Soekarno bersama para pemimpin dunia di Konferensi Asia Afrika.

Koran Sulindo – Bakal sulit membayangkan ada bangsa setangguh dan heroik melebihi orang-orang Suriah.

Mereka harus menghadapi persekutuan paling kuat di dunia yang terdiri dari semua negara kolonialis tradisional dan neo-kolonialis.

Di sisi yang lain mereka juga harus menghadapi inovasi Barat terkeji dan paling mematikan berupa kelompok ekstrimis dan gerombolan barbar pasca dan pseudo-Islam.

Hanya tekad yang luar biasa yang membuat orang-orang Suriah tetap berdiri melawan semua yang memusuhinya termasuk di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel atau daerah perbatasan di utara yang terus dijarah Turki.

Suriah adalah ajang perang paling mengerikan yang tak seimbang.

Kota-kota bersejarah seperti Aleppo dan Palmyra tumbang dalam reruntuhan atau abu. Apa yang sebelumnya gagal dihancurkan oleh tentara salib Eropa, kini benar-benar runtuh di bawah serangan imperialis.

Sementara itu jutaan orang Suriah mengalami enam tahun teror mematikan, pembantaian dan intimidasi skala penuh agen jihadis yang ditanam Barat dan sekutu regionalnya, Arab Saudi dan Qatar.

Sama seperti Moammar Gaddafi di Libya atau Saddam Hussein di Irak yang konsisten melawan kolonialisme Barat, Bashar al Assad  dan rakyat Suriah yang menolak hegemoni itu dihancurkan dan dibantai tanpa ampun.

Sepanjang sejarahnya, Barat tidak pernah memaafkan ‘ketidaktaatan’ dan balasannya bisa  dalam bentuk apa saja.

Nyatanya atas semua masalah itu toh Suriah nyatanya masih berdiri!

Metode teror fundamentalis, sejauh ini menjadi yang paling brutal yang pernah diimplementasikan dan menjadi penyebab ratusan ribu orang Suriah kehilangan nyawa. Dengan setiap hari baru jumlah itu bertambah dengan mengerikan.

Orang-orang Suriah dibuat menderita karena menolak tunduk atau melacurkan diri. Mereka juga tak pernah meminta para penyiksanya berhenti dan memungkinan penjajah mengambil segala sesuatu di atas dan di bawah permukaan buminya.

Sebagian besar rakyat Suriah memahami satu hal; lebih baik mati berdiri daripada hidup dalam belenggu dan berlutut pada seseorang atau dikendalikan negara-negara kolonialis kleptomaniak Barat!

Ada dua hal sederhana yang terus menerus diabaikan Barat, pertama ketika Damaskus mengundang Moskow untuk membantunya memerangi ISIS dan gerombolan terror lain, itu adalah undangan pemerintah yang sah. Tidak ada yang mengundang Barat di Suriah, kecuali mungkin mereka diundang kelompok teror yang pura-pura ‘diperanginya’.

Kedua, Suriah memerangi penjajah asing yang berniat menghancurkan salah satu negara tertua di dunia sekaligus menguasai seluruh Timur Tengah.

Ya, ini membuat Suriah berada di garis depan pertempuran melawan imperialisme Barat. Begitu juga dengan Rusia, Iran atau China,

Berharap pada bangsa Timur Tengah? Lupakanlah, negara-negara di sekitar Suriah sudah lama terkubur abu dan tidak lagi menggenggam kemerdekaannya.

Berapa banyak lagi nyawa harus dikorbankan untuk agar sebuah negara seperti Suriah tetap bertahan? Dan bagaimana bisa seluruh dunia hanya berdiri menonton menyaksikan neraka itu dan di mana Indonesia berdiri?

Solidaritas

Menyebut dengan eksplisit seruan menghapuskan penjajahan di seluruh dunia dalam konstitusi, politik Indonesia justru ‘membelenggukan’ diri pada dogma yang diklaimnya sebagai bebas aktif.

Jakarta tak pernah sekalipun terang-terangan mengutuk invasi Barat di Suriah.

Paling banter yang bisa dilakukan terbatas pada pengulangan seruan-seruan normatif seperti mengecam penggunaan senjata kimia atau mengimbau semua pihak menahan diri untuk mencegah eskalasi.

Memudarnya solidaritas menjadi satu-satunya penjelasan mengapa Indonesia tak pernah lagi terlibat aktif berpartisipasi menyelesaikan masalah-masalah internasional.

Ini sikap lembek yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Dasasila Bandung yang dirumuskan Konferensi Asia Afrika.

KAA yang menjadi cikal bakal Gerakan Non-Blok itu dianggap sebagai titik balik bangsa-bangsa Asia-Afrika atas struktur lama yang menindas. Solidaritas Asia-Afrika itulah yang mematahkan dominasi blok adikuasa, baik di PBB, maupun forum-forum internasional lainnya.

Pada konferensi 63 tahun silam itu, Menteri Luar Negeri Suriah Khalid El Azm yang mewakili Suriah terang-terangan menunjukkan pembelaan pada Indonesia terkait masalah Papua Barat.

Ia dengan tegas menyebut Papua Barat sebagai warisan imperialisme yang dengan runtuhnya Hindia Belanda otomatis menjadi bagian Indonesia.

Utusan Suriah itu juga menyinggung masalah Afrika Utara di Maroko dan Tunisia yang disebutnya dalam kondisi sangat menyedihkan karena penjajahan tetap menjadi realitas di Afrika dan Asia termasuk Palestina.

Pada pidato itu El Azm juga mengingatkan bahwa Israel yang didirikan di tanah Palestina tak pernah memiliki akar pada Asia ataupun Afrika. Ia juga menyebut “Israel adalah pos terdepan imperialisme.”

Kekhawatiran El Azm itu sebelumnya sudah dikumandangkan Bung Karno saat menyampaikan pidato selamat datang pada acara yang sama.

Dalam pidato itu Bung Karno mendesak agar bangsa-bangsa di Asia dan Afrika jangan melihat kolonialisme dalam bentuknya yang klasik seperti yang selama ini dikenal.

Kolonialisme, disebutnya bisa bersalin baju apa saja termasuk penguasaan ekonomi dan intelektuil. Ini tentu saja juga mencakup penguasaan materiil sekumpulan kecil orang-orang asing di tengah-tengah massa rakyat yang melarat.

Menurut Bung Karno, kolonialisme gaya baru inilah yang menjadi musuh paling licin dan tabah karena kemampuannya menyaru dengan berbagai cara dan tak pernah sukarela melepaskan mangsanya.

Bagi Bung Karno, di mana, bilamana dan bagaimanapun kolonialisme adalah hal yang jahat yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Garis Hidup

Pada pidato itu Bung Karno juga menyampaikan pemikirannya tentang ‘garis hidup imperialisme’ yang membentang dari Selat Gibraltar melalui Laut Tengah, Terusan Zues, Laut Merah, Samudera Hindia, Laut China Selatan hingga Laut Jepang.

Sepanjang garis itu hampir semuanya bangsa adalah daerah jajahan atau setidaknya pernah dijajah. Rakyatnya tidak merdeka sementara masa depan tergadaikan pada sistem asing.

Menurut Bung Karno, di sepanjang garis itu terpompalah darah kehidupan kolonialisme dari urat nadi imperialisme.

“Dan pada hari ini, di dalam aula ini berkumpulah pemimpin bangsa yang telah disebutkan tadi. Mereka bukan lagi korban penjajahan. Mereka bukan lagi korban dari permainan kekuasaan yang tidak dapat mereka pengaruhi. Hari ini anda telah menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka,” kata Bung Karno.

Bung Karno menyebut Sturm uber Asien juga harus berlaku atas Afrika dan menjadi faktor pendorong perubahan-perubahan hebat. Bangsa-bangsa di wilayah ini mesti bangun tidurnya beradad-abad dengan mengenyahkan sikap pasif menjad sikap perjuangan.

Kekuatan dahsyat yang mengganti wujud mental, spiritual dan politis Benua Asia dan Afrika dan proses tersebut masih akan terus berjalan dengan syarat baru, konsepsi baru, masalah baru dan cita-cita baru.

Badai kebangkitan nasional dan pembangunan kembali mengamuk di penjuru duni, dan merombaknya supaya menjadi lebih baik.

“Dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal 18 April 1775, tepat seratus delapanbelas tahun yang lalu,” kata Bung Karno.

Tanggal itu, kata Bung Karno, adalah hari ketika Paul Revere mengendarai kuda di tengah malam melalui distrik New England memberitahukan kedatangan pasukan Inggris yang menjadi awal mula Perang Kemerdekaan Amerika.

Inilah perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan.

Menurutnya perjuangan yang bermula dari 180 tahun lalu itu belum mendapat kemenangan sempurna. Ia tak akan mencapai kemenangan sempurna sebelum kolonialisme mati.

“Jadi, saya bukannya tak berkepentingan kalau saya bicara tentang perjuangan melawan kolonialisme. Bagaimana siapa pun di antara kita ini dapat tidak berkepentingan tentang perdamaian?” kata Bung Karno.

Peperangan bukan hanya akan berarti ancaman terhadap kemerdekaan namun sekaligus bisa berarti berakhirnya peradaban bahkan berakhirnya kehidupan umat manusia.

Bagi Bung Karno, tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian karena tanpa perdamaian kemerdekaan tak banvak faedahnya.

Pemulihan dan pembangunan negeri kita akan sedikit sekali artinya sementara revolusi tak akan mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya.

“Apa yang dapat kita perbuat? Bangsa-bangsa Asia dan Afrika hanya mempunyai kekuasaan materiil yang kecil belaka. Bahkan kekuatan perekonomiannya sangat rapuh dan lemah,” kata Bung Karno.

Diplomasi negara-negara yang baru merdeka bukan diplomasi dengan berpentung besar. Namun, tanpa sokongan deretan pembom jet yang kompak bukan berarti lantas bangsa-bangsa tak dapat berbuat banyak.

Suara budi bisa disuntikkan pada urusan-urusan duniawi dengan memobilisir semua kekuatan spirituil, moril dan politis Asia dan Afrika untuk kepentingan perdamaian.

“Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika, berkekuatan 1400.000.000 jiwa, jauh melebihi setengahnya jumlah penduduk dunia. Kita dapat menggerakkan apa yang saya namakan Paksaan Moril Bangsa-bangsa untuk kepentingan perdamaian,” kata Bung Karno kala itu.

Propaganda

Menurut Bung Karno, bangsa-bangsa Asia-Afrika harus sanggup menunjukkan kepada dunia yang hidup di ketiga benua lainnya itu bahwa mereka properdamaian, bukannya pro perang, dan bahwa kekuatan apa saja yang ada pada selalu dipertaruhkan untuk perdamaian.

“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin,” kata Bung Karno.

Ia berharap konferensi bakal memberikan pedoman sekaligus menunjukkan kepada dunia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian.

“Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”

Ya, apa yang dibayangkan Bung Karno dan para pemimpin Konferensi Asia-Afrika tentang solidaritas itu benar-benar maujud menjadi kenyataan. Bandung benar-benar menjadi panggung bagi banyak tokoh dari berbagai negara bangsa yang baru merdeka. Tidak saja dari Asia, pemimpin yang datang dari Afrika.

Delegasi Sudan misalnya, meski kala itu belum sepenuhnya merdeka kedatangannya mereka ke Bandung menunjukkan keinginannya kuat menentukan nasibnya sendiri. Para utusan itu bahkan tampil dramatis tanpa bendera.

Karena itulah panitia membuatkan bendera dengan bentangan kain yang bertuliskan Sudan. Ya, ide-ide radikal dalam spirit KAA itu memang benar-benar nyata.

Semangat Bandung juga terbukti menginspirasi banyak negara untuk memerdekakan negerinya. Tercatat 25 negara di wilayah Asia-Afrika memproklamirkan kemerdekaannya yang memicu perubahan geopolitik dunia.

Tetapi apa gerombolan ekspansionis dari kubu imperialisme diam saja. Tidak. Melalui pengaruh langsung atau tidak langsung Barat berkepentingan untuk ‘membunuh’ Semangat Bandung.

Di Asia, Perdana menteri Burma U Nu dikudeta Jenderal Ne Win tahun 1962. Moh Ali meninggal tahun 1963 dan Nehru meninggal setahun berikutnya. Bella, Nkurmah dan Sukarno  di kudeta militer antara tahun 1965-1966.

Di Afrika kondisi serupa juga terjadi. Patrice Lumumba dari Kongo dikudeta dan dibunuh tahun 1961 sementara Sylvano Olympio dari Togo dikudeta dan terbunuh dua tahun kemudian.

Hal serupa terjadi pada Abubakar Balewa dari Nigeria tahun 1966. Modeibo Keita dari Mali dikudeta dan dipenjara tahun 1968. Dan Nasser meninggal karena serangan jantung pada tahun 1970.

Kepergian tokoh-tokoh KAA dan tampilnya militer dalam politik lokal dan internasional dengan segera membuat era Bandung berakhir.

Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Belanda, Spanyol, Portugal, dan lainnya, memiliki pengalaman berabad-abad bagaimana memecah belah bangsa-bangsa. Termasuk mencuci otak populasi mereka sendiri dan bahkan beberapa korban mereka! (TGU)