Sempat terjadi kerepotan di rumah Bung Karno. Beberapa orang sibuk memasang mikrofon dan versterker (amplifier), yang baru disewa dari perusahaan jasa penyewaan sound system ‘Radio Satrija’, di Jalan Salemba Tengah Nomor 24. Tiang bendera pun dibuat dari sebatang bambu, yang ditancapkan di muka kamar depan rumah Soekarno beberapa menit sebelum upacara dimulai. Setelah siap, upacara pun dimulai, tanpa adanya protokol terlebih dahulu.

Rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Sang Saka Merah-Putih pun dinaikkan setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi didamping Bung Hatta. Setelah itu, Bung Karno berpidato singkat.

Trimurti awalnya diminta menjadi petugas penaikan bendera. Tapi, dia menolak dan mengusulkan agar penaikan itu dilakukan oleh seorang prajurit. Serta-merta, Latif Hendraningrat yang masih memakai seragam lengkap Pembela Tanah Air maju ke depan sampai dekat tiang bendera. Lalu datanglah dua orang membawa Sang Saka Merah-Putih, yang diletakkan di atas nampan dan kemudian dinaikkan.

Tanpa aba-aba, yang hadir dalam upacara tersebut langsung menyanyikan lagu “Indonesia Raya” bersama-sama. Berkibarlah Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya di masa Indonesia merdeka.

Ada kejadian lucu setelah upacara sangat penting itu selesai. Tiba-tiba datang kurang-lebih seratus orang anggota Barisan Pelopor, yang dipimpin S Brata. Rupanya mereka tidak tahu adanya perubahan rencana lokasi upacara dari Lapangan Ikada ke rumah Bung Karno, sehingga datang terlambat.

Para anggota Barisan Pelopor itu pun meminta Bung Karno mengulangi upacara dan membacakan kembali Proklamasi Kemerdekaan. Bung Karno yang telah masuk kamar lalu ke luar kembali dan menyatakan lewat mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang.

Memang, setelah upacara itu, Bung Karno langsung masuk kamar. Ia kelelahan setelah dari Rengasdengklok dan kemudian begadang merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan. Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer, subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. “Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata,” ungkap Roso seperti yang ia tulis dalam blog-nya, http://rosodaras.wordpress.com.

Ibu Fatmawati tampak cemas melihat kondisi suaminya. Tapi, “Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat,” tutur Roso. Dan, Bung Karno melakukan itu dalam keadaan menggigil karena demam malaria. Setelah itu barulah ia tidur dan dibangunkan sekitar satu jam menjelang upacara Proklamasi, kurang-lebih pukul 09.00 pagi.

Seperti diungkap Bung Karno dalam Sukarno: an Autobiography as told to Cindy Adams, Ibu Fatmawati membiarkan Bung Karno tetap bekerja dalam keadaan mengigil akibat demam malaria karena cukup mengerti gejolak hati suaminya. Sementara itu, Ibu Fatmawati sendiri bukan berarti segar-bugar. Ia juga sebenarnya lelah, karena mengikuti seluruh dinamika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Ibu Fatmawatilah yang membuat Sang Saka Merah-Putih, dengan jahitan tangan, untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945.

Sang Saka Merah-Putih adalah bendera pusaka, yang tak ternilai harganya. Karena itu, sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu dilarang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah Proklamasi berjaga 24 jam siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkan Sang Saka Merah-Putih.

Bahkan, ketika Tentara Sekutu datang, Sang Saka Merah-Putih terus dijaga keberadaannya. Apalagi, Tentara Sekutu juga rupanya berminat untuk memusnahkan Sang Saka Merah-Putih yang dibuat oleh Ibu Fatmawati. Para pejuang kemerdekaan benar-benar melindungi Sang Saka Merah-Putih.

Dokter pribadi Bung Karno sendiri, Dokter Soeharto, juga tidak mengetahui keberadaannya sampai tahun 1949. “Soeharto sendiri tidak tahu, di mana Sang Merah-Putih antara kurun 1945-April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949, ia kedatangan tamu misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat Duta Besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan telah dilepas jahitannya dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda mahapenting bagi tonggak berdirinya republik,” ungkap Roso Daras.

Muthahar malam itu menitipkan Sang Saka Merah-Putih kepada Soeharto. Mendapat amanat penting, Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat dan kain putih jauh di tempat lain. Itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan penggeledahan oleh NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Tentara Sekutu yang ditugaskan mengontrol wilayah bekas jajahan Belanda yang pernah dikuasai Jepang—dan kemudian bernama Indonesia.

Sang Saka Merah Putih terakhir dikibarkan pada Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1968. Selanjutnya disimpan dan hanya dikeluarkan setiap tanggal 17 Agustus namun tetap dalam kotak penyimpanannya. Yang digunakan pada upacara resmi kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1969 sampai sekarang adalah duplikatnya.