Jam dinding menunjukkan tepat pukul 00.00. Hari baru berganti. Tanggalnya: 10 Januari 1973. Suasana di kantor DPP PNI di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, hening sekaligus hikmat. Sepuluh tokoh yang mewakili lima partai yang berfusi maju ke meja yang telah disiapkan. Lantas, satu per satu para tokoh tersebut—Moh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI); Sabam Sirait dan A. Wenas (Parkindo); Ben Mang Reng Say, dan F.S. Wignjosumarsono (Partai Katolik); S.Murbantoko dan Jon Pakan (Partai Murba); Achmad Sukarmadidjaja dan Mh.Sadri (dari IPKI)—menandatanganiDeklarasi Fusi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Padahal, seperti dikatakan Abdul Madjid dalam memoarnya, sebelumnya berlangsung perdebatan keras antar-wakil partai politik, terutama berkaitan dengan pembahasan soal proporsi wakil partai di kepengurusan DPP PDI.
“Waktu itu, anggota PNI sekitar 80 persen dari total anggota lima partai yang berfusi tersebut. Tidak dapat proporsional karena perwakilan tiap-tiap partai dua orang, namun PNImemperoleh keistimewaan untuk menempati posisi Ketua Umum PDI. Jadi, keputusannya: ketua umum dari PNI, sekjen dan bendahara lepas. Tentunya, PNI tidak puas, tapi itu sudah keputusan, apa boleh buat,” kata Abdul Madjid.
Namun, PNI kemudian mengalah, sehingga terlaksanalah fusi partai. Ketua Umum PDI yang pertama adalah Moh. Isnaeni, sedangkan posisi sekretaris jenderal diduduki Sabam Sirait.
Selama masa Orde Baru, PDI mengalami berbagai konflik internal dan intervensi dari rezim penguasa. Akibatnya, partai banteng ini tidak cukup berkembang.
Baru setelah putra-putri Bung Karno—Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputa—masukPDI, dinamika partai menunjukkan perkembangan yang signifikan. “Momen ini merupakan panggilan sejarah bagi Mbak Mega untuk memimpin negeri ini. Mbak Mega memenuhi panggilan sejarah itu, memenuhi destiny[takdirnya] sebagai pemimpin rakyat Republik Indonesia,” kata Taufiq Kiemas(almarhum).
Masuknya Megawati ke “kandang banteng”tentu memilik agenda politik. “Sejak awal, saya sudah yakin Bu Mega sudah punya agenda politik, bukan asal masuk saja,” ungkap Mangara Siahaan (almarhum).
Keyakinan Mangara Siahaan itu bertambah kuat saat ia mendampingi Megawati dalam sebuah pertemuan dengan para sesepuh nasionalis, tak lama setelah Megawati memutuskan masuk PDI. “Pertemuan itu berlangsung di rumah Bu Supeni. Bu Mega hanya ditemani saya,” kenang Mangara.
Alkisah, di awal pertemuan yang dihadiri puluhan sesepuh nasionalis itu, Megawati bertanya: “Ada apa saya dipanggil Om-Om dan Tante-Tante?”
Suasana hening sejenak. Lalu, Supeni menjelaskan, mereka ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Megawati. Dan untuk itu, mereka sudah sepakat menunjuk Manai Sophiaan sebagai juru bicara.
Sejenak kemudian, Manai Sophiaan mengajukan pertanyaan: “Anak kami mau kemana, kok masuk PDI?”
Mendengar pertanyaan itu, Megawati dengan tenang menjawab sambil tersenyum: “Aku naar [menuju] Merdeka Utara”.
Mendengar jawaban itu, suasana langsung hening, hanya terdengar suara isak tangis para sesepuh nasionalis. Mereka langsung paham dan terharu mendengar tekad Megawati tersebut.
“Peristiwa itu berlangsung hanya beberapa menit. Setelah itu tak ada lagi pertanyaan. Acara dilanjutkan dengan silaturahim dan makan-makan,” tutur Mangara Siahaan.
Dalam kampanye Pemilu 1987, PDI mulai melibatkan Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra sebagai juru kampanye. Keterlibatan putra-putri Bung Karno itu menjadi faktor utama keberhasilan kampanye PDI. Tampilnya Megawati Soekarnoputri sebagai juru kampanye PDI merupakan magnet yang memiliki kekuatan besar dalam menyedot antusiasme massa, termasuk kawula muda yang telah sekian lama kehilangan simbol perlawanan. Hampir dalam setiap kampanye yang dihadiri Megawati dan Guruh, dimanapun dan kapanpun, selalu dibanjiri massa.
Selain itu, figur Bung Karno juga dimunculkan sebagai simbol. Poster-poster atau gambar Bung Karno seringi tampil di setiap kampanye, terutama di kota-kota besar. Bahkan, dalam dua kampanye PDI putaran terakhir di Jakarta, gambar-gambar Bung Karno seakan mendominasi atribut yang ditampilkan para pendukung dan simpatisan partai.
Strategi PDI lainnya adalah menampilkan diri sebagai partai yang membela wong cilik. Semboyannya dalam pemilu termasuk memperbaiki kehidupan rakyat jelata dan meningkatkan demokrasi dalam politik. Dalam bidang ekonomi, PDI menganjurkan pemerataan dalam peluang ekonomi, menghilangkan monopoli dan korupsi, khususnya memperbaiki tata niaga cengkih dan jeruk. PDI juga ingin mengubah sistem pembangunan nasional dengan menitikberatkan pada keadilan sosial.
Perolehan suara PDI pada Pemilu 1987 dan 1992 menanjak signifikan. Dari seluruh jumlah suara yang sah (85.809.816), PDI memperoleh 9.324.708 suara atau 10,87%. Perolehan itu setara dengan 40 kursi di DPR, dari 400 kursi di parlemen. Dengan demikian berarti naik 16 kursi dibanding Pemilu 1982 yang hanya meraih 24 kursi di DPR. Secara garis besar, dibandingkan Pemilu 1982, PDI mengalami kenaikan perolehan suara di 22 provinsi (dari 27 provinsi yang ada pada masa itu).
Kenaikan yang berarti setidaknya terjadi di 15 provinsi. Berdasarkan hasil perolehan kursi di parlemen, PDI mengungguli PPP di enam provinsi: Jawa Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya. Hal ini mengejutkan, sebab dalam Pemilu 1982, PDI unggul atas PPPhanya di Bali dan Irian Jaya. PDI dinilai cukup berhasil melakukan konsolidasi internal.
Akan halnya hasil perhitungan suara Pemilu 1992 menunjukkan peningkatan jumlah perolehan suara pemilih oleh PDI. Meski masih tetap menduduki peringkat ketiga, PDI berhasil meraih 14,9% suara (56 kursi di DPR), sedangkan Golkar meraih 68,1% (282 kursi), dan PPP 17% (62 kursi). Jika dibandingkan dengan Pemilu 1987, perolehan suara Golkar merosot 5%, PPP mendapat tambahan suara 1%, sedangkan PDI naik hampir 4%.
Penyeimbang Orde Baru
Sejak itu, seperti ditulis sejarawan terkemuka Asvi Warman Adam, secara berangsur PDI dapat membuktikan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang rezim Orde Baru. Puncaknya saat Megawati Soekarnoputri tampil memimpin partai melalui Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, awal Desember 1993.
“Rezim Orde Baru yang merasa terancam melakukan berbagai cara untuk menghadang gerak langkah Megawati Soekarnoputri dan para pendukungnya,” kata Asvi.
Serangan terencana terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro-Jakarta pada 27 Juli 1996 merupakan kebrutalan penguasa yang menewaskan beberapa orang dan diikuti dengan pembakaran mobil, motor dan gedung di sekitar itu. Setelah kantornya diserbu, PDI menjadi “nomaden” karena dipersulit untuk mendapatkan sekretariat. Kantor di Jalan Raya Condet, Jakarta Timur, disegel oleh petugas Suku Dinas Ketentraman dan Ketertiban Jakarta Timur, dengan dalih: rumah tinggal tidak boleh dijadikan kantor.
Simpati rakyat muncul.Terdengar ungkapan masyarakat yang pouler ketika itu: “Mbak Mega, saya ikutsampeyan”. Tanggal 27 Juli 1996 sebetulnya menandai awal kejatuhan pemerintahan Soeharto.
Jatuhnya kekuasaan rezim Soeharto kemudian sekaligus membuktikan kekuasaan politik yang dibangun di atas sentimen dan program politik anti-partai ternyata berujung tumbang secara tidak hormat. Begitu Soeharto tumbang, ratusan partai politik muncul. Ini menjadi pelajaran bagi siapapun yang kurang peduli terhadap partai. Tak terbayangkan sebuah negara yang besar dan kompleks seperti Indonesia, apalagi kalau harus demokratis, tanpa kehadiran partai politik yang kuat.
Perubahan politik yang cepat itu segera diantisipasi para tokoh PDI yang masih setia berpihak kepada Megawati. Konsolidasi pun segera digalang.
Sebagai langkah awal digelarlah Rapat Kerja Nasional PDI di Hotel Bumi Wiyata, Depok, September 1998. Setelah itu, “PDI Megawati” mulai melakukan konferensi cabang di berbagai daerah untuk memilih utusan ke Kongres PDI yang telah ditetapkan akan digelar tanggal 8-10 Oktober 1998. Tempat yang dipilih adalah Bali, wilayah basis pendukung Megawati Soekarnoputri.
Semula, pemerintah mencoba menghalang-halangi diadakannya Kongres PDI di Bali itu, dengan alasan keamanan. Namun, setelah dikakukan pendekatan persuasif terhadap aparat keamanan setempat, kongres akhirnya berlangsung.
“Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat dari berbagai lapisan berbondong-bondong ingin mengkuti kongres itu. Mereka begitu antusias. Luar biasa,” kata politisi senior PDI Perjuangan, Emir Moeis.
Pada pidato pembukaan kongres tersebut, Megawati mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang menganugerahkan kata “perjuangan” setelah nama PDI. Gagasan mengubah nama partai menjadi PDI Perjuangan memang telah muncul jauh-jauh hari, dengan maksud membedakannya dengan PDI pimpinan Soerjadi—yang kemudian digantikan Budi Hardjono dalam Kongres PDI di Palu, akhir Agustus 1998.
Pada hari kedua Kongres PDI Perjuangan, para peserta secara aklamasi memilih Megawati sebagai ketua umum. Para peserta kongres juga menyetujui Megawati sebagai formatur tunggal dalam penyusunan struktur DPP PDI Perjuangan. Sistem formatur tunggal sengaja dipilih saat itu untuk meminimalisasi kemungkinan intervensi dari pihak luar partai.
Deklarasi PDI Perjuangan digelar di Stadion Utama Senayan, 14 Februari 1999. Sepanjang hari itu, Jakarta merah total, lantaran ratusan ribu pendukung PDI Perjuangan melakukan pawai dan arak-arakan dengan berkendaraan berbagai jenis menuju Stadion Senayan. Meski sejak pagi hujan deras mengguyur, massa berkaos merah tak henti-henti berdatangan dari segala penjuru Jakarta dan sekitarnya.
Di dalam stadion sendiri, massa memenuhi stadion berkapasitas 120.000 ribu orang tersebut. Ketika Megawati tampil berpidato, serentak massa bersorak-sorai menyambutnya.
Dalam pidatonya, Megawati berkata: “Partai kita dikatakan sebabai parpol baru, tapi jangan berkecil hati karena siapapun di muka bumi ini mengetahui bahwa perjuangan kita bukanlah sesuatu yang baru….PDI Perjuangan bukan ujug-ujug hadir tanpa sebab-musabab. Partai ini lahir dari proses panjang, penuh hiruk-pikuk, demi menegakkan demokrasi dan hukum.”
Massa pun menyambutnya dengan gegap-gempita. Melihat antusiasme massa hari itu, para analis politik sudah merasa PDI Perjuangan akan meraih suara besar dalam pemilu nanti.
Namun, para tokoh partai juga paham, tanpa konsolidasi dan koordinasi, antusiasme massa itu malah bisa kontra-produktif kepada partai. Karena itu, sangatlah penting melakukan konsolidasi dan mengatur strategi yang tepat untuk menghadapi pemilu. Sebab, partai-partai politik lain yang akan tampil dalam pemilu—terutama Golkar—merupakanlawan yang tangguh. Selama 30 tahun lebih berkuasa, bagaimanapun Golkar sudah membangun jaringan dan infrastruktur partai yang kuat.
Salah satu gagasan yang kemudian dijalankan adalah menjadikan PDI Perjuangan sebagai “partai terbuka”. Maksudnya, sistem kepartaian haruslah bersifat terbuka bagi setiap warga negara, tanpa perbedaan ras, suku, dan agama. Selama memiliki ideologi, visi, dan kepentungan yang sama, setiap warga negara berhak menghimpun diri ke dalam partai politik.
Untuk membesarkan PDI Perjuangan dan memenangkan pemilu dalam waktu yang pendek, partai harus membuka diri dan mengakomodasi tokoh-tokoh di luar partai yang punya kesamaan visi perjuangan. Karena itulah, menjelang Pemilu 1999, PDI Perjuangan mengakomodasi sejumlah mantan perwira tinggi TNI/Polri (seperti Theo Syafei, Raja Kami Sembiring Meliala, dan Sidarto Danusubroto), kalangan akademisi (seperti Emir Moeis dan Amris Hassan), bahkan beberapa mantan aktivis Golkar (antara lain Jacob Tobing dan Tjahjo Kumolo), menjadi anggota partai. Tokoh-tokoh itu kemudian dicantumkan dalam daftar calon legislatif.
Selain itu, selama masa kampanye Pemilu 1999, PDI Perjuangan tetap meneruskan citra sebagai partai wong cilik dan kerakyatan. Berbagai strategi tersebut terbukti jitu. PDI Perjuangan berhasil tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1999, mengunguli 47 partai lainnya yang menjadi peserta pemilu. Suara yang diraih PDI Perjuangan mencapai 35,7 juta atau 33,7% dari keseluruhan jumlah pemilih. Dengan perolehan suara itu, PDI Perjuangan berhasil menempatkan 153 kadernya di DPR, perolehan suara terbesar sepanjang sejarah di era reformasi.
Kemenangan itu tentu saja membesarkan hati para kader dan simpatisan PDI Perjuangan. Dalam pidato kemenangan yang dibacakan Megawati Soekarnoputri, 29 Juli 1999, dinyatakan kemenangan PDI Perjuangan itu merupakan kemenangan rakyat Indonesia.
“Pada hari ini, saya mengundang dan sekaligus mengajak Saudara-Saudara sesama warga bangsa untuk bersama PDI Perjuangan membangun kesadaran baru. Kesadaran baru yang saya maksud ialah kesadaran untuk mendudukkan kedaulatan rakyat di tempat paling terhormat di negeri ini. Inilah saat untuk menyatakan bahwa penistaan terhadap kedaulatan rakyat sudah harus diakhiri. Sebagai gantinya, mari kita sambut era pemberdayaan rakyat yang lahir dari kesadaran baru seluruh rakyat Indonesia,” kata Megawati.
PDI Perjuangan pun tampil sebagai kekuatan utama di panggung politik nasional. Kemenangan dapat diraih berkat dukungan rakyat banyak, terutama wong cilik.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian, arus pasang naik itu kemudian mengalami pasang surut yang cukup signifikan. Entah karena kaget menerima kemenangan setelah diinjak-injak selama puluhan tahun atau mungkin terlena, yang jelas hal tersebut menyadarkan jajaran kepemimpinan partai untuk melakukan pembenahan, baik yang bersifat internal maupun eksternal partai. Penegasan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai sangat menentukan sebagai dasar konsolidasi partai dan pengembangan demokrasi di negeri ini.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, PDI Perjuangan mengambil sikap oposisi. Namun, oposisi yang diterapkan PDI Perjuangan merupakan oposisi yang efektif, tidak asal kritik, tapimengkritik kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat dan memberi alternatif yang memihak rakyat. Konsekuensi sebagai partai oposisi, PDIP tidak menempatkan para kadernya pada jabatan-jabatan struktural pemerintah/eksekutif di tingkat nasional, termasuk kabinet. Dan ini dilaksanakan kader partai secara konsisten.
Setelah menjadi oposisi selama dua periode kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono, PDI Perjuangan memenangkan pemilihan umum tahun 2014. Kemenangan ini dilengkapi dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden sekaligus menandai kebangkitan partai banteng.
Masih menurut Asvi Warman Adam, PDI Perjuangan saat ini mengambil langkah yang tepat untuk melakukan kombinasi dalam mengelola posisi partai yang memiliki massa tradisional yang masih melihat penting figur kharismatik di satu sisi dengan tuntutan masyarakat yang lebih luas untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai modern di sisi lain. Untuk itu dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pernah mengatakan, “…kader partai harus ditingkatkan kualitasnya dengan dua cara: kaderisasi dan membuka diri terhadap ‘darah segar’. Tapi, darah segar itu haruslah yang punya persamaan ideologi. Darah segar haruslah yang dapat memberi nilai tambah bagi partai dan memperkuat barisan partai.”
Kebijakan tersebut sungguh rasional sekaligus merupakan tantangan bagi kader PDI Perjuangan yang mencintai pendirian-pendirian kebangsaan demokratis di republik ini, terutama Pancasila dan NKRI. Para kader partai harus paham: kebutuhan untuk mempertahankan Pancasila dan republik ini sama berharganya dengan kebutuhan mempertahankan demokrasi. Di titik ini, penting bagi para pemimpin dan kader partai untuk kembali mempertahankan dan menjalankan Pancasila 1 Juni 1945. Hanya dengan itu,PDI Perjuangan bisa menyelamatkan demokrasi di republik tercinta ini.Dirgahayu! [Satyadarma]
*Tulisan ini pertama dimuat 9 Januari 2017