Koran Sulindo – Sabam Sirait masih mengingat peristiwa di Istana Negara Bogor tersebut. Hari itu, 12 Desember 1964, ia diajak Ketua Umum Parkindo, Melachton Siregar, ke Istana Bogor, untuk memenuhi undangan Presiden Soekarno. Bung Karno mengundang para pimpinan partai politik untuk mendiskusikan situasi politik yang memanas.
Dalam pertemuan itu, Bung Karno mengatakan bahwa ada ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. “Saya mau disingkirkan, Republik mau dihancurkan,” kata Bung Karno. Pada akhir tahun 1964 itu, situasi politik sudah mengarah kepada perpecahan negara-bangsa.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah melakukan gerakan-gerakan, demonstrasi dan rapat-rapat umum, di mana-mana. Sebaliknya, partai-partai lain berupaya melawan gerakan PKI dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), yang anggotanya berasal dari kalangan partai politik dan aktivis politik. Chairul Saleh, Wakil Perdana Menteri III yang juga pimpinan Partai Murba, menyatakan secara terbuka tentang adanya ancaman terhadap kesatuan Republik serta upaya pihak-pihak tertentu yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
“Bung Karno menguraikan pidatonya, tanpa memihak kepada siapa pun. Dia mengatakan bahwa kita semua harus memperbaiki keadaan itu. Dia menyalahkan PKI, dia juga menyalahkan Partai Murba, bahkan dia mungkin kecewa dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada waktu itu,” kenang Sabam Sirait.
Tapi, yang terjadi pada pertemuan itu bukanlah semangat mempersatukan bangsa, sebagaimana yang dikehendaki Bung Karno. Dalam forum itu malah terjadi perdebatan keras di antara pimpinan partai-partai politik, terutama antara pimpinan PKI dan pimpinan Partai Murba. Suasana pertemuan sangat panas, perbedaan tajam, bahkan nyaris terjadi bentrok fisik antara Aidit dan Chaerul Saleh.
Sebenarnya, ketika itu Sabam mau angkat bicara. Ia mau bilang bahwa di tengah situasi kritis yang dihadapi bangsa dan negara, mengapa para pemimpin justru gontok-gontokan. “Tapi, waktu saya mau tunjuk tangan, Om Jo (panggilan akrab Johannes Leimena) datang menghampiri saya, sambil berbisik, ‘Nyong, kau catat-catat saja dulu. Nggak usah bicara,” kata Sabam lagi. Maka, tidak jadilah Sabam angkat bicara di pertemuan penting tersebut.
Hubungan Sabam dengan Leimena memang sudah lama dekat, sejak Sabam masih aktif di GMKI. Diantara senior dan junior ini cocok satu sama lain, hingga kemudian di Parkindo. Dulu di Parkindo ada dua tokoh sentral yang mempengaruhi dinamika di internal partai: Johannes Leimena dan A.M. Tambunan. Pandangan politik kedua tokoh ini kerap berbeda. Leimena lebih dekat dengan Presiden Soekarno, sedangkan Tambunan justru kerap menentang kebijakan-kebijakan Bung Karno. Leimena pernah lama menjabat Wakil Perdana Menteri di era pemerintahan Presiden Soekarno, sedangkan Tambunan malah bergabung dengan “Liga Demokrasi”—kelompok yang sangat kritis terhadap Demokrasi Terpimpin.
“Meski orang Batak, saya sendiri lebih dekat dengan Om Jo, baik secara pribadi maupun garis politik. Saking dekatnya, saya sudah dianggap bagian dari keluarga besar Om Jo. Kalau saya datang ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, saya langsung nyelonong saja ke ruangan belakang. Lalu ngobrol dengan Om Jo sampai berjam-jam,” kenang Sabam.
Leimena juga pernah menasehati Sabam: “Kalau kamu mau jadi politisi hebat harus belajar tentang Bung Karno.” Mungkin karena ucapan dan pengaruh Leimena itulah sikap politik Sabam sejak berkecimpung di Parkindo cenderung mendukung garis politik Bung Karno. [Satyadarma]