Ilustrasi: Arus mudik di Jalur Nagrek, Jawa Barat/ntmcpolri.info

Koran Sulindo – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyatakan masih terdapat sekitar 1,3 juta orang tetap melakukan tradisi mudik pada lebaran nanti. Mereka adalah warga yang terutama tinggal di Jakarta, Bogor,  Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). MTI menyarankan pemerintah melarang mudik.

“Berdasarkan hasil rapat dengan Kemenhub, sekitar 900.000 orang sudah mudik sisanya tinggal 2,6 juta yang belum pulang,” kata Ketua MTI, Agus Taufik Mulyono dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, Selasa (14/4/2020).

Menurut Agus, setengah dari 2,6 juta orang tersebut berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN, BUMD yang mendapat Instruksi Presiden dilarang mudik.

Baca juga: Presiden: ASN, TNI/Polri, dan Pegawai BUMN Dilarang Mudik

“Artinya, ada 1,3 juta orang yang dianggap masih ada potensi mudik,” katanya.

MTI mengatergorikan tiga jenis pemudik. Pertama, yang nekat mudik karena budaya mudik tahunan. Lalu, nekat mudik karena tidak ada pemasukan biaya hidup. Dan terakhir, bersikeras mudik karena permintaan orang tua dan keluarga.

Sementara itu, pesebaran mobilitas mudik dan daerah yang terancam menjadi pusat penularan baru karena mudik itu adalah Jawa Barat sebesar  13 persen, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (41 persen), Jawa Timur (20 persen), serta Lampung dan Sumatera Selatan (8 persen).

“Inilah yang perlu dilihat dampak mudik di Jateng, Jatim, dan Jabar, DIY jadi deerah ODP atau penularan baru atau daerah wabah baru kalau misalkan mudik ini tidak ditangani pemerintah,” katanya.

Untuk mencegah mobilitas mudik, MTI menyarankan pemerintah menggalakkan kampanye jangan mau jadi orang dalam pengawasan (ODP) demi keselamatan keluarga di kampung, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dalam bentuk bahan pokok dan uang, dan vocher komunikasi kompensasi kangen mudik.

Namun yang paling penting, jika operasi angkutan umum benar-benar dihentikan akan ada lonjakan penyewaan angkutan pribadi tanpa kendali yang justru mempercepat penularan Covid-19 di lokasi tujuan. Transportasi dan mobilisasi adalah salah satu faktor penyebab utama penularan.

“Dari hal-hal kecil bertemu bersalaman kemudian mobilisasi naik transportasi, sarana transportasi, berlama-lama berkerumun lalu turun di pelabuhan, terminal, bandara kemudian menyebarkan ke tujuan perjalanan. Ini adalah siklus sulit dideteksi penularannya, tetapi itu terjadi,” kata Agus.

Mudik harus Dilarang

Agus juga mengatakan mudik harus dilarang. Jika tidak, mobilisasi mudik itu menyebabkan pemerintah daerah menanggung beban, baik sosial maupun ekonomi.

“Kalau menghadapi gestur orang Indonesia dan hanya diimbau, tingkat pelanggarannya besar. Dampaknya ke pemda, kalau masyarakat ini benar-benar mudik, maka yang terdampak secara ekonomi serta masalah-masalah sosial itu Pemda,” kata Agus.

Apabila mobilitas mudik tetap terjadi daerah-daerah tersebut akan menjadi pusat penularan wabah baru.

Pemda juga harus siap dengan tempat karantina yang menampung dahulu orang dalam pengawasan (ODP) selama 14 hari. Kondisi tersebut belum lagi diperparah dengan adanya penolakan dari warga yang berpotensi pecahnya konflik di daerah tujuan.

“Ada rawan penolakan, meski dikarantina, tapi ada konflik penolakan warga setempat. Kemudian keterbatasan pelayanan Covid di daerah karena RSUD dan Puskemas tidak memadai. Itu fakta itu tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Pengamanan juga harus disiapkan di tingkat RT/RW yang perlu dilakukan oleh pemda setempat.

“Kalau pemudik sudah bergeser ke sana, berstatus ODP dan itu jadi tanggung jawab Pemda,” katanya.

Untuk itu, Agus mengusulkan kepada pemerintah agar mengkaji betul keputusan tidak melarang mudik karena dampaknya yang sangat besar.

“Kalau saya tetap melarang, karena diimbau ini ambigu,” katanya.

Pemerintah pusat saat ini masih belum melarang mudik, kecuali PNS, Pegawai BUMN, BUMD dan lembaga pemerintahan lainnya, masyarakat di luar itu terutama warga Jabodetabek hanya diimbau untuk tidak mudik. [RED]