Koran Sulindo – Presiden Soekarno bukanlah orang yang anti-kritik. Tapi, ia juga pernah kesal karena kritikan orang. Misalnya, saat ia dikritik secara terbuka oleh Jenderal T.B. Simatupang.
Ceritanya, suatu kali saat mereka bertemu, Simatupang—yang masih menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP)– mengkritik gaya berpakaian Bung Karno yang layaknya seragam militer.
Bung Karno memang dikenal senang memakai uniform jas putih bergaya militer dengan empat saku, plus seabrek bintang jasa di dada. “Bung sebaiknya tak usah memakai seragam seperti militer. Apalagi Bung kan tidak pernah sekolah di kemiliteran,” begitu kira-kira ucapan Simatupang kepada Bung Karno.
Mendengar kritik itu, Presiden Soekarno sempat marah. Ia mengaku mengenakan uniform karena ingin membuat rakyat Indonesia bangga.
“Aku memakai uniform karena aku panglima tertinggi. Rakyatku sudah lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan aku harus bisa memberikan mereka sebuah citra. Suatu kebanggaan. Karena itu aku memakai uniform,” kata Bung Karno, seperti dikutip dari biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams.
Sebaliknya, Simatupang menganggap jika presiden menggunakan uniform atau seragam militer itu menunjukkan suatu mentalitas bahwa hanya orang yang berseragam yang patut dihormati. Dia mengambil contoh para kaisar di dunia yang selalu berfoto dengan pakaian kebesaran dan tak mau menemui rakyat kalau tak mengenakan uniform.
Rupanya Bung Karno tidak bisa menerima penjelasan Simatupang. Bung Karno bercerita kepada orang-orang bahwa Simatupang melarangnya memakai uniform kebanggaannya.
Untuk menjernihkan soal ini, Jenderal Simatupang pun pernah menjelaskan masalah itu.
“Yang benar saya katakan adalah: ‘Bung Karno, saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang yang mengenakan uniform, memberi hormat kepada Bung Karno yang tidak memakai uniform. Sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu yang tinggi, tetapi yang tidak memakai uniform,” tuturnya, dalam buku Percakapan Dengan DR. T.B. Simatupang, terbitan BPK Gunung Mulia.
Di lain waktu, Simatupang yang marah besar kepada Bung Karno. Peristiwa itu terjadi pertengahan Oktober 1952, di Istana Negara. Dalam memoar TB Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, kejadiannya berawal dari berita tentang upaya penggantian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel A.H. Nasution, yang digagas oleh perwira TNI lainnya, Kolonel Bambang Supeno.
Kabar yang beredar waktu itu Kolonel Bambang Supeno, dengan menggalang tanda-tangan para panglima di daerah-daerah, sudah menghadap Presiden Soekarno untuk mengajukan usul tersebut, dan presiden telah menyetujui hal tersebut.
Jenderal Simatupang, selaku KSAP, tentu saja terkejut dengan berita tersebut. Ia menyebut berita itu laksana petir di siang bolong. “… sekonyong-konyong ada berita bahwa presiden sendiri terlibat dalam upaya untuk menghambat proses (modernisasi TNI) yang telah berjalan secara sistematis. ….Disamping terkejut, kami sebetulnya sangat marah kepada presiden….,” tulisnya.
Jenderal Simatupang, Kolonel Nasution, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubowono IX, kemudian meminta bertemu dengan Presiden Soekarno. Permintaan itu segera dipenuhi. Maka, terjadilah percakapan yang kemudian berjalan sangat dramatis.
Perdebatan terutama terjadi antara Presiden Soekarno dan Simatupang. Puncaknya, setelah mendengarkan uraian Simatupang yang panjang lebar tentang ketidaksetujuan mengganti Kolonel Nasution sebagai KSAD, Presiden Soekarno menjawab dengan nada marah: “Saya sudah bilang, kamu mempunyai kemampuan untuk memojokkan seseorang”.
Masih menurut Simatupang, “….Pembicaraan yang dramatis antara Presiden, Menteri Pertahanan, KSAP, dan KSAD itu berakhir dengan suasana yang panas dan tidak bersahabat. Saya sendiri meninggalkan presiden tanpa berjabat tangan, saya hanya memberikan hormat (secara) militer belaka. Menurut cerita-cerita yang sebagian barangkali tambahan, maka pintu telah saya tutup dengan keras– hal mana sebetulnya tidak begitu saya ingat. Presiden rupanya merasa sangat tersinggung, bahkan terhina, oleh saya dengan percakapan yang dramatis itu….”.
Bahkan, menurut cerita, saking kerasnya bantingan pintu tersebut, pintu ruangan di Istana Merdeka itu hampir lepas engsel nya. Soal insiden membanting pintu tersebut, Simatupang pernah bilang: “Sebenarnya saya tak terlalu keras membanting pintunya. Hanya mungkin pintunya saja yang sudah rusak”.
Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, Mayor Jenderal T.B. Simatupang semacam dinon-aktifkan, karena jabatan KSAP kemudian dihilangkan. Hilangnya jabatan KSAP berarti menutup karir Simatupang di militer.
Sebagai tentara dengan pangkat tertinggi, tak ada lagi posisi untuknya. Akhirnya Simatupang memilih pensiun dini dari dinas militer di tahun 1959. Jabatan terakhirnya adalah Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Saat itu dia berpangkat letnan jenderal, dan berusia 39 tahun. Alasan pengunduran dirinya: Simatupang merasa tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Soekarno.
Akibat Peristiwa 17 Oktober 1952 itu pula, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubowo IX dan KSAD Kolonel Nasution mengundurkan diri dari jabatannya.
Beberapa tahun kemudian, Presiden Soekarno meminta kembali Simatupang dan Kolonel A.H. Nasution untuk aktif lagi di TNI. Tapi, Simatupang menolak bertemu Bung Karno, meski sang Presiden berkali-kali mengirim orang untuk menyampaikan pesan undangan bertemu. Adapun Kolonel Nasution bersedia aktif lagi, dan kemudian diangkat kembali menjadi KSAD, Oktober 1955.
Namun, ketika Bung Karno wafat di tahun 1970, kepada Sabam Sirait, Simatupang sempat menyatakan penyesalannya kenapa tidak mau memenuhi undangan bertemu Bung Karno tersebut.
Perwira Cemerlang
Tahi Bonar Simatupang lahir di Sidikalang, 28 Januari 1920. Ayahnya, Sutan Mangaraja Soadoan Simatupang adalah ambtenaar di Kantor Pos dan Telegraaf Hindia Belanda. Selain itu, Soadoan Simatupang sebagai aktivis politik di kawasan Simalungun dan Tapanuli. Ia lah pendiri Perchi (Partai Christien Indonesia) yang bergerak di Sumatra Utara.
TB Simatupang menjalani pendidikan dasarnya di HIS Pematang Siantar (tamat di tahun 1934), lalu melanjutkan ke MULO Tarutung (tamat tahun 1937). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di AMS Batavia, hingga tamat di tahun 1940.
Di masa-masa ini, Simatupang juga aktif di Sauduran (Satu Barisan), organisasi pemuda HKBP Kernolong Jakarta, bersama dengan sejumlah pemuda Batak lainnya, seperti Lontong Sitorus (kelak menjadi Sekjen Partai Sosialis Indonesia), Bismarck Oloan Hutapea (kelak menjadi teoritikus dan anggota Politbiro PKI).
Setelah tamat dari AMS Batavia, Simatupang masuk KMA (Akademi Militer Kerajaan Belanda) di Bandung. Teman seangkatannya, antara lain, AH Nasution dan Alex Kawilarang. Mereka menamatkan pendidikan taruna militer tepat sebelum pasukan Jepang menduduki Indonesia, awal 1942.
Di masa pendudukan Jepang, TB Simatupang bersama dua sahabatnya—Lintong Sitorus dan Bismarck Oloan Hutapea—menyewa rumah di Tanah Tinggi, Jakarta. Tujuannya agar lebih bebas mengadakan kontak-kontak dengan berbagai pihak yang dari hari ke hari makin resah dengan keadaan saat itu. Oleh kalangan masyarakat Batak yang bermukim di Jakarta masa itu, tiga sekawan itu dijuluki De Drie Musketiers (Tiga Prajurit yang Bersahabat).
Menurut cerita Simatupang, selain aktif mengikuti dunia pergerakan, tiga sekawan gemar mengumpulkan dan membaca buku-buku tentang pergerakan kemerdekaan berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Juga buku-buku tentang revolusi besar, terutama Revolusi Perancis, Revolusi Rusia, dan Revolusi Cina. Kebanyakan buku-buku itu mereka beli dari tukang loak atau pedagang buku bekas di Pasar Senen. Buku-buku bekas itu cukup melimpah, karena orang-orang Belanda yang belum masuk kamp tahanan Jepang, menjual buku-buku mereka sekedar untuk menyambung hidup.
Baru setelah proklamasi kemerdekaan, Simatupang dan para lulusan KMA Bandung aktif di TKR/TNI. Karir Simatupang terbilang moncer. Ia dikenal sebagai perwira ahli strategi, hingga di usia muda ia sudah dipercaya menjadi KSAP. Tapi, Peristiwa 17 Oktober 1952 kemudian menghentikan karirnya di militer.
Meski tak lagi menjadi pejabat militer, sebagai mantan KSAP yang pemikirannya cukup berpengaruh, Simatupang kerap menerima tamu orang-orang penting di rumahnya. Yang cukup sering datang bertamu, antara lain, Mohammad Hatta, proklamator yang juga Wakil Presiden Pertama RI. Selain itu, dua wartawan senior, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, juga kerap datang.
Sedangkan dari kalangan militer, yang sering bertandang adalah Kolonel Alex Kawilarang dan Kolonel Maludin Simbolon. Beberapa kali juga datang tokoh-tokoh politik dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masjumi.
Setelah pecah PRRI/Permesta, tokoh-tokoh PSI dan Masjumi serta tokoh militer seperti Kolonel Simbolon hampir tak pernah lagi datang bertamu.
Konon, Simatupang dan Bung Hatta sebenarnya diajak berkali-kali untuk terlibat dalam PRRI/Permesta. Tapi, kedua tokoh ini menolak tegas. Betapapun kritisnya mereka terhadap Presiden Soekarno dan penerapan Demokrasi Terpimpin, Simatupang dan Bung Hatta tetap setia terhadap Republik Indonesia yang ikut mereka dirikan.
TB Simatupang kemudian lebih banyak aktif di organisasi keagamaan, Dewan Gereja Indonesia (DGI), hingga akhir hayatnya. [Imran Hasibuan]