Koran Sulindo – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia disebut bergerak lambat, bahkan cenderung tidak bergerak dalam beberapa waktu terakhir. Fenomena itu, menurut Transparency International Indonesia (TII), disebabkan oleh dua faktor.

Sekjen TII Dadang Trisasongko mengatakan, dua faktor itu adalah korupsi di lembaga penegak hukumnya dan korupsi di hubungan antara politikus dan pebisnis. Kendati demikian, faktor pertama, dalam pengamatan Dadang sudah mengalami perbaikan.

“Itu tampak dari tekad pimpinan lembaga penegak hukum di Indonesia untuk mulai mereformasi kelembagaannya,” tutur Dadang seperti dikutip kompas.com pada Rabu (2/5).

Selanjutnya, untuk faktor kedua, seperti yang diungkapkan Dadang menjadi kendala utama hari ini. Pasalnya, aktivitas kejahatan korupsi hari-hari ini selalu melibatkan politikus dan pengusaha. Dengan demikian, siapa pun yang memerintah, politkus sudah berhubungan erat dengan pebisnis.

Celakanya hubungan itu bersifat koruptif sehingga baik anggota parlemen dan pejabat pemerintahan acap terlibat dalam kasus korupsi. Ia lalu mencontohkan korupsi proyek KTP elektronik dimana hubungan politikus, pebisnis dan pejabat pemerintahan bersekongkol untuk korupsi.

Apa yang dipaparkan Dadang itu sudah lama menjadi perhatian John Perkins dalam bukunya yang berjudul Confessions of an Economic Hitman yang diterbitkan pada 2004. Perkins menyebutkan sistem pemerintahan yang dikuasai para konglomerat sebagai korporatokrasi. Ia mendefinisikan korporatokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan beberapa korporat.

Mereka – para korporat itu – umumnya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam suatu negara. Para korporat ini juga umumnya membiayai para politikus, pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Kebijakan yang muncul dari sistem seperti ini hanya akan menguntungkan para konglomerat dan menindas golongan masyarakat yang lemah.

Kembali pada pandangan Dadang mengenai kejahatan korupsi. Dalam tahun politik ini, Dadang memperkirakan, potensi kejahatan korupsi akan meningkat. Itu sebabnya, ia mengimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum lainnya untuk mengawasi proses pembahasan anggaran dan perizinan usaha di daerah-daerah.

Ini menjadi penting untuk diwaspadai, kata Dadang. Untuk partai politik, ia berpesan agar terus berbenah dan memerbaiki tata kelola keuangan anggaran internal. Pasalnya, sebagai lembaga publik, partai mesti menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ditambah lagi subsidi dari pemerintah terus meningkat.

Di samping dua faktor itu, Dadang juga menyoal tentang Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Antikorupsi yang tidak kunjung diterbitkan pemerintahan Joko Widodo. Ia menunggu itu, karena selama Jokowi memerintah Perpres tersebut belum pernah keluar. Karena itu, strategi antikorupsi nasional masih mengacu kepada strategi masa Susilo Bambang Yudhoyono.

“Padahal dengan strategi baru, upaya pemberantasan korupsi akan semakin efektif, terutama pencegahannya. Kalau bisa dalam waktu sebulan, itu keluar sehingga bisa menjadi pedoman utama jajaran pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dari situ pula IPK akan ditentukan targetnya sampai 2019. Kalau masa SBY kan tidak capai target,” kata Dadang. [KRG]