Ilustrasi: Kemacetan lalu-lintas di Jakarta.

Koran Sulindo – Tingkat emisi karbon di Indonesia termasuk yang tinggi di dunia. Padahal, emisi karbon menjadi penyumbang terbesar pemanasan global, yang berdampak pada meningkatkan permukaan laut, tanaman menjadi tidak tumbuh subur, membuat nyamuk malaria mudah berkembang biak, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, bencana akan menjadi semakin mudah datang dan juga pertumbuhan ekonomi bisa menjadi bantet.

Memang, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Juli 2018 lalu, Indonesia pada tahun 2016 telah berkontribusi menurunkan emisi karbon sebesar 8,7%, dari target penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% pada tahun 2030 dari Business as Usual pada Nationally Determined Contribution (NDC). Pada tahun 2016 itu, data tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 1.514.949,8 GgCO2e atau meningkat sebesar 507.219 GgCO2e dibanding tingkat emisi tahun 2000. Artinya, mengalami peningkatan 2,9% per tahun selama periode tahun 2000-2016.

Sungguhpun begitu, perlu adanya upaya peningkatan aksi mitigasi semua pihak untuk berkontribusi pada pencapaian target NDC. Penyelanggara negara ini harus terus mendorong berbagai pihak untuk peduli dan terlibat.

Menurut peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo, penyelenggara negara harus membuat peraturan untuk menurunkan emisi karbon. Apalagi, Indonesia telah berkomitmen pada Paris Agreement, yaitu mencapai bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 25% pada tahun 2025.

Maxensius mengungkapkan hal tersebut karena upaya pemerintah untuk mencapai target bauran EBT hingga saat ini belum optimal. “Sepertinya fokus pemerintah untuk EBT masih setengah hati, ya, tidak serius,” ujarnya pada “Seminar Energi” di kantor pusat LIPI, Jakarta, Jumat (1/3).

Data LIPI pada tahun 2004 memperlihatkan, pembangunan pembangkit EBT mencapai 16,35 Gigawatt (GW). Dari jumlah tersebut, PLN membangun 12,1 GW, sisanya dilakukan produsen listrik swasta (IPP).

Pada tahun yang sama, pembangunan energi fosil mencapai 103,8 GW. PLN membangun 84,1 GW pembangkit dan IPP mencapai 19,7 GW.

Tahun 2017, pembangkit EBT yang dibangun naik, sebanyak 32 GW. Kendati demikian, angka tersebut masih lebih jauh dibandingkan pembangunan pembangkit fosil yang mencapai 222,6 GW.

Setidaknya ada tiga solusi yang diajukan Maxensius untuk mengatasi soal ini. Pertama: pemerintah perlu mengembangkan jaringan listrik pintar (smart grid). Dengan demikian peran pembangkit listrik EBT dapat dioptimalkan. Karena, teknologi smart grid membuat pengelolaan listrik berjalan dua arah. Bukan hanya PLN yang menyediakan, pemilik rumah yang memiliki pembangkit EBT juga dapat memasok listrik ke jaringan yang sudah ada.

Diperkirakan dana untuk membuat smart grid kurang-lebih Rp 238 triliun per tahun. Namun, untuk jangka panjang, Indonesia tak lagi bergantung pada energi fosil. “Jadi kita tinggal pilih. Murah tapi terus seperti ini atau mahal sedikit tapi lebih baik untuk ke depannya,” tutur Maxensius.

Yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah memberi insentif kepada industri yang memakai teknologi ramah lingkungan. Pasalnya, sektor industri menjadi konsumen energi fosil terbesar pada tahun 2017, sebesar 43,8%. Padahal, satu dekade sebelumnya (tahun 2007), angka itu hanya 25%.

Untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil perlu pula dikembangkan sesegara mungkin kendaraan berbahan bakar listrik. Karena, moda transportasi menjadi penyumbang emisi karbon kedua yang terbesar di Indonesia. Tahun 2007, sektor ini mengonsumsi sekitar 25% dari pemakaian bahan bakar fosil di Indonesia dan naik menjadi 39% pada tahun 2017.