Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di awal tahun ini cukup mengejutkan publik. Lembaga antikorupsi yang sempat menjadi “macan” ompong, kembali menunjukkan “taringnya” dalam memberantas korupsi.

Tidak main-main, kali ini KPK menyasar dua tokoh yang cukup dikenal publik. Keduanya juga sama-sama berasal dari lembaga yang membawa nama baik bangsa. Bahkan satunya kerap dinamai sebagai perwakilan “Tuhan” di dunia.

Kedua orang itu adalah Emirsyah Satar, bekas Direktur Utama Garuda Indonesia dan Patrialis Akbar, bekas Menteri Hukum dan HAM dan ketika ditangkap menjabat sebagai hakim Mahkamah Konstiusi (MK). Kedua orang ini sama-sama dituduh menerima suap. Dan keduanya menjadi pejabat negara semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kasus yang menimpa Emirsyah Satar berkaitan dengan suap pembelian pesawat berbadan lebar Airbus A330. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Emir menerima suap yang cukup besar dalam kasus tersebut – mencapai jutaan dolar Amerika Serikat (AS).

KPK menggandeng lembaga antikorupsi Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau), dan Inggris (Serious Fraud Office) untuk mengusut kasus ini. Berawal dari terbongkarnya skandal suap perusahaan Rolls Royce, pemasok pesawat dan pemeliharaan mesin peswat Garuda.

Berdasarkan laporan The Guardian pada pertengahan Januari lalu, perusahaan ini mengakui dan meminta maaf karena telah menyuap jutaan dolar termasuk memberikan mobil mewah melalui makelar kepada pemimpin perusahaan-perusahaan badan milik negara termasuk di Indonesia. Mereka kemudian dihukum dan harus membayar ratusan juta pound kepada negara.

Khusus untuk Indonesia, selama hampir 10 tahun menjabat sebagai Dirut Garuda, Emir dituduh menerima suap mencapai 1,2 juta euro dan US$ 180 ribu atau sekitar Rp 20 miliar. Suap itu berupa uang dan barang yang menyebar di Singapura dan Indonesia.

Suap ini terkait dengan pengadaan 50 pesawat airbus sepanjang 2005 hingga 2014, termasuk pengadaan 34 pesawat yang membuat Garuda merugi pada 2014. Soetikno Soedarjo merupakan perantara atau makelar pemberi suap kepada Emir dan juga ditetapkan sebagai tersangka. Selain mencatat transaksi suap tersebut, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan juga merekam aliran dana dari Emir ke sejumlah orang.

Setelah Emir, KPK kemudian menciduk hakim MK Patrialis Akbar dalam operasi tangkap tangan pada 26 Januari lalu. Patrialis yang pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM pada era Presiden SBY ini tertangkap tangan menerima suap US$ 20 ribu dan 200 ribu dolar Singapura yang dikaitkan dengan uji materi atas Undang Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2014.

KPK bercerita, penyidik telah mengintai Patrialis selama enam bulan terakhir. Selain Patrialis, KPK juga mengikuti tiga tersangka lainnya. Karena itu, suap yang diterima Patrialis pada 26 Januari lalu bukan yang pertama, tetapi diperkirakan ketiga kalinya. KPK kemudian menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Sementara, MK memutuskan memecat Patrialis sebagai hakim konstitusi.

Di saat bersamaan, Presiden Joko Widodo mengampuni atau mengabulkan permohonan grasi bekas Ketua KPK Antasari Azhar. Sehari setelah pengabulan grasi itu, Antasari pun bertemu dengan Jokowi di Istana Negara. Tidak ada yang mengetahui pembicaraan kedua orang ini. Namun, yang pasti setelah pertemuan itu, Kepolisian RI memutuskan untuk kembali mengkaji kasus yang melibatkan Antasari.

Politik Jokowi vs SBY
Ketiga peristiwa ini nampaknya sulit untuk tidak menghubungkannya dengan politik, terutama buruknya komunikasi antara pemerintah Jokowi dengan presiden sebelumnya yakni SBY selama ini. Apalagi, ketika menjabat presiden, SBY berhubungan langsung dengan ketiga tokoh tersebut.

Meski belum terverifikasi, istri Emir disebut memiliki kedekatan dengan Ibu Ani Yudhoyono. Sedangkan, Patrialis, selain pernah menjadi menteri, juga merupakan hakim MK yang ditunjuk langsung Presiden SBY kala itu. Sementara Antasari merupakan bekas Ketua KPK yang menjadi “korban” dari kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, eks direktur anak usaha BUMN.

Seperti Jokowi, hubungan Antasari dan SBY juga berakhir tidak harmonis. Terlebih SBY selama menjadi presiden tidak pernah mengunjungi ataupun memberikan pernyataan simpati kepada Antasari ketika dirundung masalah. Itu sebabnya, ketika Antasari mengadakan syukuran pembebasan bersyarat, SBY sama sekali tidak diundang karena ia merasa tidak “berteman” dengan SBY.

Di saat yang sama, Antasari menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah Jokowi. Itu bisa tampak ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir dalam acara syukuran pembebasan bersyarat Antasari. Acara tersebut juga dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Terakhir, hubungan baik itu terlihat ketika Jokowi mau menerima kunjungan Antasari setelah pengabulan grasinya.

Publik juga mengetahui hubungan Jokowi dan SBY kurang harmonis. Itu terlihat ketika Jokowi kerap mengadakan pertemuan politik dengan pimpinan partai politik ketika massa bergolak pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Dari semua pimpinan partai besar, hanya SBY yang tidak ditemui Jokowi.

Ini menyiratkan SBY berada di barisan massa yang mendesak Jokowi untuk segera memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama karena disangka sebagai penista agama. Pada akhirnya SBY hanya diterima Wakil Presiden Jusuf Kalla karena pernah bersama-sama menjadi pasangan presiden dan wakil presiden periode 2004 hingga 2009.

Terbaru, SBY, lewat kicauan di akun Twitter mengeluhkan peredaran hoax atau berita bohong yang kian masif. Ia menyebut mengapa negara bisa begini, juru fitnah dan penyebar hoax berkuasa. Rakyat dan yang lemah tidak pernah menang.

Menanggapi cuitan ini, Presiden Jokowi mengingatkan semua orang untuk tidak mengeluh. Tidak perlu banyak mengeluh karena hampir semua negara juga menghadapi hoax. Jokowi justru menegaskan, sebaiknya jangan menghasut, jangan memfitnah, jangan menyebarkan kabar bohong, dan jangan menyebar ujaran kebencian.

“Itu yang selalu saya sampaikan dalam setiap kesempatan,” kata Jokowi pada pekan lalu. Fakta ketiga peristiwa itu oleh karenanya sulit untuk tidak menghubungkannya dengan situasi politik di tanah air terutama antara Jokowi dan SBY. [KRG]