lama kemudian tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan tujuh pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibarengi tindakan kekerasan, semua diseret paksa dan digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo. 

Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum-Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tragisnya tak ada satupun keluarga mereka yang tahu. 

Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, yang bekerja di bagian pengawas umum PT CPS, disiksa dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulang kali. Saat interogasi, kakinya ditindih kaki meja. Kemaluan dan perutnya disundut rokok. 

Soeprapto, 23 tahun, satpam PT CPS dipaksa meminum air kencing petugas militer yang diletakan dalam gayung. Penisnya digebuk pakai seikat sapu lidi dan disetrum. Mulut Soeprapto disumpal celana untuk meredam jeritannya saat disiksa. Kepalanya ditetak dan ketiaknya disulut rokok. 

Rekan Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam, Ahmad Sution Prayogi, 58 tahun, tak bisa mengunyah makanan selama lima hari. Karena giginya dirontokkan aparat Kodam V Brawijaya.

Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal. Mutiari diancam akan ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan diperlihatkan orang lain yang sedang disiksa. Penyiksaan itu menyebabkan Mutiari kehilangan bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan saat itu juga.

Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel lantai salah satu ruangan Kodam V Brawijaya dengan lidah. Di pelataran basis militer teritorial itu, Susanto diminta mencabut rumput dengan mulut. Aparat militer pun tak segan meludah ke mulutnya, lalu Susanto diminta menelan ludah itu. Pernah juga Susanto muntah karena disuruh mengunyah kain lap kompor, lalu dia diminta cuci muka dengan air muntahnya sendiri. 

Tujuan dari penyiksaan itu adalah agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah!

Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya.

Kesaksian Ahli Forensik

Almarhum Abdul Mun’im Idries, ahli forensik, yang pada waktu itu merupakan dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum. 

Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial. Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang bukti proses peradilan janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.

Idries menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan tembakan senjata api. “Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?” ungkap Idries dalam tayangan Mata Najwa: X-File edisi 18 September 2013. “Pelakunya siapa yang punya akses senjata,” lanjut Idries. “Kita kan enggak bebas memiliki senjata.” 

Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tidak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam penelitian Iyut Qurniasari dan I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika Budaya Universitas Jember berjudul “Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995”. Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tidak pernah diungkap oleh pengadilan. 

“Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan tanggung jawab pihak militer atas pembunuhan itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya, Indonesia: Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru. 

Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua terdakwa secara bengis disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah “Pengalaman yang getir, menyakitkan dan paling mengerikan serta menakutkan,” kata Soerjadi saat menerima Yap Thiam Hien Award untuk Marsinah di Jakarta pada 10 Desember 1994. [S21]