Ilustrasi: Menkeu Sri Mulyani Indrawati-AP

RENCANA pemerintah menyiapkan pendanaan dari Bank Indonesia (BI) melalui skema Burden Sharing (berbagi beban) sebagai antisipasi situasi krisis dapat menimbulkan risiko pada perekonomian. Salah satu risikonya adalah peningkatan pencetakan uang oleh BI sehingga meningkatkan laju Inflasi.

Sebelumnya pemerintah mengajukan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang memberi mandat bagi BI membeli surat berharga negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana saat terjadi krisis.

Dalam RUU tersebut BI harus siap siaga memberi utang pada pemerintah bila terjadi krisis, dengan skema pembelian surat berharga negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana.

Aturan yang tertuang dalam Pasal 36A Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang baru saja disetujui oleh DPR bersama pemerintah. Dalam pasal 36A ayat (1) huruf a, pembelian SBN berjangka panjang di pasar perdana oleh BI ini untuk penanganan masalah sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.

Langkah ini dirasa kurang tepat dan tidak sesuai dengan peran BI sebagai bank sentral. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan, aturan ini bisa menimbulkan moral hazard bagi BI.

“Konteks burden sharing hanya bersifat temporer. Kalau diatur dalam UU, akan ada semacam moral hazard untuk melanjutkan cetak uang oleh BI,” tutur Bhima dilansir Kontan, Jumat (9/12).

Bhima menuding, pemerintah menetapkan ini karena khawatir akan tekanan suku bunga terhadap beban utang pemerintah di tahun 2023. Ia menyarankan langkah yang sering disebut burden sharing ini, baiknya dicabut dari RUU tersebut.

Dengan adanya burden sharing BI terus-terusan ini, dikhawatirkan disiplin fiskal menjadi turun. Pasalnya, saat defisit melebar ada juru selamat pemerintah, yaitu BI yang menjadi pembeli SBN di pasar primer.

Selain itu, pendanaan APBN dipandang tidak sejalan dengan agenda BI dalam pengendalian inflasi. Pencetakan uang justru bisa menimbulkan kenaikan uang beredar yang memicu inflasi lebih tinggi.

Bhima menyarankan pemerintah lebih bijak dalam berbelanja ketimbang menggunakan skema pendanaan BI. Dengan demikian, ada ruang fiskal cukup bagi pemerintah untuk siaga dalam menghadapi krisis.

Situasi krisis luar biasa

Sejak tahun 2020 hingga bulan November 2022, dalam skema burden sharing BI telah membeli SBN di pasar perdana sebesar Rp 974,09 triliun. Terdiri dari pembelian SBN berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) I sebesar Rp 266,11 triliun, pembelian berdasarkan SKB II sebesar Rp 397,56 triliun, dan pembelian berdasarkan SKB III hingga 15 November 2022 sebesar Rp 310,42 triliun.

Gubernur BI Perry Warjiyo pernah mengungkapkan, perkiraan BI untuk membeli SBN di surat perdana hingga akhir 2022 akan sebesar Rp 1.144 triliun.

Skema burden sharing dan diikuti kebijakan pelonggaran keuangan (Quantitive Easing) berakibat terjadinya ledakan inflasi dan merosotnya nilai mata uang rupiah yang menyentuh angka Rp15.800 per dolar AS.

Meski sudah ada peringatan mengenai risiko penerapan RUU PPSK, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan langkah ini tidak akan menimbulkan moral hazard. Pasalnya, langkah BI hanya dilakukan pada saat terjadi krisis, bukan setiap saat.

“Ini tidak akan menimbulkan moral hazard. Bukan berarti setiap nanti ada defisit, kami minta burden sharing. Tidak seperti itu,” tegas Sri Mulyani kepada media.

Krisis yang dimaksud oleh pemerintah adalah krisis luar biasa. Sejauh ini, bisa diartikan kondisi genting yang mengancam stabilitas sistem keuangan, sektor perekonomian, dan memberi dampak luas.

Dengan demikian, memang perlu satu suara terkait definisi krisis sehingga tidak ada penyalahgunaan. Sri Mulyani bilang, definisi krisis nantinya akan diatur dalam peraturan turunan.

“Makanya penting definisi krisis dalam peraturan turunan. Apa yang bisa merangsang situasi krisis. Sehingga, ini tidak mudah disalahgunakan,” tambah Menkeu.

Bendahara negara menambahkan, salah satu contoh kriteria krisis adalah pada saat krisis keuangan 1997 dan 1998, kemudian tahun 2020.

Pada tahun 2020, perekonomian Indonesia merosost akibat pandemi Covid-19. Saat itu BI turun tangan untuk membeli SBN di pasar perdana atau burden sharing untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. [DES]