Mantan Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) Lintong Sitorus
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) Lintong Sitorus/Istimewa

Koran Sulindo – Saya belum mengetahui kapan dan di mana persisnya Lintong Mulia Sitorus lahir. Yang bisa disebutkan ia tumbuh di Pematang Siantar, sebuah kota yang terbilang besar di Sumatra Timur. Sepertinya di kota itulah ia menamatkan sekolah menengahnya.

Di akhir 1930-an, Lintong Sitorus tercatat sebagai mahasiswa Rechthoogeschool (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Batavia. Sebagaimana para aktivis RHS lainnya, ia juga menjadi anggota Unitas Studisorum Indonesiensis (USI) – sebuah kelompok studi yang dimentori senior mereka, “duo Amir” yang penting dan terkenal di kalangan aktivis sosialis masa itu: Amir Hamzah Siregar dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Anggota USI, yang kelak selalu berada dalam lingkaran Sutan Sjahrir, antara lain: Subadio Sastrosatomo, Lintong Sitorus, Abu Bakar Lubis, Poppy Saleh, Sudjatmoko, Moerdianto, dan lain-lain.

Lintong Sitorus juga aktif di Sauduran (Satu Barisan), organisasi pemuda HKBP Kernolong Jakarta, bersama dengan sejumlah pemuda Batak lainnya, seperti: T.B. Simatupang, Bismarck Oloan Hutapea (kelak menjadi teoritikus dan anggota Politbiro PKI), dan Josef Simanjuntak (kemudian terkenal sebagai tokoh PKI dengan nama Jusuf Ajitorop).

Di masa pendudukan Jepang, Lintong Sitorus bersama dua sahabatnya – T.B. Simatupang dan Bismarck Oloan Hutapea – menyewa rumah di Tanah Tinggi, Jakarta. Tujuannya agar lebih bebas mengadakan kontak-kontak dengan berbagai pihak yang dari hari ke hari makin resah dengan keadaan saat itu. Oleh kalangan masyarakat Batak yang bermukim di Jakarta masa itu, tiga sekawan itu dijuluki De Drie Musketiers (Tiga Prajurit yang Bersahabat).

Menurut cerita T.B. Simatupang di memoarnya Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, selain aktif mengikuti dunia pergerakan, “tiga sekawan” gemar mengumpulkan dan membaca buku-buku tentang pergerakan kemerdekaan berbagai bangsa. Juga buku-buku tentang revolusi besar, terutama Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, dan Revolusi Tiongkok. Kebanyakan buku-buku itu mereka beli dari tukang loak atau pedagang buku bekas di Pasar Senen. Buku-buku bekas itu cukup melimpah, karena orang-orang Belanda yang belum masuk kamp tahanan Jepang, menjual buku-buku mereka sekedar untuk menyambung hidup.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Lintong Sitorus kembali terjun ke kancah politik. Dan sebagai pengikut setia Sutan Sjahrir, ia pun masuk partai yang didirikan Sjahrir: Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dan ia segera menjadi salah satu orang kepercayaan Sutan Sjahrir. Bahkan, ia dinilai salah seorang yang paling memahami pemikiran dan sikap Sjahrir.

Dalam kitab Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Rudolf Mrazek menggambarkan bahwa sepanjang paruh pertama tahun 1950-an Sutan Sjahrir mengalami “masa kegelisahan” – di mana sejumlah kawan dekatnya sekalipun “makin sulit untuk persis mengikuti cara Sjahrir menjelaskan keadaan”. Dan beberapa lingkungan terdekat mulai menyebut Sjahrir sebagai “orang bijak (orakel) dari Delphi”. Listyo, pemimpin partai dari Bandung dan kemudian kader PSI di Jakarta, berkata kepada saya (Mrazek): di masa-masa itu “Barangkali hanya Sitorus yang setiap kali memahaminya (Sjahrir)”. Ketika hal ini saya tanyakan kepada Sitorus, ia memprotes anggapan itu. “Tidak, tentunya tidak setiap kali”.

Pada suatu periode, Lintong Sitorus pernah menjabat Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketika Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri RI, Lintong Sitorus beberapa kali ditawari menjadi menteri di kabinetnya. Tapi, ia selalu menolak. “Saya mengurus partai saja,” begitu selalu jawabnya setiap kali ditawari masuk kabinet.

Garis politik Lintong Sitorus di PSI condong ke kiri. Dalam memoar Subadio Sastrosatomo, Pengemban Misi Politik, yang ditulis Rosihan Anwar, disebutkan bahwa dalam Kongres PSI tahun 1952, Soebadio dan sebagian pimpinan partai menghendaki marxisme dihapus dari anggaran dasar partai. Kabarnya, itu merupakan perintah langsung dari Sutan Sjahrir.

“Minimal kita hanya menggunakan marxisme sebagai alat analisis. Marxisme diakui sebagai petunjuk jalan, tapi tidak sebagai dogma. Tapi, kita kalah sama orang-orang yang tetap mau mempertahankan marxisme seperti (Lintong) Sitorus, Listyo, dan Bok Imam Slamet. Orang-orang yang menentang penghapusan marxisme itu mengatakan: kalau bukan marxisme, kita ini lantas apa? …. Akhirnya perubahan itu tidak diterima oleh kongres…,” demikian kesaksian Subadio Sastrosatomo.

Sederhana
Sebagai politisi, kehidupan pribadinya sangat sederhana. Sepanjang hidupnya, Lintong Sitorus tak pernah punya rumah. Ia dan keluarganya selalu mengontrak rumah, dan selalu rumah kontrakannya di lokasi yang terpelosok di sudut-sudut kota Jakarta.

Meski kehidupan sehari-harinya sederhana, bahkan sering kekurangan, Lintong Sitorus adalah seorang intelektual yang tangguh. Ia menulis dan menerjemahkan beberapa buku tentang politik. Salah satu buku karangannya yang cukup terkenal berjudul Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia (cetakan pertama, Pustaka Rakyat, 1951). Meski tidak terlalu tebal, buku ini merupakan buku yang bagus sekali menggambarkan sejarah pergerakan nasional hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Suatu kali, seperti diceritakan Sabam Sirait (politisi senior PDI Perjuangan, yang masih kerabat jauh Lintong Sitorus), di tahun 1953 Lintong Mulia Sitorus mendapat undangan khusus dari Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, untuk berkunjung ke negaranya. Rupanya, di kalangan negara-negara sosialis Eropa Timur, nama Lintong Sitorus lumayan terkenal. Bisa jadi, karena garis politiknya yang “sosialis kiri”.

Lintong Sitorus bermaksud memenuhi undangan Presiden Tito tersebut. Maka, ia pun mempersiapkan diri, salah satunya dengan mempersiapkan setelan jas lengkap dengan dasinya, yang tidak ia miliki. Pinjaman jas ia dapatkan dari seorang rekannya, tapi tanpa dasi. Maka, Lintong pun datang kepada sahabatnya, T.B. Simatupang untuk meminjam dasi. Singkat kata, jadilah Lintong Sitorus berangkat ke Yugoslavia, dengan jas dan dasi pinjaman.

Beberapa minggu kemudian, Lintong Sitorus kembali ke Tanah Air, dan segera ke rumah Simatupang untuk mengembalikan dasi pinjaman. Tapi, malah Simatupang bilang: “Ah sudahlah. Ambil saja dasi itu untuk kamu. Biar kapan-kapan bisa kamu pakai lagi.”

Setelah PSI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Presiden Soekarno, Lintong Sitorus aktif di Partai Murba. Tapi, tak lama berselang, ia mengundurkan diri. Setelah itu, tak banyak diketahui tentang aktivitas politiknya. Nama Lintong Sitorus seakan menghilang di rimba belantara politik Indonesia.

Bagaimanapun, Lintong Mulia Sitorus merupakan salah satu pejuang kemerdekaan yang gigih dan banyak jasanya bagi bangsa dan negara. [Imran Hasibuan]