Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo – Rumah Si Pitung di Marunda, pada 14 Maret 2014 itu, mendadak penuh orang jauh lebih banyak dari biasanya. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sedang blusukan ke kawasan ujung utara Jakarta itu. Sudah sejak beberapa hari sebelumnya, seluruh acara Jokowi memang banyak diikuti wartawan. Namanya muncul sebagai tokoh kuat menjadi calon presiden dalam pemilihan umum 2 bulan lagi.

Jokowi tiba-tiba menghilang sebentar, menerima telepon, dan tak lama kemudian naik ke atas rumah panggung yang konon pernah menjadi kediaman tokoh asli Betawi itu. Ia berpidato pendek.

“Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk jadi capres. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan,” kata Jokowi, terbata. Ia lalu mencium bendera merah putih di belakang tempatnya berdiri.

Tak ada yang menyangka Jokowi mendeklarasikan diri menjadi capres hanya 2 hari menjelang masa kampanye tiba. Walau memang sejak 2013 Megawati sering membawa-bawa Jokowi saat berkampanye untuk kader PDIP dalam Pilkada di Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, atau Jawa Tengah. Walau bahkan 2 hari sebelum mengumumkan pencapresan di Rumah Si Pitung itu, Megawati mengajaknya berziarah ke makam Presiden RI pertama Ir Soekarno di Blitar, Jawa Timur.

Lebih 4 tahun kemudian, drama politik serupa muncul lagi, tapi kini tokohnya bukan orang utama. Sehari menjelang tenggat pendaftaran capres-cawapres, Jokowi mengumumkan pasangan yang akan mendampinginya pada Pilpres April 2019 nanti.

Tak ada yang menyangka Jokowi mendeklarasikan Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Berbeda dengan pengumuman 4 tahun sebelumnya, drama itu tampaknya tidak terlalu disukai media massa dan terutama media sosial. Pada yang terakhir ini ribuan status menyesalkan pilihan Jokowi; dan mengancam akan tidak memilih pada Pilpres nanti. Golongan putih. Golput. Status-status di medsos beberapa hari itu penuh berisi cercaan dan sesalan atas pilihan Jokowi.

Maruf Amin pernah menjadi saksi yang memberatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kasus penistaan agama di pengadilan. Dan ia mengaku berperan besar dalam unjuk rasa besar-besaran bertajuk “Aksi Bela Islam” yang akhirnya menjungkirkan Ahok dari kursi gubernur ke ruang penjara.

Namun dalam pengumuman di Restoran Plataran di kawasan Menteng Jakarta itu wajah Jokowi terlihat cerah ceria. Begitu pula para ketua umum dan sekjen partai-partai koalisi pendukungnya. Ada yang bilang Pilpres sudah selesai di senja yang agak mendung itu ketika Jokowi menggandeng Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang setahun sebelumnya melengserkan sekondannya saat Pilkada Jakarta 2012 itu.

Dengan memilih Ma’ruf, tak ada lagi yang bisa diserang dari petahana yang unggul jauh di atas dalam hampir semua survei tersebut. Isu agama, seperti yang dilakukan dengan brutal dalam Pilkada Jakarta 2017, tak mungkin diulang lagi karena aktor utamanya sudah di sisi yang sama. Selain itu seluruh keuntungan sebagai presiden yang sedang berkuasa bisa digunakan dengan seksama untuk sebesar-besarnya keuntungannya.

Politik Identitas
Benarkah politik identitas seperti yang dipertontonkan dalam Pilkada Jakarta 2017 lalu tak mungkin diulang?

“Untuk sementara selamat tinggal politik identitas. Saat ini tidak ada beban dari Jokowi untuk menghadapi isu agama dan identitas” kata Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira dalam diskusi terbuka “Lanskap Nasional Pengumuman Capres-Cawapres: Strategi, Tantangan, dan Peluang Elektoral di Pemilu 2019”, di Auditorium CSIS Jakarta Pusat, pekan lalu.

Menurut Hugo, isu agama dan politik identitas menjadi salah satu pertimbangan koalisi Jokowi memilih Ma’ruf.

“Mengapa Ma’ruf? Karena politik identitas ini bisa terjawab dengan kehadiran Ma’ruf Amin,” kata Hugo.

Namun dalam Pilkada serentak Juni lalu, Prabowo Subianto, yang sekali lagi akan bertarung melawan Jokowi, ulangan Pilpres 2014 lalu, melakukan upaya nyata memperdalam ikatan emosional dengan ulama Islam populer termasuk Rizieq Shihab, Abdul Somad, dan tokoh-tokoh Islam lokal di seluruh Indonesia, seperti Tengku Zulkarnain dari Sumatra Utara.

Prabowo bahkan menamai koalisi partai pendukungnya pada Pilpres nanti Koalisi Keumatan, semacam perwakilan yang sah umat Islam Indonesia melawan Jokowi dan PDI-P, yang keduanya digambarkan sebagai ‘kurang Islami”.

“Sayangnya, Indonesia yang terpecah berdasarkan interpretasi agama adalah tren yang sedang berlangsung, dan tampaknya tidak dapat diubah,” kata Emirza Adi Syailendra, analis senior di Program Indonesia Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

Dalam pertarungan ulangan Pilpres 2014 ini, siapa menang dan siapa kalah ditentukan oleh beberapa kantong besar.

“Total ada 5 kantong besar yang akan jadi penentu,” kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, pekan lalu.

Kantong besar pertama adalah pemilih muslim. Populasi pemilih muslim mencapai 85% dari total pemilih. Saat Pilpres 2014, berdasarkan survei dan exit poll LSI, pemilih muslim Prabowo lebih tinggi dari Jokowi. Namun Jokowi tetap menang karena waktu itu mayoritas dari minoritas terutama non muslim memilih Jokowi.

Kantong kedua adalah pemilih wong cilik yang berjumlah sekitar 30 persen. Jika ekonomi naik, Jokowi diuntungkan, jika ekonomi melemah Prabowo diuntungkan.

Kantong ketiga adalah suara minoritas yang berjumlah sekitar 15 persen. Pada 2014, Jokowi mendapat suara cukup banyak dari kantong ini. Dengan memilih Ma’ruf, apakah pemilih dari berbagai minoritas agama dan berbagai suku di Indonesia itu akan berpaling dari Jokowi?

Kantong yang lain adalah para pembentuk opini dan influencer di media sosial. “Siapa yang menonjol di media sosial yang akan lebih diuntungkan.

Kantong sangat krusial adalah pemilik dana yang membiayai logistik seluruh proses sejak pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga hari pencoblosan 16 April 2019 nanti.

Jokowi sejak awal digadang-gadang akan dengan gampang memenangkan pertarungan ini seperti Pilpres lalu. Pilpres itu bisa disebut sebagai munculnya politik identitas di tanah air sejak Reformasi 1998, kampanye hitam dan kotor, dan berita palsu (hoaks).

Di media sosial seperti Facebook dan Twitter, Jokowi dibombardir isu keturunan China, beragama Kristen, dan atau komunis. Dengan memilih Ma’ruf, Jokowi berupaya menangkal kampanye sejenis.

Cawapres pilihan Prabowo adalah Sandiaga Uno, pedagang dan orang kaya dengan harta kekayaan tercatat Rp 5 triliun. Sandiaga mengatakan Koalisi Keumatan awalnya meminang Gubernur Jakarta Anies Baswedan tapi ditolak. Anies-Sandiaga adalah pemenang pertarungan brutal atas Ahok di Pilkada Jakarta lalu.

Ekonomi, Ekonomi, Ekonomi
Hingga Pilpres langsung ke-4 sejak kejatuhan orde Soeharto pada 1998 lalu tinggal hitungan bulan, popularitas dan elektabilitas Jokowi masih jauh di atas Prabowo dalam berbagai survei. Jokowi unggul dalam tingkat keterpilihan, ketangguhannya di dunia maya terutama media sosial, dan semua aset yang dikuasai sebagai petahana. Namun ada lorong bolong yang gampang dipakai untuk menyerangnya. Isu agama, komunis, keturunan China tentu saja tidak akan hilang dalam pertandingan ulangan April 2019 nanti. Tapi ekonomi, ekonomi, dan ekonomi adalah isu utama yang gampang dinyalakan.

Pertama, dalam pemerintahan Jokowi lebih 4 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi tak pernah lebih jauh dari sedikit di atas 5 persen pertahun. Jauh dari janji kampanye pada 2014 lalu yang menargetkan pertumbuhan 7 persen pertahun.

“Komsumsi rumah tangga yang berkontribusi pada pertumbuhan hingga 5 persen. Bukan dari belanja atau investasi. Pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir hampir tidak ada,” kata Didik J. Rachbini, ekonom pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan kader Partai Amanat Nasional (PAN).

Kedua, sepanjang sejarah Indonesia merdeka hingga 73 tahun sekarang, ketimpangan ekonomi antara sangat sedikit yang berpunya dan sangat banyak yang miskin tak pernah setinggi hari-hari ini. Laporan terbaru Bank Dunia menyatakan secara global hanya Republik Rakyat China yang ketimpangan ekonominya lebih tinggi.

“Kami akan fokus pada ekonomi, lapangan pekerjaan, dan harga-harga,” kata Sandiaga, tak lama setelah resmi menjadi Cawapres Prabowo.

Isu-isu ekonomi tampaknya memang akan menjadi isu krusial pada Pilpres nanti.

“Sebenarnya kan yang menjadi problem krusial itu memang ekonomi. Hanya saja memang untuk level capres dan cawapres itu bukan yang teknis, artinya bukan yang menyelesaikan teknis. Jadi lebih ke kemampuan leadership dan manajerial,” kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, pekan lalu, seperti dikutip antaranews.com.

Sementara Peter Mumford, direktur Asia di Eurasia Group, mengatakan kemungkinan Jokowi memenangkan kursi presiden untuk periode ke-2 sebesar 70 persen.

“Jokowi diuntungkan oleh keunggulan di survei, keuntungan sebagai petahana, populer, dan ekonomi yang membaik walau masih lemah. Sorotan pada ketimpangan ekonomi akan terus dicecar,” kata Munford.

Sadar bahwa rekam jejaknya masih belang-bonteng terutama di bidang ekonomi, Jokowi menolak memakai mobil kepresidenannya sewaktu upacara peringatan kemerdekaan RI di Istana Negara Jakarta pada 17 Agustus lalu. Ia memilih mengendarai Toyota Kijangnya.

Memang bukan mobil nasional Esemka yang membawanya ke sorotan jelang Pilpres 2014 lalu; tapi kesadaran ia masih gampang diserang terutama di urusan perut seluruh rakyat Indonesia. [Didit Sidarta]