LONJAKAN inflasi dan merosotnya nilai tukar rupiah memaksa Bank Indonesia (BI) kembali menaikan suku bunga sebesar 50 basis poin atau 0,5 persen. Dengan keputusan itu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik menjadi menjadi 5,25%, suku bunga Deposit Facility naik 50 bps menjadi 4,50% sedangkan suku bunga pinjaman atau Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 6,00%.

BI menyebut keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0 ±1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Bank Indonesia menyebut nilai tukar Rupiah sampai dengan 16 November 2022 terdepresiasi atau merosot 8,65% dibandingkan dengan level akhir 2021. Sedangkan angka inflasi pada Oktober 2022 tercatat sebesar 5,71%, masih jauh di atas sasaran 3,0 ±1%.

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diprediksi akan menurun dari 2022, dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global saat ini masih tinggi sejalan dengan terus berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa, di tengah pelemahan permintaan global.

Merespons tekanan inflasi tinggi tersebut, bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Kenaikan Fed Funds Rate yang diprakirakan hingga awal 2023 dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara. Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Aliran keluar investasi portofolio asing menambah tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Perlambatan ekonomi

Kebijakan BI sebagai bank senral untuk menaikkan suku bunga diwarnai kekhawatiran pelaku ekonomi dalam negeri. Ada kecemasan tingginya suku bunga membawa dampak perlambatan ekonomi dan meningkatkan ancaman resesi.

Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indratomo mengatakan bahwa kenaikan BI7DRR sebesar 50 bps telah sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar, yang menghendaki penyesuaian suku bunga acuan seiring agresivitas kenaikan The Fed Rate.

Hanya saja, Banjaran menilai, kenaikan suku bunga acuan secara langsung akan berdampak terhadap kenaikan cost of fund perbankan sehingga rate kredit atau pembiayaan juga akan meningkat. Akibatnya, konsumen pun akan terbebani dengan kenaikan tersebut, terutama pada pembiayaan perumahan maupun kendaraan.

Begitu juga dunia usaha akan lebih konservatif dalam mengakses pembiayaan modal kerja maupun investasi, terutama di industri yang merupakan padat modal seperti otomotif, pertambangan, dan infrastruktur.

“Hal tersebut berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi,” ujar Banjaran kepada dilansir Kontan, Kamis (17/11).

Ia melihat investor akan cenderung priced in karena dengan kenaikan tersebut seiring komitmen bank sentral untuk menekan inflasi akan membuat imbal hasil investasi kembali kompetitif.

Namun, agar ekonomi Indonesia masih mampu menyerap kenaikan suku bunga acuan, maka dirinya menghimbau untuk tidak menaikkan lagi hingga batas 5,5% – 5,75% di semester I-2023.

“Sampai dengan tengah tahun depan potensi kenaikan ini dalam normalisasi itu mengarah ke 5,5%-5,75% di semester I. Dengan asumsi, kenaikan agresif Fed masih berlanjut minimal 125 bps hingga 150 bps,” katanya. [DES]