Koran Sulindo – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir-akhir ini gencar berbicara soal pengawasan terintegrasi di industri jasa keuangan. Sesuatu yang sebenarnya merupakan mandat dari Undang Undang (UU) Nomor 21 tahun 2011. Tetapi kembali digaungkan saat ada wacana untuk mengembalikan kewenangan pengawasan bank ke Bank Indonesia (BI).
Di sela-sela jumpa pers paparan kinerja industri jasa keungan per Juli 2020 pada akhir Agustus lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menjelaskan kembali pentingnya pengawasan terintegrasi untuk sektor jasa keuangan. Wimboh mengingatkan kembali semangat awal berdirinya lembaga ini kurang lebih 10 tahun yang lalu. OJK memang dibentuk dengan tujuan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan yang menyeluruh terhadap sektor jasa keuangan di bawah satu lembaga.
Sebelum UU Nomor 21 tahun 2011 diterbitkan, pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan berada di bawah dua lembaga yang berbeda. Untuk sektor perbankan diatur dan diawasi oleh BI. Sementara, industri keuangan non-bank (IKNB) dan pasar modal diatur dan diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
Wimboh mengatakan, pengawasan dan juga pengaturan terintegrasi saat ini, sebagaimana mandat UU Nomor 21 tahun 2011 kian relevan seiring dengan perkembangan bisnis sektor jasa keuangan seakan-akan tak memiliki batas yang jelas antara yang satu dengan yang lainnya. Produk-produk jasa keuangan, kata Wimboh, kian sulit diidentifikasi sebagai produk bank, IKNB atau pasar modal. Garis pemisah antara satu dengan yang lainnya tak lagi jelas (borderless). “Ini sangat blur pada saat ini, bahkan satu produk itu berkaitan,” ujar Wimboh.
Kurang lebih sepekan kemudian, OJK menggelar jumpa pers khusus menjelaskan soal pengawasan terintegrasi ini. Namun, paparannya disampaikan oleh ekonom Ryan Kiryanto yang juga staf ahli OJK. Ryan mengatakan pengaturan dan pengawasan terintegrasi menjadi keniscayaan karena saat ini sektor jasa keuangan secara organisasi menjelma menjadi konglomerasi keuangan, di mana satu perushaan memiliki bisnis mulai dari bank, asuransi, pembiayaan, sekuritas, aset manajemen, dan sebagainya.
Ryan memaparkan setidaknya ada tiga model konglomerasi keuangan yang saat ini ada di Indonesia dan juga di negara lain. Pertama, model vertikal. Dalam model ini, bank menjadi induk. Sudah lazim di Indonesia saat ini bank-bank memiliki anak usaha yang di bidang asuransi, pembiayaan (multifinance), sekuritas, dan aset manajemen.
Model kedua adalah horizontal, artinya ada dua atau lebih entitas bisnis di sektor jasa keuangan misalnya asuransi dan multifinance. Hubungan antara entitas ini sejajar artinya tidak ada yang menjadi induk atau anak usaha. Tetapi keduanya terhubung satu sama lain karena dimiliki atau dikontrol oleh pihak yang sama (memiliki pemegang saham pengendali atau PSP yang sama).
Model ketiga adalah model campuran (mixed group), di mana memiliki beberapa bisnis inti seperti bank, asuransi, sekuritas. Masing-masing bisnis inti ini memiliki anak usaha yang juga bergerak di sektor keuangan. Misalnya, bank memiliki anak usaha di bidang pembiayaan (multifinance) dan sekuritas memiliki anak usaha di bidang aset manajemen.
Ryan mengatakan mengawasi kelompok usaha atau konglomerasi keuangan ini tentu lebih rumit (complicated) karena aturan main satu dengan yang lainnya berbeda. “Yang penting bagi OJK sebagai lembaga penyelaras aturan adalah bagaimana mengharmonisasikan atau menyelaraskan aturan yang satu dengan aturan yang lain sehingga tidak terjadi konflik atau benturan di lapangan,” kata Ryan.
Wimboh mengatakan dengan pengaturan dan pengawasan terintegrasi di bawah OJK, jauh lebih mudah mendapatkan informasi secara cepat serta akses yang mudah lintas sektoral, baik itu di pasar modal, perbankan, maupun lembaga keuangan non bank. Pengawas perbankan, pasar modal dan IKNB yang saat ini ada di OJK bisa dengan mudah bertukar informasi sekaligus menyelaraskan aturan lintas sektoral.
Menghangatnya kembali topik pengawasan terintegrasi ini terjadi bersamaan dengan adanya wacana mengamputasi kewenangan OJK. Revisi UU Bank Indonesia yang saat ini mulai digodok DPR, boleh jadi menjadi celah untuk mengembalikan pengaturan dan pengawasan bank ke BI. Isu lain yang berkembang adalah pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) sektor jasa keuangan. Melalui Perppu ini kewenangan pengawasan bank dikembalikan ke BI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers reformasi sistem keuangan pada 4 September lalu menyampaikan lima poin usulan pemerintah dalam reformasi sistem keuangan. Dalam poin terkait penguatan koordinasi antara lembaga, Sri Mulyani menyinggung soal mengintegrasikan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Untuk diketahui makroprudensial adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh BI. Sedangkan mikroprudensial adalah kebijakan yang dibuat oleh OJK.
Indonesia, kata Sri Mulyani, pernah menerapkan sistem di mana otoritas pengawas bank dan otoritas moneter berada dalam satu atap, juga sistem yang terpisah antara otoritas pengawas bank dan otoritas moneter.
“Masing-masing sistem tersebut baik mereka di dalam satu atap maupun berbeda atap, memiliki kelebihan dan kekurangan dan yang ini perlu dikaji secara lebih hati-hati di dalam rangka tujuannya adalah memperkuat sistem pengawasan perbankan,” kata Sri Mulyani.
Sinyal ke OJK
Sri Mulyani seakan mengirimkan sinyal ke OJK bahwa kewenangan sebagai pengawas bank bisa sewaktu-waktu dikembalikan ke BI. Namun, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fathan Subchi mengatakan, kewenangan pengawasan bank tetap berada di OJK. Fathan juga membantah soal wacana pembentukan Dewan Moneter yang membantu BI dalam membuat kebijakan moneter. Dewan moneter ini terdiri atas unsur pemerintah juga sehingga dikhawatirkan akan menggerogoti independensi BI.
Fathan mengakui memang saat ini pemerintah sedang menyiapkan Perppu di sektor jasa keuangan. “Saya tegaskan tidak ada Dewan Moneter dan tidak ada perubahan kelembagaan, keweangan OJK tetap, kewenangan BI juga tetap,” kata Fathan dalam sebuah diskusi pada pertengahan September ini.
Mengutak-atik kewenangan lembaga memang bukan hal yang mendesak saat ini. Apalagi keberadaan OJK dan sebelumnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah buah dari tranformasi berkepanjangan di sektor jasa keuangan Indonesia sejak krisis moneter 1998. Hal yang mendesak dilakukan OJK saat ini mestinya adalah melindungi nasabah-nasabah asuransi dan perusahaan aset manajemen yang saat ini sedang menuntut hak mereka karena tak dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Apalah artinya, OJK bicara pengawasan terintegrasi sampai berbusa-busa kalau masih ada nasabah asuransi yang pencairan polisisnya tak bisa dilakukan.
Soal pengembalian kewenangan pengawasan perbankan kepada BI ini juga sempat menyita perhatian mantan Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis beberapa waktu lalu. Sebagai orang yang ikut membidani kelahiran OJK, Emir dalam tulisannya berjudul BI versus OJK mengatakan, sejak awal ada nuansa yang tidak simpati terhadap OJK.
Emir juga cukup memahami mengapa BI berkecil hati melihat pindahnya wewenang pengawasan perbankan ke instansi lain. BI, kata Emir, memiliki pegawai intelektual dan integritasnya tinggi, dan mereka terus-menerus mendapat tambahan pendidikan. Rata-rata pegawai BI memiliki nalar yang tinggi, walau tak mau dikatakan istimewa.
Akan tetapi, hal seperti itu itu juga akan melahirkan esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi, sehingga bisa menimbulkan arogansi lembaga. Ini penyakit dan masyarakat tidak boleh lupa itu.
Terlepas dari semua itu, kata Emir, krisis keuangan ketika OJK sudah eksis, tidaklah separah zaman BI dulu. Kita masih ingat waktu masih di bawah BI: Krismon 1997-1998, krisis Bank Bali, Bank Century. Sejak ada OJK tak ada lagi bank yang perlu di-bailout.
Jadi kalau sekarang belum apa-apa, kewenangan OJK itu mau dikembalikan lagi ke BI, itu menunjukkan sifat kekanak-kanakan. Belum lama, kok sudah lupa. Karena itu, kata Emir, kewenangan pengawasan itu jangan sampai dipindahkan. Bukan apa-apa, orang-orang yang mengisi OJK notabene lebih separuhnya adalah orang-orang BI juga.
OJK, kata Emir, dibentuk berdasarkan UU dan tak perlu memaksa presiden menerbitkan Perppu untuk hal ini. Yang muncul hanyalah kontroversi, debat, dan polemik di masyarakat. “Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti yang sekarang kita alami, rasanya juga tidak elok nasib perbankan nasional kalau dipindah-pindah terus pengawasannya. Saya melihat hingga hari ini OJK baik untuk bangsa ini. janganlah diubah-ubah dengan seenaknya,” kata Emir. [Julian A]