Dibayangi Pandemi Covid-19, Harga Konsumen Alami Inflasi

BPS rilis angka inflasi Mei 2018 hanya 0,21% [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Harga konsumen mengalami inflasi sebesar 0,26 persen pada Januari 2021 atau melambat secara bulanan dan tahunan karena masih dibayangi pandemi virus corona atau Covid-19.

Menurut data, secara bulanan inflasi pada Desember 2020 mencapai 0,45 persen dan secara tahunan pada Januari 2020, inflasi mencapai 0,39 persen.

“Memasuki 2021 ini dampak Covid-19 yang belum mereda, masih membayangi perekonomian berbagai negara termasuk Indonesia,” kata Kepala BPS Suhariyanto ketika mengumumkan perkembangan inflasi Januari 2021 secara virtual, Senin (1/2).

Secara umum, kata Suhariyanto, perkembangan harga berbagai komoditas pada Januari 2021 menunjukkan adanya kenaikan. BPS mencatat perkembangan, inflasi pada bulan pertama 2021 di 90 kota di Tanah Air, sebanyak 75 kota di antaranya mengalami inflasi dan 15 kota di antaranya mengalami deflasi.

Inflasi tertinggi terjadi di Mamuju, Sulawesi Barat, yang baru saja tertimpa musibah gempa bumi dengan inflasi mencapai 1,43 persen karena kenaikan harga berbagai jenis ikan dan cabai rawit.

Sedangkan deflasi paling tinggi terjadi di Bau Bau, Sulawesi Tenggara, karena penurunan harga tiket angkutan udara dan penurunan harga jenis ikan.

Berdasarkan kelompok pengeluaran, kata Suhariyanto, penyebab utama terjadinya inflasi pada Januari 2021 ini adalah kenaikan harga cabai rawit, ikan segar, tempe dan tahu serta tarif jalan tol.

Sedangkan penghambat inflasi adalah karena adanya penurunan tarif angkutan udara, harga telur ayam ras, dan bawang merah.

Sementara itu, menurut komponen inflasi pada Januari 2021 terjadi terutama didorong oleh harga yang bergejolak.

“Dari sisi suplai terjadi tapi permintaan masih melemah karena pandemi Covid-19 masih dibayangi perekonomian,” kata Suhariyanto.

Sementara disektor pariwisata, BPS mencatat kunjungan wisatawan mancanegara pada Desember 2020 mencapai 164.000 orang.

Di mana sebagian besar masih merupakan wisatawan yang akan mengurus bisnis, tugas, serta misi tertentu, dan bukan untuk berwisata.

“Jumlah wisatawan yang datang pada Desember 2020 naik 13,58 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya, ada pergerakan sedikit,” kata Suhariyanto.

Tapi, jika dibandingkan tahun 2019, terjadi penurunan yang sangat curam yaitu 88,08 persen.Suhariyanto mencontohkan, terdapat 127 orang wisman yang datang ke Bali pada Desember 2020, di mana mereka datang untuk mengikuti konferensi, dan sebagian lainnya adalah tamu dari lembaga internasional.

Jika dilihat menurut pintu masuk, Suhariyanto menambahkan, 59 persen wisman datang lewat jalan darat, 27 persen lewat laut, dan 14 persen lewat udara.

“Di seluruh bandara terjadi penurunan yang tajam jika kita bandingkan dengan posisi tahun lalu. Begitu juga wisman yang melalui laut dan darat,” ujar Suhariyanto.

Menurut data BPS, pandemi membawa dampak yang luar biasa buruknya terhadap sektor pariwisata dan sektor-sektor pendukungnya. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di berbagai negara, yang menjadi tantangan tidak mudah.

“Karena banyak negara yang merupakan pasar utama wisman Indonesia masih memberlakukan pelarangan bepergian atau travel banned ke luar negeri. Bahkan, beberapa negara yg mengalami gelombang kedua pandemi kembali melakukan lockdown,” ujar Suhariyanto. [WIS]