Di era kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke 19, di Surakarta dan Yogyakarta terdapat empat kerajaan yang ‘mandiri’ di bawah kekuasaan kolonial.

Di Surakarta ada Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran sementara di Yogyakarta terdapat Kasultanan dan Pakualaman.

Selain sama-sama ciptaan kolonial, keempat kerajaan itu berebut klaim sejarah sebagai penerus yang sah dari Mataram. Belanda menyebutnya sebagai vorstenlanden  atau wilayah raja-raja.

Di era bangkitnya pergerakan di Hindia, keluarga kerajaan Jawa memang tak terlalu dihargai di kalangan para aktivis. Monarki dianggap sebagai perangkat kuno dan ketinggalan zaman.

Salah satu tokoh pergerakan yang ketidaksukaan menjadi legenda adalah Tjipto Mangunkusumo. Ia bahkan berkali-kali mengendarai keretanya memasuki alun-alun di depan keraton Sunan.

Tjipto memulai kampanye anti-raja Juni 1919, tak lama setelah runtuhnya gerakan mogok di pedesaan-pedesaan Surakarta. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-1926 menyebut ada dua hal penting dari serangan Tjipto kepada pihak kerajaan.

Pertama, Tjipto mengkritik sunan di Volksraad ketika Haji Mohammad Misbach di tangkap penguasa. Kampanye itu langsung disambut aktivis beraliran radikal, sementara mereka yang pro-kerajaan langsung murka.

Kedua, Tjipto dengan cermat memilih Sunan sebagai sasaran kritik justru ketika pemimpin-pemimpin pergerakan yang lain fokus pada ‘perjuangan ekonomi’ anti-kapitalis.

Tjipto memulai serangannya dalam surat kabar Panggoegah tanggal 9 Juni 1919. Ia menulis orang-orang di Surakarta sangat terbebani dengan kewajiban ‘memelihara’ dua keraton itu. Kepada penguasa kolonial, Tjipto mengusulkan agar kedua raja itu dipensiunkan dengan gaji tetap sebesar 2.000 gulden atau jika tidak, wilayah Madiun yang sudah diserahkan kepada Hindia dikembalikan lagi kepada Kasunanan.

Di edisi berikutnya yang terbit 16 Juni, Tjipto kembali mengulang usulnya itu. Pada tulisan itu ia menambahkan kritiknya bahwa Amangkurat II dan semua keturunannya adalah budak feodal VOC.

Tak cuma menulis di koran, di Volksraad serangan  Tjipto justru kian menghebat. Pada pidatonya tanggal 26 Juni, ia memulai serangannya dengan melakukan analisa mengapa para petani di Nglungge dan Tegalgondo menggelar aksi mogok. Tjipto menyebut satu-satunya alasan adalah rendahnya standar hidup petani!

“Daerah Surakarta hidup melebihi pendapatannya. Tak bisa disangkal lagi bahwa dua kerajaan itu pasti memangsa penduduknya; bahwa mereka tak bisa bertahan hidup tanpa mengisap rakyat sampai ke sumsumnya,” kata Tjipto dalam pidatonya.

Ia menyimpulkan, pengisapan itu bisa lestari berkat begitu ‘baiknya’ orang Jawa hingga gerakan perlawanan menantang bangsawan dan pemerintah tak berkembang lebih awal. Di mata Tjipto, bangsawan dan pemerintah yang melayani kaum modal secara bersama-sama menjadi akar kesewenang-wenangan.

“Pemerintah (Hindia Belanda) berusaha mengempongi penguasa pribumi, persis layaknya meninabobokan anak kecil, dengan mengizinkan mereka membuat pesta dan upacara ketimuran yang megah,” kata Tjipto meneruskan pidatonya.