Ilustrasi Perawatan kulit. (Sumber: Unsplash)
Ilustrasi Perawatan kulit. (Sumber: Unsplash)

Di era digital ini, media sosial tidak hanya menjadi tempat berbagi informasi, tetapi juga ruang yang membentuk standar kecantikan baru. Dari tren glass skin ala Korea, tubuh ala Kardashian, hingga kulit glowing tanpa pori, semua seolah menjadi standar yang harus dipenuhi. Filter, editing, serta algoritma yang hanya menampilkan wajah-wajah “sempurna” membuat banyak orang merasa kurang percaya diri dengan kondisi alami mereka.

Namun, pertanyaannya adalah, apakah standar kecantikan ini benar-benar berasal dari keinginan perempuan sendiri, atau sekadar konstruksi yang dibuat oleh industri kecantikan dan media untuk terus mengendalikan pasar?

Skincare Instan: Ilusi yang Menyesatkan

Fenomena ini semakin diperparah dengan tren skincare dan kosmetik yang menjanjikan hasil instan. Banyak orang yang terpengaruh oleh kecantikan sempurna di media sosial akhirnya mencari cara cepat untuk mendapatkan kulit mulus tanpa mempertimbangkan keamanan produknya.

Krim pemutih dengan kandungan merkuri, serum dengan bahan kimia keras, hingga perawatan abal-abal yang tidak memiliki izin resmi, semuanya laris di pasaran. Iklan-iklan di TikTok dan Instagram memperkuat ilusi bahwa kecantikan bisa diperoleh dalam hitungan hari. Padahal, kenyataannya, penggunaan produk berbahaya ini justru merusak kesehatan kulit dalam jangka panjang yang menyebabkan iritasi, kulit menipis, hingga hiperpigmentasi yang sulit diatasi.

Ironisnya, banyak korban “gagal cantik” yang mengalami kerusakan kulit akibat produk instan justru kembali membeli lebih banyak produk lain untuk menutupi kerusakan tersebut. Ini menciptakan siklus konsumtif yang merugikan, di mana perempuan terus-menerus merasa kurang puas dengan penampilannya dan bergantung pada industri kecantikan yang mengeksploitasi rasa insekuritas mereka.

Mendapatkan Kulit Sehat Tidak Bisa Instan

Mendapatkan kulit sehat bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dalam semalam. Kulit manusia memiliki siklus regenerasi alami yang membutuhkan waktu, umumnya sekitar 28 hari bagi sel-sel kulit untuk beregenerasi. Bahkan, perawatan kulit yang benar biasanya membutuhkan waktu minimal 6-12 minggu untuk menunjukkan hasil yang nyata.

Dokter kulit dan ahli dermatologi selalu menekankan bahwa merawat kulit adalah proses jangka panjang yang memerlukan konsistensi. Penggunaan bahan aktif seperti retinol, niacinamide, dan vitamin C memang bisa membantu memperbaiki kondisi kulit, tetapi tetap membutuhkan waktu dan pemakaian yang tepat.

Jika memang ada produk yang bisa memberikan hasil “seketika”, maka patut dicurigai kandungannya. Banyak krim pemutih yang mengandung merkuri atau hidrokuinon dosis tinggi, yang mungkin membuat kulit tampak lebih cerah dalam waktu singkat, tetapi di balik itu, mereka bisa menyebabkan iritasi parah, kulit menipis, hingga efek samping jangka panjang seperti kanker kulit.

Logikanya, jika memang ada skincare yang bisa memberikan efek putih dan glowing dalam waktu singkat, dokter kecantikan pasti sudah bangkrut. Faktanya, dokter kecantikan masih sangat dibutuhkan karena kesehatan kulit memerlukan pendekatan medis, bukan hanya sekadar skincare pasaran yang diklaim mampu mengubah wajah dalam hitungan hari.

Banyak orang tidak menyadari bahwa industri kecantikan sebenarnya berjalan dengan mengeksploitasi rasa tidak percaya diri. Iklan-iklan kosmetik selalu menampilkan model dengan kulit mulus sempurna, tanpa jerawat, tanpa bekas luka, tanpa kantung mata—membuat banyak orang berpikir bahwa itulah standar normal kecantikan.

Akibatnya, muncul pola pikir bahwa memiliki tekstur kulit, pori-pori besar, atau warna kulit yang tidak merata adalah “kesalahan” yang harus diperbaiki dengan produk tertentu. Padahal, kondisi tersebut sangat wajar dan alami.

Lebih parah lagi, tren ini membuat banyak orang semakin konsumtif dan mudah tergiur oleh klaim bombastis. Produk dengan embel-embel “bisa memutihkan dalam 3 hari”, “kulit glowing seketika”, atau “menghilangkan jerawat dalam semalam” seharusnya menjadi red flag yang perlu diwaspadai.

Kecantikan Sejati adalah Merawat Diri dengan Realistis

Alih-alih mengejar kecantikan instan yang berisiko, bukankah lebih baik fokus pada kesehatan kulit dan tubuh yang sesungguhnya? Berikut adalah beberapa hal yang perlu disadari agar kita tidak terjebak dalam ilusi kecantikan yang dipaksakan oleh media sosial:

Setiap orang memiliki jenis kulit yang berbeda, jadi produk yang cocok untuk orang lain belum tentu cocok untuk kita.
Proses perawatan kulit membutuhkan waktu, tidak ada hasil instan yang benar-benar aman.

Filter dan editing di media sosial membuat standar kecantikan menjadi tidak realistis, jadi jangan mudah membandingkan diri sendiri dengan orang lain di internet.
Dokter kulit dan dermatolog lebih memahami kebutuhan kulit daripada iklan skincare, jadi jika ingin hasil maksimal, lebih baik berkonsultasi dengan ahlinya.

Pada akhirnya, kecantikan bukan hanya tentang penampilan, tetapi juga tentang bagaimana kita merasa nyaman dan percaya diri dengan diri sendiri. Kita tidak perlu memenuhi standar yang ditetapkan oleh media sosial atau industri kecantikan, karena definisi kecantikan sejati adalah ketika kita menerima dan merawat diri dengan cara yang sehat dan realistis. [UN]