Ilustrasi

Koran Sulindo – Buruknya pelayanan rumah sakit yang diduga menjadi penyebab kematian seorang bayi di kawasan Kalideres, Jakarta Barat mendapat perhatian masyarakat secara luas. Tak terkecuali Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Itu sebabnya, KPAI berencana akan menemui keluarga bayi yang diduga terlambat mendapatkan layanan medis itu. Bayi bernama Tiara Deborah Simanjorang itu merupakan anak dari pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi, warga Jalan Saung, Benda, Tangerang.

Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty mengatakan, pihaknya akan menemui orang tua Tiara siang ini Minggu (10/9). Waktu itu dipilih karena Henny orang tua Tiara itu sedang “sibuk” melayani wawancara dari berbagai media. Sitti berjanji, KPAI akan mendalami kasus ini.

“Kami akan menggali keterangan dari pihak-pihak terkait, baik dari keluarga korban, pihak rumah sakit dan pihak BPJS,” kata Sitti dalam keterangan resminya yang tersebar melalui grup WhatsApp pada Minggu (10/9).

Informasi bayi Tiara ini menjadi perhatian masyarakat secara luas setelah menyebar di media sosial. Sebagian besar masyarakat menyesalkan sikap Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres karena diduga menolak memberi layanan kepada Tiara. Masalahnya karena orang tuanya tidak sanggup membayar uang muka yang diminta pihak rumah sakit.

Bermula dari Flu
Kisah itu berawal ketika Tiara terserang flu dan batuk selama sepekan. Bayi Tiara sempat dibawa ke RSUD Cengkareng untuk mendapatkan pemeriksaan. Tiara diberi obat dan nebulizer untuk mengobati pilek Tiara. Akan tetapi, kondisi Tiara justru memburuk pada Sabtu 2 September 2017. Ia berkeringat dan sesak napas.

Orang tua Tiara, Rudianto dan Henny segera membawanya ke RS Mitra Keluarga Kalideres dengan menggunkan sepeda motor. Sesampainya di rumah sakit, dokter jaga segera memberi pertolongan pertama dengan menyedot sesak napas Tiara.

Kondisi Tiara semakin turun. Dokter menyarankan agar bayi tersebut dirawat ruang pediatric intensive care unit (PICU). Orang tua Tiara diminta untuk mengurus administrasi agar Tiara segera mendapatkan perawatan intensif. Karena tak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, maka pihak rumah sakit meminta Rudianto dan Henny membayar uang muka sekitar Rp 19,8 juta.

Rudianto dan Henny bingung. Uang yang mereka pegang hanya lima juta rupiah. Ketika uang itu diserahkan kepada bagian administrasi uang itu ditolak walau Rudi dan Henny berjanji akan melunasinya pada besok harinya. Rumah Sakit Mitra Keluarga justru merujuk Tiara ke rumah sakit lain yang menerima pasien BPJS dan memiliki fasilitas PICU.

Setelah menghubungi beberapa rumah sakit, Rudi dan Henny tidak mendapatkan ruang PICU kosong untuk merawat Tiara. Kondisi Tiara terus menurun hingga pada akhirnya dokter menyatakan bayi itu telah meninggal dunia. Rudianto dan Henny terpukul. Tangis mereka pecah. Mereka tak menyangka perlakuan rumah sakit terhadap kondisi bayi mereka yang sedang sekarat.

Setelah menyelesaikan administrasi, Rudianto dan Henny membawa pulang mayat si bayi dengan sepeda motor.

Kisah seperti bayi Tiara bukanlah kali pertama terjadi. Sejak beberapa tahun terakhir, kasus-kasus serupa acap terjadi. Namun, pihak rumah sakit nampaknya tidak pernah belajar dari pengalaman. Pada 2013, misalnya, publik juga dikejutkan dengan berita tentang kematian bayi Dera Nur Anggraini, anak dari pasangan Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati.

Bayi yang mengalami masalah pada kerongkongannya itu ditolak oleh 10 rumah sakit di Jakarta. Karenanya, Dera akhirnya meninggal dunia karena tidak sempat mendapatkan pertolongan. Kasus demikian, juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Itu sebabnya, harapan Henny, ibu Tiara agar kejadian serupa tidak terjadi kepada orang lain nampaknya sulit terwujud. [KRG]