Delegasi Indonesia dalam konferensi itu juga telah menggaris-bawahi arti penting melawan olimpiade internasional yang sejatinya adalah alat imperialisme. “Mereka mengatakan bahwa olahraga harus terpisah dari politik. Tapi, pada kenyataannya, mereka hanya beranggotakan Negara non-komunis, yaitu Negara-negara yang tidak mau melawan neo-kolonialisme dan imperialisme… Indonesia mengajukan secara jujur, bahwa olahraga adalah sesuatu yang selalu berhubungan dengan politik. Indonesia mengajukan usulan untuk menggabungkan olahraga dan politik, dan melaksanakan sekarang Games of New Emerging Forces –Ganefo…melawan Oldefo,” demikian disampaikan delegasi Indonesia.

Sementara Jakarta bergegas mempersiapkan Ganefo, IOC mengamati gerakan ini. “IOC dan federasi internasional tidak dapat menoleransi pergerakan olahraga yang terang-terangan bertujuan politis, terutama yang ingin menyaingi Olimpiade,” tulis Richard Espy dalam The Politics of the Olympic Games: With an epilogue, 1976-1980.

IOC kemudian mengumumkan bahwa mereka tak mengakui Ganefo dan akan mempertimbangkan kembali hak untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964 bagi para atlet-atlet yang berpartisipasi dalam Ganefo. Indonesia tak bergeming dan tetap melayangkan undangan ke negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sejumlah negara, kendati dilanda bimbang karena seruan IOC, menyambut uluran Sukarno.

Satu hal yang menarik dari penyelenggaraan Ganefo adalah minimnya ongkos yang dikeluarkan Indonesia selaku tuan rumah. Tiongkok menyumbangkan 18 juta dolar untuk transportasi semua delegasi Ganefo sebagai bentuk dukungan, juga karena diberi kesempatan berkompetisi di ajang olahraga internasional. Dilihat dari permukaan, konsep Ganefo tak lain adalah replika dari Olimpiade, begitu pula cabang-cabang olahraganya.

“Kompleks olahraga sudah tersedia dan didanai pembangunannya oleh Soviet untuk Asian Games IV. Amerika baru saja menyelesaikan jalan layang yang mempermudah akses dari Tanjung Priok ke Senayan. Jepang mengucurkan dananya untuk membangun hotel berstandar internasional yang dapat mengakomodasi peserta Ganefo dari perkampungan atlet. Meskipun ongkosnya rendah, namun timbal balik politisnya sangat tinggi bagi Indonesia,” tulis Ewa T. Pauker dalam artikel “Ganefo I: Sports and Politics in Djakarta” seperti termuat dalam JurnalAsian Survey, Vol. 5, No. 4, April 1965.

Gencarnya pengaruh dari Uni Soviet dan Tiongkok mengundang kritik. “Indonesia saat itu begitu dilematis. Ekonomi dalam negeri sedang hancur, namun di sisi lain Indonesia ingin bangkit sebagai pelopor Dunia Ketiga,” ujar Suditomo, salah satu anggota panitia logistik selama pelaksanaan Ganefo, sebagaimana dikutip dari artikel di historia.com.

Ganefo I Digelar

Meski mendapat tantangan dari IOC dan negara-negara Barat, Ganefo I dilaksanakan pada 10-22 November 1963 di Jakarta, dengan Indonesia sebagai panitia pelaksananya. Ada tiga program utama, yakni ajang kompetisi olahraga, pesta seni, dan tur delegasi ke beberapa wilayah di Indonesia. Agak berbeda dengan Olimpiade internasional yang didasarkan pada kompetisi murni untuk mencari juara, Ganefo justru dibasiskan pada olahraga untuk memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Sebelum Ganefo dibuka, Bung Karno mengundang kontingen Indonesia ke istana Negara. Di situ ia menegaskan, tugas atlet Indonesia bukan hanya menunjukkan kemampuan mereka di bidang olahraga, tetapi juga membina persahabatan dengan atlet/peserta dari negara lain.

Ganefo I diselenggarakan selama 12 hari. Ada 51 negara peserta yang turut bertanding dalam 20 cabang olahraga (atletik, renang dan lompat indah, sepak bola, bola voli, bola basket, angkat besi, menembak, anggar, gulat, tinju, balap sepeda, tenis meja, tenis, bulu tangkis, polo air, hoki, panahan, layar, judo dan senam).

Ganefo I diikuti sekitar 2.700 atlet berkompetisi, ditambah ofisial dan wartawan dari berbagai negara peserta. 51 negara peserta ini datang dari empat benua: Asia (Afghanistan, Burma, Kamboja, Srilanka, Korea Utara, Indonesia, Irak, Jepang, Laos, Lebanon, Mongolia, Pakistan, Palestina, China, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, dan Vietnam Utara), Afrika (Aljazair, Guinea, Maroko, Nigeria, Mali, Senegal, Somalia, Tunisia, dan Republik Persatuan Arab), Eropa (Albania, Belgia, Bulgaria, Cekoslovakia, Finlandia, Prancis, Jerman Timur, Hungaria, Italia, Belanda, Polandia, Rumania, Uni Soviet dan Yugoslavia), serta Amerika (Argentina, Bolivia, Brazil, Chili, Cuba, Dominika, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).

“Atletik menjadi cabang olahraga paling populer dengan 23 kontingen berkompetisi di dalamnya, diikuti balap sepeda (16), tenis meja (15), tenis (14), tinju (13) dan renang (13). Tuan rumah mengikuti semua cabang olahraga, diikuti China dan Korea Utara yang berkompetisi di 13 cabang,” tulis Russell Field dalam The Olympic Movement’s Response to the Challenge of Emerging Nationalism in Sport: An Historical Reconsideration of GANEFO.

Memang tak semua negara mengirimkan kontingen terbaiknya. Mayoritas negara yang berpartisipasi menaruh simpati pada Ganefo, namun tak ingin keanggotaannya di IOC ikut terancam. “Sebagian besar negara partisipan tidak mengirimkan kontingen yang resmi karena takut dikeluarkan dari Olimpiade. Secara umum, hanya atlet-atlet berkaliber lebih rendah dari level Olimpiade yang dikirim ke Ganefo,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong dalam “The Politicization of Sport: GANEFO-A Case Study” yang terhimpun dalam Sport, Nationalism, and Orientalism: The Asian Games.

Contohnya adalah Jepang. Meski diundang pemerintah Indonesia, komite olimpiade mereka menolak untuk hadir di Ganefo. Namun himpunan pengusaha Jepang yang takut bisnisnya di Indonesia terganggu akibat penolakan ini akhirnya mengirimkan kontingen sendiri, tanpa restu komite nasionalnya.

Maroko dan Filipina mengirim delegasi yang direkrut dari prajurit militer. Brazil, Bolivia, dan Chili mengirimkan atlet dari kalangan mahasiswa. Begitu pula negara-negara Eropa, mayoritas kontingen yang dikirim berasal dari organisasi olahraga milik faksi-faksi politik oposisi di negara masing-masing. Dengan semboyan ‘Onward! No Retreat’ (Maju terus! Pantang mundur), para atlet berusaha membuat prestasi yang dapat menyaingi olimpiade. [Hano Zahaban]