Presiden Jokowi membagikan 7.000 sertifikat di Pematang Siantar. (foto/setkab.go.id]

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo menyerukan agar seluruh elemen masyarakat bersama-sama menjaga dan merawat kerukunan, persaudaraan dan persatuan bangsa. Persaudaraan dan persatuan bangsa tidak boleh pecah hanya karena perbedaan politik.

Seruan tersebut disampaikan Presiden di Pematang Siantar, Senin (27/11) ketika menyerahkan 7.000 sertifikat tanah bagi masyarakat Sumatra Utara.

Presiden berharap, perbedaan pada pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden tidak perlu dipermasalahkan lagi setelah hari pencoblosan. “Ada pemilihan bupati, wali kota, gubernur, sudahlah. Pilihlah yang Bapak Ibu anggap paling baik, terbaik, pilih! Brek udah! Coblos blos udah, setelah itu bersaudara lagi,” kata Presiden.

Menurut Presiden selesai pencoblosan sudah seharusnya masyarakat kembali hidup rukun dan menjalani rutinitas semula. Presiden meminta masyarakat jangan terbawa emosi
akibat perbedaan pilihan politik.

“Jangan sampai pilpres sudah tiga tahun masih dibawa-bawa sampai sekarang, pilgub sudah empat tahun masih dibawa-bawa sampai sekarang,” kata Presiden.

Di tengah menguatnya politik identitas, seruan tersebut mengulang harapan sebelumnya yang menurut Presiden sudah menjadi hukum Allah sekaligus berkah bahwa Indonesia dikaruniai keberagaman. Termasuk di antaranya 17.000 pulau, 714 suku, dan lebih dari 1.100 bahasa daerah serta bermacam-macam agama.

“Jangan sampai karena pemilihan kepala daerah bupati, wali kota, gubernur, pemilihan presiden, menjadikan kita tidak rukun dengan tetangga, atau teman sekampung, atau saudara sekampung,” kata Presiden.

Menurut Presiden, pada setiap pemilihan pilih saja yang dianggap paling baik tanpa saling menjelekkan, menyalahkan, mencela, dan memfitnah di media sosial. “Lupa bahwa kita saudara sebangsa setanah air,” kata Presiden.

Politik Identitas

Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sudah seharusnya Presiden bertindak sebagai penjaga utama keberagaman. Khususnya di tengah makin meningkatnya politik identitas yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat.

Menguatnya politik identitas tersebut terkonfirmasi oleh survei yang dilakukan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia di delapan provinsi dan delapan kota. Survei itu menunjukkan perubahan faktor yang mempengaruhi pilihan politik masyarakat, termasuk salah satunya yakni kesamaan agama. Faktor in diperkirakan bakal tetap dominan pada pelaksanaan Pilkada 2018 mendatang.

Semenjak gelaran Pilkada DKI Jakarta, faktor kesamaan agama menguat dengan mempengaruhi lebih dari 50 persen preferensi politik masyarakat. Faktor itu menggeser kesamaan suku yang selama ini menjadi preferensi utama sekaligus menggeser program yang ditawarkan para kandidat.

Dikhawatirkan kecenderungan itu bakal terus berlanjut pada Pilpres 2019 mendatang.

Politik identitas berpusat pada politisasi bersama membangun ‘kekitaan’ sebagai perekat utama. Seringkali identitas dipolitisasi melalui interpretasi ekstrim, untuk menggaet dukungan mereka yang ‘merasa’ sama baik ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Politik identitas juga acap mengambil bentuk puritanisme yang memproduksi sekaligus mendistribusikan ide ‘kebaikan’ pada sesama mereka, namun di sisi lain membungkam nalar kritis kelompok identitas lain.

Pada kasus tertentu, sebenarnya politik identitas hadir sebagai narasi kelompok terpinggirkan akibat gagalnya arus utama mengakomodir kepentingan minoritas. Meski secara positif politik identitas menghadirkan mediasi, bawaan dikotomi oposisional yang menjadi pondasi persamaan tetap membedakan perasaan kolektivitas ‘kekitaan’ dengan kelompok lain.

Padahal ‘kegagapan’ memahami struktur masyakarat yang plural, memicu politik identitas maujud dalam bentuk meningkatnya intoleransi.[TGU]