Koran Sulindo – Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya dengan kemajemukan, baik etnis, agama atau religi, dan latar belakang kultural. Meski begitu, kekayaan tersebut mengandung potensi negatif yakni terjadinya perpecahan. Misalnya konflik antar pemeluk agama.
Sementara itu masyarakat yang demokratis perlu untuk terus dibangun, karena syarat penting tumbuhnya demokratisasi adalah pengakuan akan kebebasan, termasuk kebebasan orang lain, terlebih kebebasan beragama.
“Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan tentang kebebasan beragama, menganalisis rumusan konsep kebebasan beragama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan manfaatnya dalam membangun perdamaian di Indonesia,” kata Ridwan Ahmad Sukri, S.S., M.Hum., saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Filsafat UGM, Jumat (27/1).
Menurut Ridwan, kebebasan beragama dalam pandangan Gus Durberarti kebebasan memilih dan melaksanakan ajaran agama. Kata “memilih” menunjukkan adanya faktor ikhtiar manusiawi yang hasilnya harus dipertanggungjawabkan.
Gus Dur dalam pandangannya mengetengahkan gagasan berdasarkan ushulu al-fiqh (kaidah hukum) yang disebut dharuriyatu al-khamsah (lima hal dasar yang dilindungi agama) dengan makna yang khas. Hifdzu al-din dimaknainya sebagai keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama.
Hifdzu al-nafs dimaknai sebagai keselamatan fisik warga dari tindakan badani di luar ketentuan hukum dan hifdzu al-aqli, yaitu pemeliharaan atas kecerdasan akal. Sedangkan hifdzu al-nasl merupakan keselamatan keluarga dan keturunan dan hifdzu al-mal, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum.
Istilah hifdzu al-din yang dalam istilah klasik memiliki makna memelihara agama, bagi Gus Dur, menjadi spirit melakukan pembelaan terhadap kebebasan beragama yang memunculkan toleransi, dan hal itu senada dengan dasar negara Pancasila.
“Pemikiran tentang kebebasan beragama Abdurrahman Wahid berkontribusi untuk menciptakan perdamaian dunia, khususnya di Indonesia,” katanya.
Mempertahankan disertasi berjudul Konsep Kebebasan Beragama Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Etika dan Kontribusinya Bagi Pembangunan Perdamaian di Indonesia, Ridwan menyebut etika yang dikembangkan Gus Dur dapat disebut dengan Etika Sosial Akulturatif. Maksudnya, ajaran Islam memberikan rumusan konsep pergaulan sosial yang harus bersandar pada prinsip al ghayah wal washil, tujuan, dan cara mencapainya.
“Cara mencapainya adalah sekunder selama tujuan yang primer tetap tidak berubah. Tugas Islam adalah melestarikan nilai dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan memakai cara mulia,” kata dosen Fakultas Filsafat UGM itu.
Cara mulia yang dipakai, kata Ridwan, disebut akhlaq al karimah. Islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa melalui pengembangan nilai dasarnya sebagai etika masyarakat yang bersangkutan, bukan sebagai bentuk kenegaraan tertentu.
“Etika sosial memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia,” kata Ridwan.
Ujian doktor ini dipandu promotor Drs. M. Mukhtasyar, M.Hum., Ph.D dan ko-promotor Dr. Arqom Kuswanjono. [ugm.ac.id/DAS]