De Zeven Provicien

Suluh Indonesia – Perubahan politik drastis menjelang pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20 membawa “virus” kebangkitan kesadaran nasional masyarakat di daerah-daerah terjajah, terutama di Asia. Kelompok-kelompok intelektual Asia bangkit dengan Swami Vivekananda, Gandhi, dan Sun Yat Sen, memengaruhi kebangkitan di Hindia Belanda (Indonesia).

Penindasan terhadap organisasi yang muncul dengan indikasi nasionalisme justru mempercepat lajunya pergerakan menuju pematangan politik. Kemenangan Jepang atas Rusia di Wladiwostok tahun 1905, diikuti gerakan perwira revolusioner merebut kapal perang Tsar Rusia Potemkin di Odessa pada tahun yang sama, menunjukkan konstelasi politik sedang berubah.

Revolusi Bolsewijk 1917 dan kejatuhan Tsar Rusia dijadikan simbol perubahan, terutama bagi kapitalisme yang mengendalikan wajah kolonialisme. Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda mengalami perubahan. Pergantian Ketua PI Notosoeroto yang menghendaki kemerdekaan dengan jalan evolusi dengan pelajar-pelajar revolusioner seperti Hatta dan Sjahrir yang menghendaki merdeka sekarang juga adalah bentuk ekspresi dari aspirasi rakyat tertindas. Apalagi, terpilihnya Rustam Effendi sebagai anggota parlemen Belanda menunjukkan kesadaran politik mulai merasuk ke mana-mana.

Hal itu diikuti Petisi Soetardjo di Volksradd (parlemen Hindia Belanda), kemudian ditangkapnya Tjipto Mangoenkoesoemo, yang populer di kalangan orang-orang PKI, sekalipun ia bukan marxist. Pada Kongres PKI 1923, potretnya dipasang bersama Karl Marx, Multatuli, Gandhi, dan Tan Malaka. Di tahun 1926, gerakan PKI dan pemogokan buruh mematangkan sikap perlawanan rakyat.

Nasionalisme juga mulai merasuk tubuh KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau tentara Kerajaan Hindia Belanda). Seorang  kopral KNIL datang kepada Tjipto dan melaporkan ia beserta teman-temannya akan meledakkan gudang senjata. Tjipto kemudian memberi f 10 (10 gulden). Tak lama kemudian terjadi kerusuhan di asrama militer di Meester Cornellis (Jatinegara). Tjipto dituduh berada di belakang  kerusuhan itu. Apalagi, dalam buku tamu Tjipto terdapat nama-nama anggota KNIL yang dituduh mendalangi kerusuhan. Tjipto pun ditangkap dan dibuang ke Bandaneira. Bung Karno yang mengantar Tjipto menangis karena Tjipto yang dianggap guru politik mereka telah dipisahkan.

Nasib yang sama kemudian dialami Soekarno sendiri. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Banceu, Bandung, kemudian dipindahkan ke Sukamiskin, juga di Bandung. Pidato pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat” dicetak dan dijual secara luas. Pemuda  dan para aktivis justru menjadikan pleidoi itu sebagai bahan diskusi di mana-mana. Bukan saja di kalangan partai politik, tapi juga di kalangan angkatan laut (marine) pribumi.

Baca juga Tan Malaka Dalam Sejarah Republik

Partai politik sendiri memiliki strategi untuk mengembangkan pengaruhnya pada partai politik dan militer, terutama kalangan pribumi yang masuk dalam militer kolonial. Maka ditetapkanlah Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin ditugaskan mendekati rakyat yang merupakan massa dari Sarekat Islam; Sneevliet ditugaskan mendekati serdadu-serdadu bangsa Belanda dalam angkatan darat; Brandsteder mendekati serdadu-serdadu bangsa Belanda dalam angkatan laut; Ir Baars dan van Burink mendekati pegawai-pegawai negeri bangsa Belanda bagian sipil.

Ada kecurigaan, pemberontakan di Kapal Tujuh (De Zeven Provicien), 4 Februari 1933, merupakan salah satu akibat atau hasil dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan Brandsteder, sesuai dengan tugas yang diberikan pemimpin PKI. Juga kerusuhan di tangsi militer Jatinegara adalah pengaruh Sneevliet.

Tetapi dari penelusuran dan penelitian Departemen Sosial pada tahun 1980, dengan melakukan wawancara-wawancara dengan para pemberontak yang masih hidup, ternyata mereka lebih terpengaruh pada ajaran Soekarno daripada komunisme. Para pemberontak di Kapal Tujuh itu, walau dilakukan oleh para pribumi anggota-anggota serikat buruh dalam Angkatan Laut Belanda yang bernama Inlandsche Marine Bond, mereka lebih suka Soekarno daripada komunis. Pemimpin pemberontak

Martijn Marseha Paradja, anak seorang pendeta di Timor, bahkan mengaku sebagai anggota PNI dan selalu mengaitkan namanya dengan Gatot Mangkoepradja, anggota PNI yang dipenjarakan bersama Soekarno.

Paradja lahir hanya lima tahun setelah terjadi perlawanan rakyat di kampungnya, di Pulau Sabu, melawan Belanda. Hal itu membekas dalam dirinya, sehingga nasionalisme yang diajarkan Bung Karno dan pidato pleidoinya sangat memengaruhi anak muda berusia 23 tahun itu.

Apa yang dikisahkan kakek penulis (kakek Peter A Rohi) yang ikut dalam demonstrasi-demonstrasi di darat mengatakan, mereka sudah menggunakan emblem merah-putih bergambarkan wajah Bung Karno dan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Karena itu, klaim pihak komunis bahwa para pelaut itu terpengaruh langsung pada ajaran marxist tidaklah berdasar.

Bung Karno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia dan dalam sekejap memiliki  80.000 anggota yang progresif revolusioner ketika itu adalah sama dengan jiwa dan semangat rakyat yang sudah lama tertindas dan ingin keluar dari suasana penjajahan. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan masal sebagai bentuk dari pertumbuhan gerakan demokratis itu.

Sesudah berakhirnya Perang Dunia I, pemerintahan kolonial Belanda melengkapi armadanya dengan dua kapal penjelajah (cruiser) baru, yang masing-masing diberi nama “Java” dan “Sumatera”. Untuk melengkapi armada lautnya itu, Belanda sangat membutuhkan tenaga-tenaga, terutama tenaga yang masih muda, untuk dipekerjakan dalam ikatan dinas Angkatan Laut Belanda, yang pada masa itu bernama Koninklijke Marine. Banyak pemuda pribumi, karena tertarik dengan propaganda Belanda, mendaftarkan dirinya untuk masuk bekerja dalam Koninklijke Marine.

Umumnya, para pemuda yang diterima berdinas di Koninklijke Marine  adalah pemuda terpelajar dan mampu berbahasa Belanda. Pemerintah Hindia Belanda juga membuka sekolah KIS di Makassar bagi pemuda-pemuda marine baru untuk memperlancar bahasa Belanda mereka. Pemerintah kolonial Belanda saat itu juga mengizinkan para pemuda tersebut untuk mendirikan organisasi-organisasi serikat buruh yang tujuannya adalah memperjuangkan perbaikan nasib anak marine bangsa Indonesia yang bekerja dalam ikatan dinas Angkatan Laut Belanda, yaitu Inlandsche Marine Bond (IMB) dengan jumlah anggota sekitar 1.100 orang dan Inlandsche Christelijke Marine Bond (IChMB) dengan jumlah anggota kurang lebih 500 orang.

Di samping IMB dan IChMB, terdapat pula organisasi serikat buruh Belanda, dengan sekitar 900 orang marine bangsa kulit putih yang berpangkat di bawah bintara tercatat sebagai anggotanya. Para bintara Belanda tersebut membentuk organisasi serikat buruh yang bekerja sama dengan organisasi serikat buruh bawahan Belanda dalam satu komite yang dinamakan CAMBO (Comite to Behartiging van de Algemeene Belangen Van Het Marine Personeel Beneden de Rang van Officier).

Para pemimpin CAMBO umumya berada di bawah pengaruh SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij), yang beraliran sosialis.

Baca juga Maklumat 3 November 1945: Selamat Datang Partai Politik

Jadi, kesimpulannya, pengaruh-pengaruh didalam lingkungan Angkatan Laut Belanda di Indonesia dapat ditetapkan sebagai berikut: pengaruh nasionalisme Indonesia, pengaruh paham buruh (marxisme atau sosialisme kiri), dan pengaruh SDAP (sosialis kanan).

Di Indonesia juga ada pengaruh SDAP yang dibawa oleh JE Stokvis dan kawan-kawan, tapi pengaruhnya tidak besar karena tidak mengakar pada massa rakyat. Sangat berbeda dengan ISDV H Sneevliet, yang mampu menghubungkan massa rakyat dengan aliran sosialisme kirinya dalam gerak perjuangannya.

Besarnya pengaruh SDAP dalam serikat buruh di lingkungan Koninklijke Marine pernah dikatakan Vliegen, anggota Tweede Kamer Belanda. Ketika terjadi pemberontakan Kapal De Zeven Provincien, anggota Angkatan Laut Belanda di Surabaya (1932-1933) berjumlah 4.200 orang, terdiri dari 2.200 orang Indonesia dan 2.000 orang Belanda. Di antara 2.000 orang Belanda ini, sebagian berada di bawah pengaruh SDAP, yang kurang berarti perannya dibandingkan jumlah anggota marine pribumi yang sudah terpengaruh nasionalisme.

Demikianlah gerakan-gerakan nasionalisme yang sudah mulai bersemi dalam tubuh anggota-anggota pribumi yang berada dalam kesatuan militer darat dan laut Kerajaan Belanda.

 

Peter A Rohi, Wartawan Senior

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 11 Februari 2016)