Taufiq Kiemas saat muda/Roesdi Hoesen-sejarahkita.com

Koran Sulindo – Peristiwa Gestok 1965  telah mengubah jalan hidup Taufiq Kiemas. Tak lama setelah pengumuman Dewan Revolusi oleh Kolonel Untung di Jakarta, 1 Oktober 1965, Taufiq dan sejumlah tokoh  nasionalis di Palembang ditahan. Pasalnya, garis politik GMNI ketika itu adalah membela Presiden Soekarno dari berbagai kekuatan politik yang berusaha menggerogoti wibawa dan kekuasaannya. Tak peduli apakah itu dari kalangan komunis, tentara, atau kekuatan politik lain. Pokoknya, siapa saja yang menyerang Bung Karno waktu itu dianggap musuh.

Padahal suhu politik saat itu sedang panas. Isu anti-PKI mulai beralih menjadi anti-Soekarno. Kekuatan anti-Soekarno dan pro-Soekarno sudah berhadap-hadapan, bahkan sampai ke jalanan. Akan halnya tentara, terutama Angkatan Darat, baik secara diam-diam maupun terang-terang, memihak kalangan yang anti-Soekarno.

Taufiq dan puluhan aktivis GMNI Palembang  dimasukkan ke dalam sel tahanan markas CPM Kodam Sriwijaya di Jalan Merdeka, Palembang. “Saat pertama masuk, kami kaget juga. Di dalam sel-sel yang sempit itu telah berjejal ratusan tahanan PKI,” kenang Taufiq.

Semula, mereka disatukan dengan para tahanan PKI. Tapi, setelah beberapa hari diperiksa, anak-anak GMNI dipisahkan di sel sendiri. Sel tahanan berukuran 2,5 meter x 2,5 meter itu diisi sepuluh atau sebelas orang. Untuk berdiri saja sudah terasa sesak, apalagi untuk tidur. Jadi, terpaksalah mereka berdesak-desakan. Semakin hari sel itu semakin padat, karena ada saja aktivis GMNI yang tertangkap. Terakhir tercatat sedikitnya ada 23 orang aktivis GMNI yang mendekam di tahanan CPM itu. Bahkan, ada yang menyerahkan diri karena rasa solidaritas sesama kawan.

Ada hikmah yang didapat Taufiq dan kawan-kawan selama di dalam tahanan itu. Rasa senasib sepenanggungan semakin menyuburkan solidaritas di antara mereka. “Bayangkan selama setahun lebih dipenjara, kami tak boleh dijenguk siapa pun, termasuk keluarga ataupun sanak-famili. Bahkan, tak boleh menerima kiriman makanan sekalipun. Jadi, urusan makanan hanya bergantung pada jatah makanan dari dapur penjara,” kenang Taufiq.

Hikmah lain: karakter kepemimpinan Taufiq semakin terasah. Pernah suatu kali, seorang aktivis bernama Hasan jatuh sakit karena kekurangan gizi. Pasalnya, jatah makanan para tahanan saat itu cuma empat sendok nasi dengan sayur seadanya.

Nurani Taufiq tersentuh. Ia mengusulkan para tahanan kelompok mereka menyumbangkan satu sendok jatah makanan masing-masing untuk Hasan. Jadi, sejak saat itu, Hasan mendapat tambahan jatah nasi 22 sendok setiap hari.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, sakit Hasan keburu parah. Hanya beberapa hari kemudian, Hasan meninggal di sel tahanan. Kawan-kawannya sungguh berduka, termasuk Taufiq. Tapi, Taufiq kemudian membesarkan hati kawan-kawannya bahwa begitulah risiko sebuah perjuangan politik.

Menurut Taufiq, apa yang ia alami dan kawan-kawannya itu belum seberapa dibanding dengan apa yang dialami para tahanan PKI. Mengenai soal PKI ini, Taufiq mengungkapkan, “Kalau aku pikir-pikir lagi, bangsa kita masa itu termasuk yang paling kejam di dunia.  Nazi yang membunuh orang Yahudi itu catatannya lengkap: siapa yang dibunuh, tanggal berapa dibunuh, dan sebagainya. Orang Rusia yang membunuh di zaman Revolusi Bolshevik ada pengadilannya, meskipun tidak sungguh-sungguh. Tapi, orang-orang yang terlibat atau terindikasi terlibat PKI disiksa, lantas dihabisi begitu saja, tanpa catatan atau pengadilan apa pun.“ Apalagi, kondisi tahanan di Palembang masa itu sangatlah memprihatinkan. “Aku rasa tidak ada tahanan di Indonesia waktu itu yang mengalami perlakuan lebih kejam dari tahanan di Sumatera Selatan. Dari puluhan ribu orang tahanan yang dianggap PKI, mungkin hanya ratusan yang selamat keluar hidup-hidup,” tutur Taufiq. [Imran Hasibuan]