Polisi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Purwokerto. (FOTO/KITLV)

Setiap 1 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Bhayangkara, hari bersejarah bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tahun 2025 menjadi peringatan ke-79 sejak tanggal 1 Juli 1946 ditetapkan sebagai momentum berdirinya Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada tahun ini, tema yang diangkat adalah “Polri untuk Masyarakat”, menggambarkan tekad institusi Polri untuk semakin dekat dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Puncak peringatan Hari Bhayangkara ke-79 tahun ini digelar di kawasan Monas, Jakarta, dengan berbagai kegiatan seperti upacara kenegaraan, konser rakyat, layanan publik gratis, dan pameran teknologi kepolisian.

Namun di balik kemeriahan itu, tersimpan sejarah panjang dan kompleks dari institusi yang telah mengalami berbagai fase transformasi sejak masa kerajaan, kolonialisme, hingga Indonesia modern.

Masa Kerajaan hingga Kolonial Belanda

Menurut laman resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejarah kepolisian Indonesia dapat dirunut sejak masa Kerajaan Majapahit, ketika Patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan bernama Bhayangkara. Pasukan ini bertugas melindungi raja dan pusat kekuasaan kerajaan—konsep dasar pengamanan negara yang menjadi cikal bakal kepolisian di Nusantara.

Pada masa penjajahan Belanda, sistem kepolisian mulai dilembagakan. Pada tahun 1867, sejumlah warga Eropa di Semarang merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan mereka.

Kepolisian pada masa Hindia Belanda dibentuk dengan berbagai nama, seperti: Veld Politie (polisi lapangan), Stads Politie (polisi kota), Cultur Politie (polisi pertanian), Bestuurs Politie (polisi pamong praja), dan lainnya.

Struktur dan jabatan pun dibedakan berdasarkan ras. Bangsa pribumi tidak diperkenankan menjabat posisi strategis seperti hoofdagent, inspecteur van politie, atau commissaris van politie. Sebagai gantinya, diberikan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897–1920 menjadi cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Masa Pendudukan Jepang

Saat Jepang menduduki Indonesia, struktur kepolisian dibagi ke dalam empat wilayah:

Kepolisian Jawa dan Madura (berpusat di Jakarta), Kepolisian Sumatera (Bukittinggi), Kepolisian Indonesia Timur (Makassar), Kepolisian Kalimantan (Banjarmasin).

Meskipun jabatan kepala polisi diisi oleh orang Indonesia, pejabat Jepang (sidookaan) tetap menjadi otoritas tertinggi, menunjukkan dominasi penjajahan dalam sistem kepolisian.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pasukan militer dibubarkan, namun polisi tetap bertugas. Ini menjadikan polisi sebagai institusi penting dalam transisi menuju kemerdekaan. Pada 21 Agustus 1945, Inspektur Polisi Kelas I (Letnan Satu) Mochammad Jassin memproklamasikan berdirinya Pasukan Polisi Republik Indonesia di Surabaya. Ia juga melakukan pelucutan senjata tentara Jepang dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat.

Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Presiden Soekarno kemudian melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara pada 29 September 1945.

Pada awalnya, kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara, bertanggung jawab dalam hal administrasi, sementara operasional berada di bawah Jaksa Agung.

Namun, dengan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 11/S.D., mulai tanggal 1 Juli 1946, Djawatan Kepolisian Negara berada langsung di bawah Perdana Menteri. Tanggal inilah yang diperingati sebagai Hari Bhayangkara.

Polri juga aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam berbagai pertempuran seperti peristiwa 10 November di Surabaya, dan di front Sumatera, termasuk melawan pemberontakan PKI di Madiun. Polisi Istimewa kemudian berganti nama menjadi Mobile Brigade (Brimob) sebagai satuan tempur bersenjata.

Pasca Konferensi Meja Bundar, dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). R.S. Soekanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS, sedangkan R. Sumanto menjadi Kepala Kepolisian Negara RI yang berkedudukan di Yogyakarta.

Keppres RIS No. 22 Tahun 1950 menyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijakan politik berada di bawah Perdana Menteri melalui Jaksa Agung, dan dalam hal administrasi di bawah Menteri Dalam Negeri. Kemudian, dengan Tap Presiden RIS No. 150 tanggal 7 Juni 1950, seluruh organisasi kepolisian negara bagian dilebur menjadi Jawatan Kepolisian Indonesia yang dipimpin secara sentral.

Masa Demokrasi Parlementer (1950–1959)

Pada masa ini, Polri dipimpin oleh R.S. Soekanto dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Markas Besar Kepolisian dipindahkan ke Jakarta dan menempati bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Departemen Dalam Negeri. Kemudian, dibangun markas sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, yang menjadi kantor pusat hingga kini.

Polri tidak sepenuhnya sipil atau militer, memiliki struktur dan peraturan gaji sendiri. Anggota Polri tergabung dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) dan tidak ikut dalam Korpri. Istri polisi membentuk Bhayangkari, yang berbeda dari Dharma Wanita atau Dharma Pertiwi. P3RI bahkan ikut Pemilu 1955 dan berhasil masuk Konstituante dan Parlemen.

P3RI juga memperjuangkan gaji yang setara dengan standar PBB melalui Peraturan Gaji Polisi (PGPOL), menjadikan gaji polisi relatif lebih baik dibanding pegawai negeri lain.

Orde Lama

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945. Kapolri R.S. Soekanto kemudian diberi kedudukan sebagai Menteri Negara melalui Keppres No. 153/1959. Selanjutnya, dengan Keppres No. 154/1959, Kapolri juga menjabat Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran.

Namun ketika Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI, R.S. Soekanto menolak penggabungan Polri ke dalam militer demi menjaga profesionalisme. Akhirnya, ia mengundurkan diri pada 15 Desember 1959, menutup pengabdiannya sejak 29 September 1945.

Melalui Tap MPRS No. II dan III tahun 1960, Polri secara resmi menjadi salah satu angkatan dalam ABRI. Keppres No. 21/1960 menetapkan bahwa Menteri Kepolisian setara dengan pimpinan angkatan lain dan berada dalam bidang keamanan nasional.

UU No. 13 Tahun 1961 menjadi dasar hukum kedudukan Polri sebagai unsur ABRI. Keppres No. 94/1962, 134/1962, dan 290/1964 memperkuat kedudukan Polri dalam tugas hukum, kamtibmas, pertahanan, dan sebagai alat revolusi.

Tahun 1965, pendidikan AKABRI disatukan untuk semua angkatan, termasuk Polri. Namun, pada masa ini juga, pengaruh PKI mulai masuk ke tubuh ABRI karena politik NASAKOM Presiden Soekarno.

Orde Baru

Setelah tragedi G30S/PKI, integrasi ABRI diperketat. SK Presiden No. 132/1967 menetapkan ABRI sebagai bagian dari Departemen Hankam yang mencakup AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab pertama.

Saat Soeharto menjadi presiden, jabatan Menhankam/Pangab dipegang Jenderal M. Panggabean. Ketatnya struktur ini menyebabkan perkembangan Polri terhambat karena tidak sesuai dengan karakter universal kepolisian yang bukan militer.

Keppres No. 52/1969 kemudian mengganti kembali sebutan Menpangak menjadi Kapolri, dan singkatan resmi dari Kepala Kepolisian Negara RI adalah “Kapolri”. Peresmian nama ini dilakukan pada 1 Juli 1969.

Hari Bhayangkara bukan sekadar peringatan institusional, tetapi refleksi atas perjalanan panjang, penuh liku, dan penuh pengabdian.

Dengan tema “Polri untuk Masyarakat”, Hari Bhayangkara ke-79 menjadi momentum untuk menegaskan kembali bahwa tugas Polri bukan hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tapi juga menjadi mitra rakyat dalam mewujudkan keadilan sosial dan negara hukum yang berpihak pada semua. [UN]