Koran Sulindo – Sepertinya sejarah Afghanistan sebagai ‘kuburan’ bagi bangsa asing yang berperang di negara itu tak ada habisnya. Paling baru, dalam dua bulan terakhir China tengah membahas kemungkinan membangun sebuah pangkalan militer di sepanjang perbatasan di Afghanistan.

China merasa perlu mempertegas kehadirannya di Asia Tengah untuk mencegah meluasnya pengaruh dan penyusupan militan Islam di sepanjang Koridor Wakhan untuk beroperasi di wilayah Xinjiang.

“Kami akan membangun pangkalan dan pemerintah China telah berkomitmen untuk membantu secara finansial, menyediakan peralatan sekaligus melatih tentara Afghanistan,” kata Mohammad, Radmanesh, juru bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan seperti dilansir AFP.

Kementerian Luar Negeri China mengakui rencana tersebut, namun menyebutnya hanya sebagai kerjasama meningkatkan ‘kapasitas’ tentara Afghanistan.

Pangkalan militer tersebut akan dibangun di Koridor Wahkan, sebuah celah sempit bergunung-gunung di Afghanistan timur laut berbatasan dengan China, Tajikistan dan Pakistan.

Namun, bagaimanapun pembangunan pangkalan tersebut menunjukkan ‘perenggangan’ paling spektakuler dari Tentara Pembebasan Rakyat China. Mereka mempunyai prioritas untuk membatasi Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) dari wilayah Uyghur yang berniat meluaskan pengaruh dan ancamannya di wilayah Xinjiang.

China juga mengkhawatirkan ISIS atau Al-Qaeda dari Suriah dan Irak memanfaatkan Afghanistan sebagai batu loncatan untuk mencapai negara tersebut.

Perlu diingat, September 2013, pengganti Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri memproklamasikan dukungannya kepada ETIM untuk melawan China di Xinjiang.  Setahun kemudian giliran Abu Bakr, Al-Baghdadi pemimpin ISIS menyerukan bahwa “hak-hak kaum muslim harus direbut dengan paksa di China, India dan Palestina.”

Sedangkan awal tahun lalu, ISIS merilis sebuah video yang mengumumkan kehadiran mereka di Afghanistan, termasuk dengan kelompok militant dari Uighur yang bersumpah untuk “menumpahkan darah seperti sungai” di Xinjiang.

Pembangunan pangkalan di Afghanistan tersebut tak lepas dari kepentingan China melindungi China’s Belt and Road Initiative atau Jalur Sutera Baru yang bakal menghubungkan China dengan Asia, Afrika, Timur Tengah tembus ke Eropa.

Beijing juga berkepentingan menjaga stabilitas jaringan Koridor Ekonomi China-Pakistan yang bernilai US$57 miliar. Meningkatnya teror di Asia Tengah dan Selatan juga dianggap mempengaruhi investasi China yang besar pada industri pertambangan di Afghanistan.

Dalam pertemuan Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) di mana Afghanistan menjadi anggota pengamat, Rusia dan China sepakat bahwa masa depan Afghanistan yang damai harus diputuskan di Asia dan oleh orang Asia.

Akhir tahun lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov kepada diplomat anggota sesama anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) mengatakan Moskow lebih suka berbicara dengan Taliban. Dia mengatakan ini adalah satu-satunya cara untuk mengurangi risiko meluasnya teror dari Afghanistan ke Asia Tengah.

Di Afghanistan sendiri ide perdamaian terbelah antara mereka yang berpandangan moderat dan menyetujui proses perdamaian, dan mereka yang berpikir radikal yang secara konsisten memerangi pemerintah AS dan NATO di Kabul.

Di sisi lain, strategi Moskow bersifat pragmatis. Rusia, Iran, India, Afghanistan dan negara-negara di Asia Tengah dilaporkan telah mengadakan pertemuan untuk memetakan semua solusi yang memungkinkan.

Sementara itu, Beijing menjadi anggota aktif Kelompok Koordinasi Quadrilateral (QCG) yang mempromosikan proses perdamaian dan rekonsiliasi yang melibatkan mencakup Kabul dan Taliban. Secara paralel, Beijing mengandalkan ‘hubungan istimewanya’ dengan Pakistan membatasi manuver Taliban ke dalam proses perdamaian yang berkelanjutan.

Penunjukan Liu Jinsong sebagai duta besar China yang baru ke Kabul bisa dianggap mencerminkan pendekatan itu. Liu dibesarkan di Xinjiang dan menjadi direktur Dana Proyek Jalan Sutra senilai US$ 15 miliar dari tahun 2012 sampai 2015. Dia dianggap sangat paham dan mengetahui seluk beluk daerah tersebut.

Sebelum kedatangan Liu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, telah mengumumkan bahwa Beijing dan Islamabad akan memperpanjang enam proyek sebagai prioritas mereka, termasuk rute Peshawar-Kabul yang akan diubah menjadi trans-Afghanistan yang menghubungkan Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah. Tentu saja, jalur itu akan terhubungan dengan pangkalan militer China di Pelabuhan Gwadar di Pakistan, Pelabuhan Laut Arab, dan koridor Wakhan.

Membandingkan pendekatan China-Rusia, dengan strategi Washington di bawah Donald Trump yang hanya fokus mengalahkan Taliban di medan perang sebelum untuk memaksa mereka bernegosiasi dengan Kabul. Dengan Taliban mampu mengendalikan daerah-daerah kunci di wilayah Afghanistan, pemerintahan Trump jelas kehilangan pilihan.

Sejauh ini, meski Pemerintah AS tidak pernah mengumumkan proyeksi total biaya invasi dan pendudukan Afghanistan. Namun menurut dokumen Congressional Research Service pada 8 Desember 2014, perang di negeri itu telah menguras US$ 1,6 triliun. (TGU)