Kawanan Kerbau Bule keturunan Kerbau Pusaka Keraton Kiai Slamet membuka jalan bagi rombongan Kirab Peringatan Malam 1 Suro Keraton Surakarta Hadiningrat di Jalan Mangkubumen Sasono Mulyo, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/10/2014). (Antara Foto/Maulana Surya)
Kawanan Kerbau Bule keturunan Kerbau Pusaka Keraton Kiai Slamet membuka jalan bagi rombongan Kirab Peringatan Malam 1 Suro Keraton Surakarta Hadiningrat di Jalan Mangkubumen Sasono Mulyo, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/10/2014). (Antara Foto/Maulana Surya)

Indonesia dan horor ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di balik kekayaan tradisi dan keberagaman budaya, terdapat lapisan kepercayaan kuno yang membaur dengan keseharian masyarakat. Salah satu bentuk paling nyata adalah ritual-ritual adat yang kental akan nuansa mistis, bahkan dianggap menyerempet dunia gaib.

Jauh sebelum horor menjadi bagian dari hiburan populer, seperti film horor. Nuansa mistis sudah terlebih dahulu hidup dalam denyut tradisi dan ritual budaya Nusantara. Bukan sekadar kisah menakutkan, tetapi sebagai bagian dari sistem kepercayaan dan spiritualitas yang diwariskan turun-temurun.

Di berbagai pelosok Indonesia, terutama di tanah Jawa, ritual-ritual adat seperti Malam Satu Suro, ruwatan, hingga larung sesaji tidak hanya menjadi wujud penghormatan kepada leluhur atau kekuatan alam, tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan dunia gaib yang tak kasatmata. Dalam tradisi ini, mistisisme hadir sebagai sesuatu yang sakral, bukan hanya mengundang rasa takut, tetapi juga rasa hormat dan kehati-hatian.

Meskipun zaman telah berubah, dan generasi muda hidup dalam era digital yang serba teknologi, praktik-praktik ini masih dijalankan, setidaknya sebagai bagian dari identitas budaya. Di sinilah menariknya: horor dalam konteks tradisi tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan hadir bersama nilai, simbol, dan makna yang dalam.

Artikel ini akan menelusuri ritual-ritual adat yang sarat unsur mistis. Dari semedi di malam Satu Suro, pementasan wayang dalam ruwatan, hingga larung sesaji di lautan. Dalam praktiknya, ritual-ritual ini menempatkan manusia dalam relasi yang kompleks dengan alam, leluhur, dan makhluk tak kasatmata. Di rangkum dari berbagai sumber, berikut ritual-ritual yang dianggap mistis di Indonesia.

Malam Satu Suro

Setiap pergantian tahun dalam penanggalan Jawa—terutama saat memasuki 1 Suro (Muharram dalam kalender Hijriyah)—menjadi momen yang penuh kehati-hatian. Masyarakat Jawa percaya bahwa Malam Satu Suro adalah waktu di mana tirai antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi tipis. Oleh karena itu, ritual spiritual seperti tirakat, semedi, atau nglakoni tapa brata sering dilakukan untuk “menenangkan energi alam”.

Di Keraton Yogyakarta, perayaan ini dilangsungkan secara khidmat dalam tradisi kirab pusaka, di mana benda-benda keramat milik raja diarak keliling kota sebagai bentuk pensucian spiritual. Prosesi ini mengundang ribuan orang yang percaya bahwa pusaka tersebut memiliki kekuatan supranatural.

Sementara itu, dalam masyarakat umum, malam tersebut justru dihindari untuk kegiatan besar seperti pernikahan atau pindah rumah karena diyakini dapat membawa sial.

Ruwatan

Ruwatan adalah upacara adat yang bertujuan untuk melepaskan seseorang dari “sengkala” atau nasib buruk yang dipercayai melekat karena hal tertentu, misalnya lahir sebagai anak tunggal (ontang-anting), anak ketujuh, atau anak dengan urutan tertentu yang dianggap “keramat”.

Ruwatan sering kali dipenuhi simbolisme yang kuat: pembacaan doa, pemotongan rambut, pementasan wayang kulit dengan lakon tertentu seperti “Murwakala” yang melibatkan dewa kematian. Secara sosial, ritual ini mempertemukan unsur kepercayaan, mitos, dan upaya penyucian diri dari malapetaka.

Larung Sesaji

Di berbagai daerah pesisir seperti Pantai Selatan Jawa, masyarakat melangsungkan larung sesaji, yakni menghanyutkan persembahan ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa laut, termasuk Nyi Roro Kidul. Sesaji bisa berupa makanan, pakaian, hingga kepala kerbau, tergantung dari adat setempat.

Larung sesaji bukan hanya tentang persembahan, melainkan juga upaya menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam semesta, yang diyakini berjiwa dan memiliki kekuatan gaib. Nuansa mistis muncul dari kepercayaan bahwa jika larung tidak dilakukan, maka bencana bisa menimpa desa atau nelayan tidak akan mendapat ikan.

Ngapati & Mapati

Dalam budaya Jawa, ritual mistis juga hadir dalam bentuk perhitungan hari baik dan buruk, seperti Ngapati (menentukan hari kelahiran calon bayi) atau Mapati (ritual kehamilan 4 bulan). Masyarakat percaya bahwa perhitungan ini dapat menghindarkan dari gangguan makhluk halus yang mengintai jiwa-jiwa lemah, terutama pada janin dan anak-anak.

Prosesi ini kerap diiringi mantra-mantra dan pengusapan minyak khusus atau bunga setaman, mencerminkan keyakinan akan kehadiran entitas lain di sekitar manusia yang perlu “dirayu” atau “dilunakkan”.

Antara Ketakutan dan Kebijaksanaan Tradisi

Ritual-ritual tersebut tidak bisa dilepaskan dari horor—baik secara psikologis, simbolik, maupun spiritual. Masyarakat menjalankan prosesi ini bukan semata karena takut, tapi karena keyakinan bahwa alam semesta memiliki kekuatan lebih besar dari logika manusia.

Dalam pandangan antropologis, tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Nusantara memaknai “takut” bukan sebagai bentuk kelemahan, tetapi sebagai sarana untuk membangun hubungan spiritual yang lebih kuat. Ketakutan menjadi bagian dari kesadaran kolektif akan keterbatasan manusia, sekaligus bentuk penghormatan terhadap yang tak terlihat.

Di tengah dunia yang semakin modern, tradisi-tradisi mistis ini tetap bertahan, meski sebagian hanya tinggal sebagai simbol atau tontonan budaya. Generasi muda kini mungkin memandangnya sebagai mitos, namun tak sedikit pula yang mulai menggali ulang akar spiritualitas Nusantara.

Horor dalam tradisi bukan sekadar cerita menyeramkan, tapi cermin dari cara masyarakat menghormati waktu, ruang, dan kekuatan yang lebih besar. Dalam ketegangan antara kepercayaan dan keraguan, antara nyata dan gaib, di sanalah horor hidup: bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan. [UN]