Dalam dua tahun terakhir, satu pemandangan baru hadir di meja kasir UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) warung kopi, lapak sayur, kios kelontong hingga abang gerobakan. Barcode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), tampak sederhana cetak hitam-putih di atas kertas laminasi namun dampaknya global waw. Baru-baru ini, Amerika Serikat melalui USTR (United States Trade Representative, seperti Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat yang mengurusi semua hal terkait perdagangan internasional bagi AS.) terang-terangan menggugat Indonesia atas sistem QRIS dan BI-Fast, menyebutnya sebagai hambatan akses pasar bagi korporasi pembayaran asing seperti Visa dan Mastercard.
Namun gugatan itu lebih dari sekadar soal teknologi pembayaran. Ia menyentuh jantung pertarungan lama, antara pusat dan pinggiran, antara negara maju dan berkembang, antara ekonomi rakyat dan kapitalisme global. Yang menarik, UMKM menjadi pemeran utamanya.
QRIS: Disrupsi dari Bawah
QRIS adalah solusi lokal yang lahir dari kebutuhan praktis pelaku usaha mikro dan kecil, sistem pembayaran digital yang murah, cepat, dan universal. Tanpa mesin EDC, tanpa potongan MDR yang memberatkan. Dalam perspektif diffusion of innovations (Everett Rogers), QRIS adalah contoh adopsi teknologi yang sukses karena memenuhi prinsip utama yaitu, relevan, sederhana, mudah dicoba, dan bisa diobservasi hasilnya langsung.
Ternyata, QRIS bukan hanya soal adopsi teknologi. Ia adalah bentuk komunikasi massa yang beroperasi melalui sistem ekonomi. Lewat barcode kecil itu, pemerintah menyampaikan pesan penting, bahwa negara hadir sebagai fasilitator ekonomi rakyat di era digital. Dalam kerangka Uses and Gratifications Theory (Katz, Blumler & Gurevitch) Pelaku UMKM secara aktif memilih QRIS karena memenuhi kebutuhan praktis, efisiensi, kenyamanan, dan rasa berdaya dalam mengelola transaksi.
UMKM, Komunikasi Pemasaran, dan Posisi Baru
Di sisi lain, QRIS mengubah cara UMKM berinteraksi dengan konsumennya. Sistem digital ini memungkinkan pelacakan transaksi, pemetaan perilaku pelanggan, hingga promosi berbasis data. Ini menjadikan pelaku mikro memiliki peluang yang dulu hanya bisa diakses oleh korporasi. Melalui QRIS, komunikasi pemasaran menjadi dua arah dan berbasis data. Dalam teori Integrated Marketing Communication (IMC), strategi komunikasi tak lagi cukup melalui iklan, tapi juga melibatkan sistem yang mendukung customer experience. QRIS, meski bukan kanal promosi langsung, memperkuat brand trust karena menunjukkan bahwa UMKM sudah “go digital”. Kepercayaan pelanggan meningkat, dan tentu saja loyalitas terbentuk.Barcode itu hitam putih itu, bukan sekadar alat pembayaran, tapi juga alat positioning (Citra unik yang ingin dibangun di benak pelanggan tentang suatu produk/merek).
Ketergantungan Media Kekuatan dalam Infrastruktur Digital
QRIS juga dapat dianalisis melalui Teori Ketergantungan Media (Ball-Rokeach & DeFleur). Teori ini menyatakan bahwa pihak yang menguasai infrastruktur komunikasi, dalam hal ini sistem pembayaran global memiliki kuasa besar atas arus informasi dan transaksi ekonomi. Negara-negara berkembang sering kali tergantung pada infrastruktur asing yang mahal dan tidak inklusif. Sistem pembayaran internasional seperti Visa dan Mastercard bukan hanya menyediakan layanan transaksi, tapi juga mengontrol data, menetapkan standar, dan mengatur keuntungan melalui biaya yang dikenakan. Ketergantungan pada sistem tersebut menempatkan negara berkembang dalam posisi subordinat, di mana kendali atas data dan arus ekonomi berada di tangan entitas asing.
Namun berbeda dengan QRIS, Indonesia mengurangi ketergantungan tersebut. Ia membangun infrastruktur sendiri dan mengatur alur data serta switching secara lokal. Ini adalah bentuk kedaulatan digital yang menurunkan ketergantungan terhadap “entitas” asing, dan dalam kerangka teori ini, itu adalah pergeseran relasi kuasa yang signifikan. QRIS bukan sekadar efisiensi teknis, tapi redistribusi kekuasaan dalam ekosistem informasi dan ekonomi. UMKM yang sebelumnya hanya penerima sistem kini menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Negara yang selama ini mengikuti arus global kini menjadi perancang arusnya. Dalam konteks ini, QRIS adalah strategi resistensi terhadap kolonialisme digital di mana sistem asing tak lagi menjadi satu-satunya opsi, dan rakyat kecil punya tempat dalam arsitektur ekonomi digital nasional.
Hegemoni dan Resistensi Digital
Lalu, mengapa sistem seperti ini dipermasalahkan oleh AS? Karena QRIS secara langsung menggangu dominasi jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard. Dalam teori hegemoni media ala Antonio Gramsci, kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk represi, tapi lewat kontrol budaya dan infrastruktur. Sistem pembayaran global adalah bagian dari itu, ia menentukan siapa yang mendapat komisi, siapa yang mengendalikan data, siapa yang berhak menetapkan standar. QRIS membalik logika itu, Ia membuka akses sistem pembayaran tanpa perlu tunduk pada lisensi luar negeri. Data transaksi disimpan dan diolah oleh sistem domestik. Kendali ada di tangan regulator nasional. Bagi Visa dan Mastercard, ini ancaman serius terhadap hegemoninya.
Amerika tentu tidak menyerang UMKM secara langsung. Tapi ketika QRIS diserang, sebenarnya yang sedang dilawan adalah kedaulatan digital rakyat kecil. Ini sejalan dengan gagasan political economy of media (McChesney) yang menyatakan bahwa kontrol terhadap teknologi komunikasi adalah bentuk kontrol atas ekonomi dan ideologi.
Komunikasi Ekonomi Antara Ketimpangan dan Kedaulatan
Dalam konteks global, QRIS adalah komunikasi simbolik. Ia menyampaikan pesan bahwa Indonesia tidak sekadar menjadi pasar, tapi produsen sistem. Bahwa UMKM tidak lagi menunggu intervensi luar, tapi membentuk ekosistemnya sendiri. Kita bisa membaca QRIS sebagai “media ekonomi” yang memungkinkan diseminasi nilai-nilai lokal, efisiensi, gotong-royong, dan inklusi.
Dalam teori agenda setting (McCombs & Shaw)
Siapa yang mengatur platform pembayaran, punya kekuatan membentuk agenda konsumsi dan preferensi publik. Ketika QRIS menjadi standar nasional, maka pelaku ekonomi rakyat punya kesempatan menyusun agenda mereka sendiri, tanpa harus mengikuti pola konsumsi ala Silicon Valley. Di sinilah gugatan Amerika menjadi ironis. Negara yang selama ini mempromosikan free market, ternyata tak siap jika ada sistem lokal yang lebih murah dan efisien. Bagi mereka, QRIS bukan hanya barcode, ia adalah pembangkangan terhadap tatanan global yang sudah mapan.
Dari UMKM ke Washington: Komunikasi Global dari Akar Rumput
Siapa sangka barcode di warung kopi bisa mengguncang Washington? QRIS membuktikan bahwa transformasi digital tak selalu datang dari pusat kekuasaan. Ia bisa datang dari bawah, dari gerobak, dari pasar, dari pinggiran. Dan justru karena itu, ia kuat. Dalam teori two-step flow of communication (Lazarsfeld & Katz), inovasi menyebar melalui opinion leader lokal. Dalam konteks ini, UMKM menjadi “influencer digital” di komunitasnya sendiri. Kita sering berpikir bahwa komunikasi massa hanya terjadi lewat televisi, media sosial, atau portal berita. Tapi sistem pembayaran seperti QRIS adalah media itu sendiri, ia mengomunikasikan nilai, ideologi, dan struktur kekuasaan. Ia menentukan siapa yang punya akses, siapa yang dikendalikan, dan siapa yang mandiri.
Jangan Takut pada Barcode
Gugatan USTR mestinya menjadi alarm bagi kita. Ini bukan sekadar perkara transaksi, tapi soal keberanian negara membangun sistemnya sendiri.
Negara harus berdiri tegak melindungi QRIS dan BI-Fast. Ini bukan proteksionisme. Ini sebuah afirmasi, ketika UMKM sudah berani go digital dan memilih sistem sendiri, negara jangan goyah hanya karena tekanan global. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya transaksi, tapi identitas ekonomi kita sendiri.
Dan siapa tahu, dari ribuan barcode itulah, muncul narasi besar tentang kedaulatan digital Indonesia. Tentang bagaimana warung kopi bisa bicara pada dunia. Tentang bagaimana UMKM mengajari dunia arti sejati dari disrupsi, satu perubahan besar dan mendasar yang menggantikan cara lama dengan cara baru secara cepat dan seringkali mengganggu sistem atau industri yang sudah ada.