Sang Putra Fajar
Ilustrasi

Koran Sulindo – Soekarno atau Bung Karno. Adalah sebuah nama yang sungguh luar biasa. Seluruh dunia kagum, lawan-lawan panik. Soekarno dengan pikiran-pikiran orisinalnya menemukan nilai-nilai universal, dan bangkit melawan kaum kapitalis yang menghisap habis sumber daya alam negeri-negeri jajahan yang lemah. Ia menantang kapitalisme yang menguras habis kekayaan milik satu milyar orang Asia, Afrika, Amerika Latin, yang kaya sumber daya alam tapi rakyatnya hidup mengenaskan.

Di bawah kapitalisme mereka direndahkan dirinya sebagai bangsa budak. Bung Karno sebaliknya mengatakan kita adalah bangsa besar yang berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain di dunia. Ia juga berani jujur mengakui Thomas Jefferson sebagai “guru”nya. Tetapi di atas itu semua bagi Soekarno, mahagurunya adalah Swami Vivekananda, sang pembangkit kesadaran Asia: “Bukan lagi saatnya kita untuk menangis. Bangkitlah menyambut fajar kebebasan.”

Soekarno memang membaca buku-buku barat, filsafat, dan politik. Begitu juga buku-buku teosofi sudah diliriknya sejak masih di ELS Mojokerto dan HBS Surabaya, terakumulasi dengan kisah-kisah kepahlawanan dalam pewayangan, serta pendidikan nonformal dari HOS Tjokroaminoto. Temuan selama masa “pencarian”nya, Soekarno memperoleh jati dirinya sendiri: seorang pemimpin yang bukan saja ingin, tapi ia mau memerdekakan bangsa ini dari era penindasan dan penghisapan kekayaan alam negeri ini. Sebuah  kedaulatan utuh yang lengkap dengan konsep dasar negara: Pancasila.

Berbeda dengan pemimpin negara lain yang sebelum memerdekakan negerinya, pernah memperoleh pendidikan barat langsung di negeri barat. Mereka lebih menguasai konsep-konsep berfikir di luar negerinya sendiri. Tetapi Soekarno menemukan “Indonesia” manakala ia  bermain dengan teman-temannya di pinggir sungai, mana kala ia berdialog dengan petani di tengah sawah, ketika menonton tokoh Bima menjadi idolanya dengan gagah berani mengalahkan musuh-musuhnya dalam pertunjukan wayang.

Soekarno adalah sosok yang menggetarkan dunia. Dia dicari sebagai pemimpin bangsa, sekaligus dicaci sebagai pecundang oleh kapitalis dan antek-anteknya. Konperensi Asia Afrika yang diselenggerakan di Bandung menjadi inspirasi dunia ketiga, dan puluhan negara menjadi merdeka, ratusan juta rakyat tertindas dibebaskan.

Soekarno adalah berkah bagi bangsa ini. Sejak lahir ia sudah berkenalan dengan pluralisme. Ibundanya yang perempuan Bali beragama Hindu, Ayahandanya yang berasal dari Grobogan, Jawa Tengah, tapi sejak kecil diboyong ayahandanya pindah ke Tulungagung, Jawa Timur.

Ayahandanya juga masuk dalam perkumpulan Theosofi yang terdiri dari berbagai agama, sedang kakeknya, Hardjodikromo, seorang pelaku kejawen. Masih ditambah lagi ketika bersekolah di ELS Mojokerto dan HBS Surabaya pergaulannya dengan teman2 sekolah dari berbagai tingkatan dan ras, seperti China dan Belanda. Kegemarannya membaca buku dalam bahasa Belanda dan Prancis memperkenalkannya dengan dunia luar dan pemikiran yang beragam.

Pluralisme itu dipertajam lagi ketika ia dibuang ke Ende, Flores, NTT. Di sini ia berdiskusi dengan Pater Huytink yang Katolik, tetapi di rumahnya ia dibantu orang-orang dari suku Sabu yang beragama Protestan dan juga Riwu dan teman-temannya  penganut Jingitiu, agama tradisional suku Sabu yang teguh. Tentu saja akumulasi pengalaman itu adalah ilmu baginya untuk menemukan dasar negara kita: Pancasila.

Kini, Pancasila mulai dilirik dunia, karena memang Bung Karno pada kesempatan berpidato di PBB 30 September 1960, menawarkan Pancasila sebagai ideologi dunia.

Pidatonya yang mencekam di PBB itu, yang berjudul To Build A World Anew membuat dunia barat ketakutan akan gejala kebangkitan suatu semangat baru yang bisa mengakhiri era kapitalisme. Muncullah negara-negara Non-blok. Menyusul Ganefo (Games of New Emerging Force) sebagai ujud penolakan konsep barat. Semboyannya Never Onward No Retreat dipraktekkan bukan saja sebagai semangat olah raga, tetapi dalam semua bentuk pembangunan negeri ini. Sampai akhir kekuasaannya dia masih yakin bahwa rakyat 100 persen berada di belakangnya, karena baginya rakyat sudah muak dengan penjajahan.

Ternyata kali ini dia keliru. Dia tidak sadar bahwa suatu era kebangkitan jatidiri akan segera diganti dengan era “pembinaan” rendah diri. Antek-antek binaan kapitalis pun dengan semangat menularkan hal bina-membina rakyat sampai ke pelosok-pelosok bumi pertiwi  dari doktrin pusat kekuasaan di Bina Graha.

Para pemimpin mulai tergerus semangat rendah diri oleh janji-janji kemewahan, dan tragedi sebelum fajar 30 September 1965, melalui sebuah rekayasa intelijen negara-negara kapitalis, kekuasaan Putra Sang Fajar itu pun tumbang.

Padahal, jauh sebelumnya, sekeluar dari Penjara Soekamiskin, Bandung, Bung Karno menulis sebuah firasat: kalau kita sudah merdeka, tetaplah waspada. Kaum kapitalis akan kembali berupaya merasuk dan merusak kedulatan kita melalui penawaran cita rasa, selera (baca: life style). Kini tampak jelas dalam sikap hidup, tatkala  adalah hedonisme menjadi sentral idola, melebihi semua kepentingan negeri.

Padahal kepentingan bangsa ini masih banyak. Tantangan masa depan bangsa sangatlah kompleks. Kita hanya berfikir yang kecil-kecil, rendah-rendah amat. Selera kita cuma terbatas di garis bawah, di tengah kebutuhan dan tantangan  bangsa. Kata sastrawan Rusia Maxim Gorki, kebanggaan manusia bukan sekadar kebanggaan burung merak: mengepakkan sayap-sayapnya dan terlihat indah. Padahal, kata Bung Karno, di tengah alam merdeka itu kita bebas dan dalam kebebasan itu kita bekerja keras. Merdeka sama sekali bukan untuk bersenang-senang, bukan sekadar “ongkang-ongkang kaki”.

Bedanya, di alam kemerdekaan, kerja keras bukanlah untuk kepentingan kapitalis, bukan untuk kepentingan penjajah, tapi untuk membangun negeri kita sendiri.

Syukurlah, puluhan tahun telah berlalu. Lebih dari satu generasi kapitalisme kembali  menggerogoti kekayaan bangsa, kini tampak menguat gejala  bangkit suatu kesadaran baru. Ajaran-ajaran Soekarno kembali mendapat pengakuan dan anak-anak muda Ibu Pertiwi kembali menemukan suatu Indonesia Baru, Indonesia yang lebih baik, sebagai masa berlalunya mega hitam yang menutupi cahayanya Sang Fajar.

Walau sekarang baru segelintir anak muda, tetapi apabila mereka sungguh-sungguh bekerja keras, maka mereka akan menjadi pioner kebangkitan suatu kesadaran baru. Kata Bung Karno: berikanlah aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengubah dunia!

Suatu perubahan bisa dimulai dari hanya satu orang. Hitler bangkit mengubah wajah Eropa dengan pendudukannya di sana-sini. Marx mengubah pemikiran masyarakat Eropa dan pengaruhnya terasa sampai kini.

Selama masih ada kapitalisme dan penindasan terhadap manusia dalam praktek kapitalisme maka pikiran Soekarno akan tetap menginspirasi. Ia dibutuhkan. Tidak saja di Indonesia, tetapi di mana pun, manakala  terjadi eksploatasi manusia atas manusia. Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Soekarno, mempengaruhi Che Guavara sampai ke Hugo Chaves di Venezuela.

Sebagai warga negara Indonesia, kita harus memahami siapa Bung Karno lengkap dengan proses pembentukan jati dirinya sendiri yang dicarinya sendiri, dan bukan hasil “binaan” siapa pun, termasuk “binaan” asing.

Sampai hari inipun Bung Karno memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk maju ke depan, karena suatu inspirasi yang murni timbul apabila kita betul-betul menghayati perjalanan sejarah bangsa dan para pendirinya. [Peter A. Rohi]

(Tulisan ini pernah dimuat pada 9 Januari 2017)

Baca juga: