Gunung Chimborazo. (Wikipedia)

Gunung Chimborazo, sebuah stratovolcano yang menjulang megah di wilayah Ekuador, Amerika Selatan, menyimpan beragam keunikan geografis, budaya, dan ekologis yang menjadikannya salah satu gunung paling istimewa di dunia. Terletak sekitar 150 kilometer barat daya dari ibu kota Quito, Chimborazo menjadi titik tertinggi di negara ini sekaligus titik terjauh dari pusat Bumi, sebuah fakta yang menjadikannya subjek penting dalam kajian ilmiah dan budaya lokal.

Lokasi dan Karakteristik Fisik

Gunung Chimborazo terletak di bagian barat Ekuador dan merupakan bagian dari pegunungan Andes, tepatnya dalam jajaran Cordillera Occidental. Mengutip berbagai sumber, Gunung ini diklasifikasikan sebagai stratovolcano, yaitu gunung berapi kerucut yang terbentuk dari lapisan lava dan abu vulkanik. Meskipun kini tergolong tidak aktif, letusan terakhirnya diperkirakan terjadi sekitar tahun 550 Masehi.

Chimborazo memiliki ketinggian yang tercatat bervariasi antara 6.263 hingga 6.310 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian ini, ia dinobatkan sebagai puncak tertinggi di Ekuador.

Secara umum, gunung tertinggi di dunia dikenal sebagai Gunung Everest, jika diukur dari permukaan laut. Namun, dari perspektif yang berbeda yakni dari pusat Bumi Chimborazo justru memegang rekor. Hal ini disebabkan oleh bentuk Bumi yang tidak bulat sempurna, melainkan pepat di kutub dan menonjol di khatulistiwa. Karena Chimborazo berada sangat dekat dengan garis khatulistiwa, maka jarak dari puncaknya ke pusat Bumi adalah sekitar 6.384 kilometer, menjadikannya sekitar 2 kilometer lebih jauh daripada puncak Everest yang berjarak sekitar 6.382 kilometer.

Dengan demikian, secara teknis, Chimborazo adalah “gunung tertinggi di dunia” jika diukur dari pusat Bumi, meskipun bukan dari permukaan laut.

Etimologi dan Makna Budaya

Nama “Chimborazo” diyakini berasal dari bahasa Quechua, meskipun terdapat beberapa versi dalam interpretasinya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa nama ini berarti “sisi yang bersalju.” Versi lain menggabungkan kata chinpu yang berarti “panas membara” dan razu yang berarti “salju putih,” sehingga secara metaforis menggambarkan kontras alam yang melekat pada gunung tersebut. Ada pula interpretasi lain yang mengartikannya sebagai “salju nun jauh di sana.”

Dalam kehidupan spiritual dan budaya masyarakat setempat, Chimborazo memiliki peran penting. Bangsa Inka yang dahulu mendiami wilayah ini menjadikan gunung tersebut sebagai tempat suci. Mereka melakukan ritual pengorbanan di puncaknya sebagai bentuk penghormatan kepada roh gunung, yang dianggap sebagai pemberi air dan kehidupan.

Dalam sistem kepercayaan masyarakat adat, Chimborazo disebut sebagai “Taita” atau “ayah,” dan secara simbolik dipasangkan dengan Gunung Tungurahua yang disebut “Mama” atau “ibu.” Keduanya dipandang sebagai figur spiritual yang menjaga keseimbangan alam dan menjadi sumber keberlangsungan hidup.

Puncak Chimborazo diselimuti salju abadi dan glasier yang membentang hingga ketinggian sekitar 4.600 meter dari puncak. Glasier ini memainkan peran krusial sebagai sumber air utama bagi masyarakat yang tinggal di Provinsi Bolívar dan Chimborazo. Lelehan es tersebut mengalir menjadi sungai-sungai yang mengairi pertanian dan memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk.

Di lereng gunung, kawasan lindung bernama Reserva Faunística de Chimborazo didirikan sebagai upaya pelestarian ekosistem lokal. Cagar alam ini menjadi habitat alami bagi satwa khas Andes seperti vikuna, llama, dan alpaka. Ketiga hewan tersebut merupakan bagian penting dalam kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat pegunungan, terutama karena bulunya yang bernilai tinggi.

Namun demikian, kondisi glasier di Chimborazo kini menghadapi ancaman serius. Volume es yang menyelimuti puncak gunung terus menurun akibat berbagai faktor, seperti pemanasan global, letusan gunung berapi tetangga seperti Tungurahua, serta fenomena El Niño yang menyebabkan anomali iklim. Penyusutan glasier ini tidak hanya mengancam ekosistem pegunungan, tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat yang menggantungkan hidup pada air lelehan es tersebut.

Sejarah Pendakian: Dari Humboldt hingga Whymper

Keindahan dan keunikan Gunung Chimborazo telah menarik perhatian para ilmuwan dan penjelajah sejak berabad-abad lalu. Salah satu tokoh paling terkenal yang pernah menjelajah gunung ini adalah Alexander von Humboldt, seorang naturalis asal Jerman. Pada awal abad ke-19, Humboldt bersama timnya mencoba mencapai puncak Chimborazo, namun hanya berhasil mencapai ketinggian hampir 6.100 meter karena kendala ketinggian dan kondisi fisik yang ekstrem.

Pendakian pertama yang sukses hingga ke puncak dilakukan pada tahun 1880 oleh Edward Whymper, pendaki asal Inggris, bersama dua pemandu asal Italia, Louis dan Jean-Antoine Carrel. Keberhasilan mereka menandai tonggak sejarah penting dalam dunia pendakian gunung dan membuka jalan bagi generasi pendaki berikutnya.

Hingga saat ini, Chimborazo tetap menjadi tujuan populer bagi para pendaki dari seluruh dunia. Meski jalur pendakiannya lebih pendek dibandingkan Everest, tantangan tetap besar karena ketinggian ekstrem dan cuaca yang berubah drastis dalam waktu singkat.

Tak hanya sebagai medan uji fisik, Chimborazo juga menjadi lokasi riset penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Studi tentang geografi, ekologi, dan perubahan iklim banyak dilakukan di kawasan ini, menjadikan Chimborazo laboratorium alam yang terus memberikan pemahaman baru tentang planet kita. Dari zaman Humboldt hingga era modern, gunung ini tetap menjadi inspirasi bagi ilmuwan, penulis, dan pencinta alam. [UN]