Koran Sulindo – Di tengah histeria kutukan dunia menentang pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, masyarakat dunia mengabaikan kesiapan Tel Aviv untuk melancarkan perang. Termasuk The Light of Dagan, sebuah latihan perang digambarkan sebagai bagian dari persiapan agresi bersenjata melawan Lebanon.
Latihan perang yang melibatkan puluhan ribu tentara dari semua layanan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) itu berlangsung selama sebelas hari sejak tanggal 4 sampai 14 September 2017 silam.
Pada latihan itu disimulasikan sebuah serangan teroris di Shavey Zion, sebuah wilayah yang hanya berjarak 15 kilometer dari perbatasan Lebanon. Ratusan pejuang Hizbullah dari unit Radwan merangsek ke utara, menyandera warga sipil dan menduduki sinagog setempat.
Setelah sebuah evakuasi penduduk sipil, dalam The Light of Dagan itu unit-unit besar IDF segera bergerak sebuah pola defensi, termasuk serangan balasan dan penggelaran unit tambahan untuk melawan gerakan Hizbullah. Operasi segera memasuki tahap kedua yang yakni serangan terpadu melawan penyerang sekaligus mendorong mereka kembali ke perbatan di Libanon selatan.
Tujuan utama The Light of Dagan adalah ‘mematikan kemampuan dan kemauan perlawanan’ Hizbullah. Tentu saja dalam skenario itu IDF sukses mengalahkan Hizbullah.
Untuk ukuran regional, IDF bagaimanapun merupakan kekuatan yang tangguh dengan anggaran sebesar US$15,9 miliar atau setara Rp 215,6 triliun. Mereka memiliki 176 ribu personel dengan 133 ribu di Angkatan Darat, 34 Angkatan Laut dan 9,5 melayani Angkatan Udara. Selain jumlah itu, Israel juga memiliki 465 ribu tentara cadangan dan 8.000 penjaga perbatasan.
Kekuatan darat Israel dibagi dalam tiga komando regional yakni Utara, Tengah dan Selatan, dua divisi lapis baja, lima divisi infanteri teritorial, tiga batalyon pasukan khusus dan sebuah tim pasukan operasi khusus. Sedangkan kekuatan laut negeri itu dilengkapi kelompok kapal permukaan, kapal selam, serta batalyon komando.
Di udara, Israel memiliki dua skuadron tempur, lima skuadron serang tempur, enam skuadron tempur tempur campuran dan cadangan, skuadron ASW, patroli maritim dan skuadron pendukung, dua EW skuadron, skuadron AWACS, dua skuadron angkut angkut dan tanker, dua skuadron pelatihan, dua skuadron helikopter serang, empat skuadron helikopter transportasi, sebuah divisi ambulans udara dan tiga skuadron UAV. Selain itu, pada tanggal 6 Desember juga mengoperasikan sembilan jet tempur terbaru buatan AS yakni F-35I.
Selain kekuatan konvensional, Israel juga dipercaya memiliki kekuatan nuklir meski jumlah hulu ledaknya masih menjadi perdebatan. Namun yang pasti hulu ledak itu itu bisa diangkut oleh jet tempur F-15 dan F16, rudal jarak menengah Jericho-2, dan kapal selam diesel kelas Dolphin. Israel juga mengoperasikan sembilan satelit militer dan dua satelit serbaguna.
Meski dilengkapi peralatan tempur paling modern dan kemampuan nuklir, IDF tetap tak saja tak luput dari kekurangan termasuk yang paling utama yakni keahlian personil dan pemeliharaan peralatan.
Di sisi lain, untuk mengadaptasi kemampuan menghadapi ancaman modern dari berbagai kelompok bersenjata, sembari menerapkan pemotongan anggaran dan meminimalkan jumlah kecelakaan, IDF mengaplikasi Rencana Gideon yang sudah dimulai sejak tahun 2015.
Rencana itu mencakup pengurangan jumlah tentara profesional menjadi 40 ribu, mengurangi layanan militer dari 36 menjadi 32 bulan, regenerasi komandan lapangan, memangkas pasukan artileri dan brigade infanteri ringan, menghapus dua divisi militer, dan mengurangi jumlah pasukan cadangan menjadi 100 ribu.
Arah dari perencanaan itu menunjukkan IDF berniat mengubah diri dari tentara wajib militer menjadi tentara profesional sekaligus memiliki sejumlah besar tentara terlatih dan perwira muda yang menjanjikan mampu menerapkan gagasan-gagasan baru. Tentara baru akan dipersenjatai dengan peralatan yang lebih modern untuk menghadapi ancaman modern.
Fakta bahwa Komando Utara akan digabung dengan komando umum menunjukkan bahwa daerah ini –selatan Lebanon dan Hizbullah- mendapat perhatian khusus. Khususnya rudal Hizbullah.
Selain memiliki beberapa lapis pertahanan rudal seperti Iron Dome, David Sling, Arrow dan Patriot. Israel juga memiliki 17 baterai MIM-23 I-HAWK sebagai pertahanan udara meski diragukan keefektifannya. Namun, dengan harga sebuah roket tipe Qassam buatan Palestina hanya beberapa ratus dolar dan bebebrapa ribu dolar untuk roket BM-21 Grad keseimbangan biaya sangat tidak menguntungkan Israel.
Seiring waktu, bagaimanapun keefektifan militer IDF terus menurun. Israel memenangkan perang pada tahun 1967 dengan penuh dan tanpa syarat. Tentara Mesir dan Suriah mendapat pukulan keras dengan didudukinya Dataran Tinggi Golan, Semenanjung Sinai dan tepi barat Sungai Yordan. Pada perang tahun 1973 meski Mesir dan Suriah benar-benar kembali dikalahkan, Israel harus menderita kerugian berat.
Dalam perang Lebanon pertama tahun 1982, meski IDF memiliki keunggulan numerik dan secara taktis memenangkan perang, secara strategis Israel kalah ketika gagal mencapai Beirut.
Sedangkan pada Perang Lebanon ketiga tahun 2006, walaupun IDF berhasil menduduki wilayah-wilayah penting mereka gagal mengalahkan Hizbullah secara total. Di sisi lain, serangan-serangan yang di tujukan ke wilayah Israel tak menyusut. Serangan itu benar-benar tidak efektif.
Salah satu ketidakefektifan IDF itu bisa digambarkan dari keterkejutan seorang perwira senior dari Korps Lapis Baja IDF seperti dilaporkan Haaretz, dari 170.000 tembakan artileri pada posisi-posisi Hizbullah serangan itu hanya menewaskan lima pejuang Hizbullah.
Sebuah investigasi pasca perang juga menunjukkan IDF hanya berhasil menghancurkan 100 dari 12.000 peluncur roket Katyusha. Kegagalan yang harus dibayar dengan ‘hujan’ roket di wilayah utara Israel setelah perang usai.
Ada tekanan kuat di Tel Aviv untuk kembali menegaskan dominasi militer IDF yang hilang.
Skenario IDF vs Hizbullah
Terlepas dari kompleksitas dan ketidakpastian situasi yang mungkin dihadapi, konflik masa depan hanya akan menampilkan dua pihak, IDF dan Hizbullah. Pernyataan para pimpinan Israel mengindikasikan, pertempuran itu jelas bakal diprakarsai Israel.
Seperti yang digambarkan dalam The Light of Dagan,operasi militer akan dimulai dengan evakuasi besar-besaran warga sipil dari permukiman di utara wilayah tengah Israel. Dengan agen Hizbullah di IDF, hampir tidak mungkin merahasiakan konsentrasi pasukan di perbatasan dan evakuasi massal itu. Ini akan memberi waktu bagi unit-unit Hizbullah menempati posisi defensif yang sudah dipersiapkan dan sekaligus membuka serangan di tempat-tempat di mana IDF terkonsentrasi.
IDF bakal meluncurkan pemboman besar-besaran untuk merusak infrastruktur militer Hizbullah, yang memicu kerusakan besar infrastruktur sipil. Namun satu hal yang pasti, pemboman itu tak bakal menghancurkan peluncur roket Hizbullah yang terlindungi dengan baik.
Israel mungkin juga akan melintasi perbatasan Lebanon, meskipun dijaga misi perdamaian PBB di Libanon selatan. Meski operasi ini akan melibatkan lebih banyak personel dibanding perang tahun 2006, hal tersebut tak menjamin IDF menang dengan cepat karena kerugian besar di area built-up. Di sisi lain kebutuhan mengamankan wilayah yang diduduki dengan patroli dan pos pemeriksaan hanya akan mencetak kerugian lebih lanjut.
Fakta bahwa Israel memulai perang dan memicu kehancuran infrastruktur sipil, kondisi itu menyediakan legitimasi Hizbullah untuk menggunakan rudal menyasar kota-kota Israel. Meski pertahanan rudal Israel mampu mencegat rudal yang diluncurkan, mereka tak bakal bisa benar-benar bisa menghentikannya sama sekali. Sementara evakuasi warga sipil melumpuhkan Israel.
Segera setelah Iron Dome dan sistem jarak menengah lainnya dihabiskan mencegat roket jarak pendek, rudal jarak menengah Hizbullah bisa segera memulai salvo menghantam pemukiman Israel. Rudal-rudal itu sanggup menjangkau seluruh sasaran di Israel.
Selain sulit menghitung durasi perang ini, namun satu hal pasti seharusnya Israel tak terlalu mengandalkan kesimpulan menang perang dengan cepat seperti dalam simulasi The Light of Dagan. Pengalaman perang di Suriah membuat unit-unit Hizbullah sekarang menjadi jauh lebih mampu dibanding tahun 2006.
Kombinasi latihan skala besar dan retorika perang, para pemimpin Israel mencoba meyakinkan publik bahwa agresi atas Hizbullah akan cepat dan tidak berdarah. Pemimpin Israel dipenuhi nafsu perang, sementara sebaliknya Hizbullah sejauh ini justru menunjukkan pengekangan dan diplomasi.
Meremehkan musuh selalu menjadi langkah awal menuju kekalahan. Latihan The Light of Dagan menunjukkan pemimpin Israel meremehkan Hizbullah dan yang lebih penting, menganggap mereka sangat bodoh.
Pada kenyataannya, unit Hizbullah tak akan melewati perbatasan. Bagi mereka, tak perlu memprovokasi tetangga yang sudah terlalu gugup.
Bagi Hizbullah, lebih mudah dan jauh lebih aman menunggu tentara Israel mendatangi mereka. Personel IDF yang bertugas di Gaza dan Lebanon selatan menyebut lebih mudah beroperasi di dataran Gaza daripada di daerah pegunungan Lebanon selatan. Konturnya sangat menyulitkan pengoperasian kendaraan lapis baja.
Dibanding menuruti hiruk pikuk patriotik kosong di Israel, lebih baik IDF kembali kepada kebijaksanaan nenek moyang mereka dulu. Lagi pula, seperti peribahasa Yahudi lama mengatakan, “Perang adalah rawa besar, mudah masuk tapi sulit untuk keluar.”[TGU]