Koran Sulindo – Setelah proses Reformasi 1998 yang mengikuti berhentinya Soeharto sebagai presiden, salah satu gagasan yang buru-buru hendak dijalankan adalah reformasi TNI (saat itu masih Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI). Hampir 20 tahun kemudian, kini, proses reformasi itu berjalan tak lebih jauh dari pintu berangkat; bahkan ada kecenderungan ingin berbalik kanan.
Surutnya keikutsertaan militer dalam perpolitikan nasional setelah reformasi itu, hingga saat ini, tak diikuti kenaikan daya tawar kekuatan sipil. Mungkin karena masyarakat dan organisasi sipil di tanah air ngehe; mungkin juga karena tentara sudah terlalu jauh menghujam dalam bangunan politik Indonesia berkat kekuatan nyaris tanpa batas selama kekuasaan Orde Baru Soeharto yang berlangsung lebih 30 tahun itu.
Antara 27 Maret 1967 ketika Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden dalam sidang istimewa Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) hingga ia berpidato berhenti dari kedudukan sebagai presiden pada 20 Mei 1998, selama itu pula ABRI ada di mana-mana. Dari posisi politik sebagai gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa; dari menteri, dirjen, direktur badan usaha milik negara, dan ketua badan olahraga semacam KONI.
Reformasi TNI adalah ancaman mengerikan bagi mereka. Selain berkuasa secara nyata dalam posisi-posisi politik dan bisnis selama ini, di bawah tanah, tentara mempunyai pohon uang yang tak pernah tersentuh lembaga hukum negara.
Jalan Tengah
Akar kenyataan politis itu bermula pada 1965, tatkala komando militer mulai mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer, beberapa legal, mayoritas ilegal. Bisnis militer itu yang sepanjang pemerintahan orde baru berlangsung lancar, terutama bergerak di bidang impor sebagai semacam pemberi lisensi mengimpor barang-barang kebutuhan pokok seperti gula dan beras. Beberapa hanya sebagai penengah, makelar yang hanya memburu rente.
Kegiatan tentara ini mendapat pembenaran dari doktrin mereka: Dwifungsi militer.
Konsep ini pertama kali muncul pada 1958, bernama fungsi kekaryaan, diusulkan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution kepada Presiden Sukarno dalam peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah.
Konsep tersebut memberikan peluang bagi peranan tak terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.
Oleh Soeharto konsep yang sering disebut “jalan tengah” itu digunakan lebih lanjut di luar bayangan penggagasnya: pembenaran militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. ABRI ada di mana-mana hingga masuk ke desa.
Dwifungsi berubah menjadi multifungsi, dan pelan-pelan ABRI yang didirikan untuk melindungi keamanan negara berganti menjadi pelindung pemerintahan Soeharto.
Eksesnya lari kemana-mana, mulai dari penyederhanaan partai-partai politik yang mengerucut pada peleburan parpol untuk mencegah konflik politik di masyarakat. Ektrem ini berlanjut lagi dengan pemberlakuan “Asas Tunggal”, seluruh organisasi kemasyarakatan dan politik wajib mengakui Pancasila sebagai satu satunya asas.Tak boleh ada ideologi lain.
Berdirinya Partai Golkar pada 1964, dari sebuah ormas kecil menjadi kendaraan paling pas bagi kekuatan militer. Golkar tumbuh besar dan kuat bersama ABRI, dan baru sekitar 10 tahun sebelum Soeharto jatuh, ada orang non militer bisa menjadi ketua partai itu.
Setelah hampir 20 tahun dihantami militer nampak bergeming dan pelan-pelan melawan balik. TNI tak pernah bosan mengupayakan agenda militerisme melalui pelatihan dan pemberdayaan komponen cadangan (Komcad). Isu wajib militer terus digulirkan dan isu kebangkitan komunisme terus mereka kumandangkan. Narasi bahaya laten komunisme seperti ini adalah senjata yang paling sering mereka gunakan semasa orde baru, dan itu yang ingin diulang lagi. Slogan-slogan bahaya komunis itu kadang dibungkus retorika patriotistik dan belakangan kelompok-kelompok Islam garis keras ikut-ikutan berteriak.
Tetap pertama harus dipahami, alasan terdasar upaya-upaya itu adalah untuk mempertahankan posisi elitis ekonomi-politik, yang lebih satu generasi sudah mereka nikmati dan tak hendak dilepas.
Satu Warna
“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, dalam buku “Jenderal tanpa Pasukan, Politisi tanpa Partai, Perjalanan Hidup AH Nasution (1998).
Nasution mengaku kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain “banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan.” Menurut Nasution, penempatan itu tidak tercakup dalam gagasan dwifungsi.
Dan Nasution pasti juga kaget hingga begitu ekstremnya tentara masuk ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui bahasa. Modernisasi, demi pembangunan, ekstrem kanan, ekstrem kiri, gerombolan pengacau keamanan (GPK), organisasi tanpa bentuk, dan seterusnya, dan sebagainya, adalah bahasa-bahasa tentara yang dicerap dalam kehidupan berbangsa.
Dunia politik Indonesia berubah secara dramatis setelah Soeharto berkuasa. Kebijakan luar negeri dan dinamika dalam negeri yang begitu warna-warni pada masa Soekarno tiba-tiba redup, satu warna, dan membosankan. Mereka ingin kita kembali ke zaman itu. [Didit Sidarta]