RAA Wiranatakusumah V (Wikimedia Commons)

Di balik deru sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Raden Adipati Aria (RAA) Wiranatakusumah V hadir sebagai saksi sekaligus pelaku penting dalam dinamika bangsa yang sedang mencari bentuk. Ia bukan hanya seorang bangsawan dari tanah Sunda, tetapi juga politisi yang menjembatani budaya Timur dan Barat, serta tokoh negarawan yang turut merintis lahirnya Republik Indonesia.

Lahir di Bandung pada 8 Agustus 1888 (dalam beberapa catatan disebut 23 November 1888), Muharam, demikian nama kecilnya. Di besarkan di tengah keluarga aristokrat Jawa Barat. Ayahnya, Raden Adipati Kusumahdilaga, adalah Bupati Bandung pada masa kolonial. Sejak kecil, Muharam mengalami kehidupan dalam dua dunia: adat tradisional Sunda yang lekat di rumah, dan pendidikan Barat yang disiplin sejak ia dititipkan ke keluarga Eropa pada usia sembilan tahun.

Pendidikan formalnya dimulai di ELS dan OSVIA, kemudian berlanjut ke HBS Willem III di Batavia. Di luar itu, ia menjadi murid pribadi Snouck Hurgronje, orientalis dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, yang sekaligus menjadi wali bagi Muharam setelah wafatnya tokoh-tokoh pelindungnya. Bimbingan inilah yang memperkenalkan Muharam pada pemikiran Islam modern, bahasa-bahasa Eropa, dan konsep-konsep ketatanegaraan modern yang kelak mewarnai jalan hidupnya.

Karier birokrasi Muharam dimulai dari posisi juru tulis di Sumedang, kemudian mantra polisi di Sukabumi. Dalam usia yang terbilang muda, ia diangkat menjadi Bupati Cianjur pada 1912 dan kemudian menjadi Bupati Bandung pada 1920. Gelar RAA Wiranatakusumah V melekat padanya saat memimpin Bandung, sebuah posisi yang ia duduki selama dua periode: 1920–1931 dan 1935–1945.

Di masa ini, Wiranatakusumah tidak hanya menjalankan administrasi pemerintahan, tetapi juga mulai berkiprah di politik nasional. Ia menjadi anggota Volksraad, dewan perwakilan bentukan Belanda, mewakili perhimpunan para bupati (Sedyo Mulio). Ia juga menggagas Perhimpunan Pegawai Bestuur Boemipoetra (PPBB), sebuah organisasi untuk menyatukan pegawai bumiputra dari berbagai tingkat guna memperjuangkan hak-hak dan aspirasi rakyat.

Perumus UUD dan Menteri Dalam Negeri Pertama

Menjelang proklamasi kemerdekaan, Wiranatakusumah terlibat aktif dalam BPUPKI dan PPKI, dua badan penting yang mempersiapkan dasar negara dan struktur pemerintahan. Dalam sidang-sidang tersebut, ia turut menyumbangkan gagasan mengenai sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berakar pada nilai-nilai keislaman yang inklusif.

Pada awal kemerdekaan, ia dipercaya menjadi Menteri Dalam Negeri pertama Republik Indonesia. Meski menjabat hanya beberapa bulan, ia aktif berkeliling Jawa untuk mengonsolidasikan dukungan terhadap pemerintahan baru. Setelah itu, ia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung, lembaga penasihat tertinggi negara yang kala itu memegang peranan strategis dalam menjaga arah kebijakan nasional.

Salah satu episode paling dilematis dalam hidup Wiranatakusumah terjadi ketika Belanda, melalui skema federal, membentuk Negara Pasundan. Awalnya, ia menolak mentah-mentah keterlibatan dalam proyek ini. Namun, atas permintaan tokoh-tokoh lokal serta persetujuan Presiden Soekarno, ia akhirnya menerima jabatan sebagai Wali Negara Pasundan—bukan untuk memperkuat federalisme, melainkan sebagai strategi melemahkan skenario pecah-belah Belanda dari dalam.

Pilihan ini menunjukkan kedewasaan politik dan kepiawaian diplomasi seorang tokoh negara. Benar saja, pada 8 Maret 1950, Wiranatakusumah secara resmi membubarkan Negara Pasundan dan mengembalikannya ke pangkuan Republik Indonesia—menjadikannya sebagai negara bagian pertama yang kembali bergabung dalam NKRI pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda.

Penulis, Budayawan, dan Tokoh Agama

Di luar panggung politik, Wiranatakusumah V dikenal sebagai intelektual dan agamawan yang produktif. Ia menulis banyak karya, mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga kajian tentang demokrasi dalam Islam. Beberapa bukunya antara lain Islam dan Demokrasi, Tafsir Surah Al-Baqarah, dan Mi’raj Kanjeng Nabi.

Keterlibatannya dalam seni juga menarik perhatian. Ia turut membidani lahirnya film Loetoeng Kasaroeng (1926), film bisu pertama Indonesia yang diangkat dari legenda Sunda, dan berperan aktif dalam dunia teater.

RAA Wiranatakusumah V wafat pada 22 Januari 1965, menutup lembaran hidup seorang negarawan yang senantiasa berdiri pada simpul-simpul penting perjalanan bangsa. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, ia dianugerahi Bintang Mahaputra Adipradana, salah satu penghargaan tertinggi dari Republik Indonesia.

Di tengah dinamika politik dan sosial yang terus bergulir, sosok Wiranatakusumah tetap relevan untuk dikenang. Ia mengajarkan bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal kuasa, tetapi tentang menjaga nurani, berpikir jernih, dan bertindak demi kemaslahatan bangsa. Sosoknya adalah penjelmaan dari nilai-nilai yang tak lekang oleh zaman, teguh, moderat, dan visioner. [UN]