Menurut Tjipto, pameran kemegahan yang dipertontonkan Raja dan semua keluarganya itu menimbulkan rasa jijik dan mual karena biayanya dibayar dari kantong orang kromo. Tjipto menganggap ‘kemegahan’ upacara ketimuran itu gagal menyembunyikan surutnya kekuasaan mereka. Surut karena mereka bahkan tak lagi memiliki kekuasaan politik yang nyata di wilayahnya sendiri.

“Jadi bukan hanya secara formal saja kerajaan Surakarta menjadi hamba pemerintah, sebab sudah jelas dalam semua hal penguasa pribumi adalah budak-budak, tidak lebih!” kata Tjipto.

Lebih keras lagi, Tjipto melanjutkan segala kemewahan di Surakarta tak bisa diterima lagi, sebab biayanya pasti harus di bayar oleh uang kromo di desa. Pada akhirnya kromo itulah yang harus menghidupi raja dan seluruh rombongannya.

Taksahi menyebut serangan Tjipto kepada raja-raja di Surakarta itu benar-benar tajam dan sama sekali baru. Selama ini tak pernah ada orang yang mempertanyakan, dan barangkali memikirkan biaya ‘pemeliharaan’ raja-raja yang secara politik mandul. Padahal, bagi Tjipto memelihara raja bukan hanya semata-mata membuang-buang saja.

Gabungan ‘upacara dan kemegahan’ ditambah mandulnya politik raja-raja itu mengungkap rahasia bekerjanya sistem ‘abad pertengahan’ di Vorstenlanden. Sistem yang menurut Tjipto sudah ketinggalan zaman terutama di era serikat buruh dan pemogokan.

Pemogokan petani di Surakarta dianggap telah membongkar kontradiksi fundamental yang terkandung antara rakyat dan bangsawan di Jawa.

Di akhir pidato itu, Tjipto mengusulkan untuk memensiunkan sunan, mengembalikan Madiun kepada sunan, atau mengembalikan semua keuntungan yang sudah dicetak kolonial dengan beroperasinya monopoli garam, candu dan rumah-rumah gadai.

Kasat mata, serangan Tjipto di Volksraad dan Panggoegah menjadi pembeberan paling telanjang terhadap kemewahan sekaligus mandulnya politik sunan. Setidaknya ada dua elemen penting serangan Tjipto yang secara telak menghancurkan sunan.

Serangan Tjipto itu memicu amarah besar pro-kerajaan dan segera mengundang serangan balik yang tak kalah sengitnya. Di antara barisan paling depan dilakukan oleh organ Budi Utomo yakni Darma Kanda dan koran milik Martodharsono, Djawi Kanda dan Djawi Hiswara. Semula, mereka menyebut bukan sunan, melainkan yang bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan di Kasunanan. Mereka menuding, serangan Tjipto itu salah alamat dan menuduhnya punya motif tersembunyi yakni menyingkirkan sunan. Para penentang ini memberi cap, Tjipto gila sekaligus memperingatkan pendukungnya sekaligus menuntut pemerintah Hindia membungkam Tjipto.

Selain Budi Utomo, Serikat Islam juga menampilkan dirinya sebagai golongan pro-kerajaan. Bulan Juli 1919, Samanhudi mengumpulkan saudadar batik membahas posisi mereka atas usul Tjipto mempensiunkan sunan.  Hasil pertemuan itu akhirnya menyepakati pembentukan Komite Keselamatan Rakyat Vorstenlanden yang secara aktif menentang Tjipto.

Serangan Tjipto itu belakangan juga menuai cekcok antara pemerintah Hindia, Kasunanan dan Mangkunegaran. Usai Tjipto berpidato di Volksraad pada tanggal 25 November, Pangeran Mangkuneagar Prang Wedana –yang juga anggota Volksraad- dengan menanggalkan jubah keangkuhannya bertanya kepada pemerintah, peran apa yang akan kelak diberikan kepada kerajaan ketika Hindia yang otonom bakal berdiri di masa depan.

Pertanyaan Prang Wedana itu memberi alasan untuk mempertegas posisinya dengan terus teranga, W. Muuling wakil pemerintah di Volksraad dengan terus terangan mengatakan, “siapapun yang mencoba mengguncangkan kekuasaan dan posisi kerajaan Jawa yang berpermerintahan sendiri, pemerintah akan melawannya.”[TGU]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 31 Mei 2019