Langit mulai berwarna jingga, suara azan berkumandang dari kejauhan, dan perlahan suasana di perkampungan berubah. Bagi sebagian masyarakat di tanah Jawa, waktu magrib bukan sekadar penanda malam akan tiba tapi juga waktu yang diselimuti beragam mitos dan larangan yang dipercaya secara turun-temurun.
Di banyak rumah, orang tua masih sering mengingatkan anak-anak untuk tidak main di luar waktu magrib. Seolah tak ada ruang untuk tawar-menawar, bahkan ketika permainan sedang seru-serunya. Saat adzan berkumandang, semua anak-anak harus pulang.
Konon, pada saat itulah makhluk halus seperti iblis, wewe gombel, atau Ummu Sibyan mulai berkeliaran. Mereka dipercaya bisa mengganggu, bahkan menculik anak-anak yang masih berkeliaran di luar. Terlepas dari wujud makhluk-makhluk itu yang tak pernah benar-benar terlihat dengan mata telanjang, peringatan ini membuat banyak anak buru-buru pulang saat senja mulai turun.
Tak hanya itu. Tidur menjelang magrib juga dianggap membawa dampak buruk. Katanya bisa membuat tubuh lemas saat bangun, atau mengalami “ketindihan” sebuah kondisi seperti terjaga namun tak mampu bergerak, yang oleh sebagian orang dikaitkan dengan gangguan gaib. Meskipun fenomena ketindihan ini ada dalam penjelasan medis yang disebut sleep paralysis. Kondisi di mana seseorang merasa tidak bisa bergerak atau berbicara saat terbangun dari tidur atau menjelang tidur. Namun, ada pula yang mengaitkan larangan ini dengan keberkahan yang bisa terlewat jika seseorang tertidur saat waktu ibadah tiba.
Beberapa larangan lain juga beredar, seperti tidak menyapu atau menyisir rambut menjelang malam. Meski terkesan sepele, larangan ini punya latar belakang yang cukup menarik. Ada yang meyakini bahwa aktivitas-aktivitas ini bisa mengusik makhluk halus yang “sedang lewat” atau “beristirahat”. Sekilas terdengar mistis, tapi jika ditelaah lebih dalam, banyak dari larangan ini sebenarnya mengarah pada upaya menciptakan suasana rumah yang tertib, tenang, dan sakral menjelang malam.
Dibalik semua mitos itu, tersimpan nilai-nilai kearifan lokal. Waktu magrib adalah momen penting, terutama dalam tradisi Islam, di mana umat diingatkan untuk kembali ke rumah, membersihkan diri, dan melaksanakan shalat. Maka tidak heran jika banyak larangan menjelang magrib justru menjadi cara tak langsung orang tua mengarahkan keluarga untuk fokus pada ketenangan, ibadah, dan kebersamaan di rumah.
Di sisi lain, larangan seperti “jangan keluar rumah saat magrib” juga bisa dipahami sebagai bentuk pencegahan terhadap bahaya nyata, seperti rawannya kejahatan saat malam tiba, atau risiko anak-anak hilang dari pengawasan. Mitos, dalam hal ini, menjadi media komunikasi yang lembut tapi kuat, untuk menjaga anggota keluarga dari kemungkinan yang tak diinginkan.
Namun, seiring waktu dan perubahan gaya hidup, tidak sedikit orang yang mulai mempertanyakan ulang mitos-mitos ini. Apakah semua larangan itu harus dipercaya mentah-mentah? Jawabannya: tidak selalu. Mitos memang bagian dari budaya, tapi rasionalitas juga penting. Tidak perlu takut berlebihan, apalagi sampai mengganggu akal sehat. Selama seseorang tetap menjaga keselamatan, ibadah, dan kedisiplinan, maka makna sejati dari mitos itu telah dijalankan.
Magrib tidak harus dipenuhi ketakutan. Justru bisa menjadi momen yang indah, waktu berkumpul bersama keluarga, memperkuat ikatan, dan menenangkan hati setelah seharian beraktivitas. Di balik cerita tentang wewe gombel atau larangan menyisir rambut, tersimpan pesan yang hangat yaitu waktu senja adalah waktu untuk pulang bukan hanya ke rumah, tapi juga ke dalam diri. [UN]