Leimena juga mencatat sejumlah tantangan bagi perwujudan suatu gerakan pemuda dalam ideal itu. Salah satu hambatan yang cukup berat adalah yang disebutnya naluri kebangsaan (nationaal instinct), yaitu sikap nasionalisme yang sempit dan tertutup bagi bangsa sendiri sehubungan dengan kenyataan bahwa dalam pergerakan pemuda Kristen bergabung juga orang-orang asing. Ia membedakan antara kebangsaan yang berwawasan sempit itu dengan kebangsaan tulen, yang adalah karunia Allah. Kebangsaan tulen mengarahkan pemuda Kristen pada pengabdian, sedangkan naluri kebangsan membingungkan orang.

Lebih lanjut Leimena menekankan pentingnya agama bagi pembentukan moral dan budi pekerti, sebab perjuangan bangsa tidak hanya memerlukan orang yang berkepandaian, melainkan juga orang yang beragama dan bersopan santun. Suatu bangsa yang tinggi kemajuan teknologinya tetapi tidak memiliki orang-orang yang berbudi maka tergolong bangsa yang miskin. Ia menempatkan agama di atas kebangsaan dalam arti kesungguhan beriman akan memperbesar pengabdian.

Leimena menulis:  “Tiap orang misti nasionalis, tjelaka besar kalau orang tidak nasionalis. Kalau kamoe bertjampoer dengan bangsa lain, dengan kemadjoean lain, tjampoerkanlah kemadjoeanmu dengan jang lain itoe, koetip baiknja; Tetapi djangan lepaskan milikmoe, pegang, didik dengan baik. Tinggikan kebangsaanmu, rasa harga dirimoe dan rasa bahwa kamoe dapat. Tetapi djanganlah itoe mendjadi agamamoe.”

Mendirikan Parkindo dan Puskesmas

Pada tahun 1945, Leimena ikut serta dalam pembentukan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Di tahun 1950, ia terpilih sebagai ketua umumnya dan memegang jabatan itu hingga tahun 1957. Selain di Parkindo, pada tahun 1950, Leimena juga berperan dalam pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, yang kini menjadi PGI). Di lembaga ini, Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.

Sejak proklamasi kemerdekaan itu pula, Leimena dekat dengan Bung Karno dan para pemimpin bangsa. Kalau melihat catatan sejarah, Leimena merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri di kabinet pemerintahan Indonesia. Bahkan, ia tercatat sebagai satu-satunya menteri yang menjabat selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Dalam menjalankan tugasnya sebagai menteri, Leimena masuk dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966)– sebagai Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Sebagai Wakil Perdana Menteri, ia pernah menjadi Penjabat Presiden RI ketika Bung Karno melawat ke luar negeri.

Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (titular) di TNI Angkatan Laut, ketika ia menjadi anggota dari Komando Operasi Tertinggi(KOTI) dalam rangka Trikora.

Meski berada di lingkaran dekat Presiden Soekarno, kalangan yang menentang Bung Karno dan Demokrasi Terpimpin tidak lantas memusuhi Leimena. Ini disebabkan mereka menghargai kejujuran Leimena. Kepada mereka yang menentang garis politiknya itu, Leimena selalu berkata: “Jangan lihat omonganku, tapi lihatlah perbuatanku”.

Sebagai pejabat negara, Leimena selalu memikirkan kepentingan rakyat kecil. Salah satu karya monumentalnya saat menjadi Menteri Kesehatan adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Kedekatannya dengan rakyat kecil dan berdasarkan apa yang dilihat sehari-hari ketika melakukan pelayanan kesehatan, Leimena melihat pentingnya pelayanan kesehatan yang dekat dengan rakyat. Dari sanalah gagasan puskesmas muncul, hingga masih ada sampai hari ini.

Tidak Dimusuhi Orde Baru

Pagi hari, setelah pecah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Leimena mendampingi Bung Karno di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Saat itu, Kolonel Sarwo Edhie, komandan RPKAD, sudah bersiap menyerbu kawasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mendengar situasi itu, Leimena kemudian memberi nasehat agar Bung Karno menyingkir ke Istana Negara di Bogor. Nasehat Leimena itu akhirnya dituruti Bung Karno.

Awalnya, seperti dijelaskan Leimena kepada Sabam Sirait, malam sebelumnya terjadi upaya penculikan sejumlah perwira tinggi TNI, termasuk Jenderal A.H. Nasution. Leimena juga menjelaskan spekulasi tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap upaya penculikan tersebut. “Tapi, situasi sudah bisa diatasi Bung Karno,” kata Leimena.

Ketika bertemu Sabam Sirait sore hari, 1 Oktober 1965,  mungkin saja Leimena merasa situasi bisa diatasi Bung Karno. Tapi, hari-hari berikutnya situasi politik justru tak bisa lagi dikendalikan Bung Karno dan para pengikutnya. Pelahan tapi pasti kekuasaan Bung Karno digerogoti para lawan politiknya. Dan, sejarah membuktikan, beberapa tahun kemudian Bung Karno jatuh dari kursi kekuasaannya.

Meski menjadi pejabat di masa pemerintahan Presiden Soekarno, rejim Orde Baru tak “memusuhi” Leimena. Malah, Leimena yang mengundurkan diri dari posisinya sebagai menteri ketika Orde Baru mulai berdiri. Presiden Soeharto kemudian memberi kepercayaan kepada Leimena untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga tahun 1973.

Pensiun dari DPA, ia semakin intens melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya, seperti Parkindo dan Dewan Gereja Indonesia (DGI). Ketika Parkindo berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Leimena masuk dalam jajaran anggota Dewan Pertimbangan Pusat PDI. Ketika proses fusi PDI, Leimena tak banyak terlibat. Ia hanya menjadi semacam penasehat saja. Sabam Sirait—yang saat itu menjabat Sekjen Parkindo– dan beberapa pengurus inti Parkindo yang ditugaskan mengawal proses fusi tersebut.

Johannes Leimena meninggal dunia di Jakarta, 29 Maret 1977, di usia 72 tahun. [Satyadarma]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 22 Agustus 2017