Ilustrasi: Buku Sabam Sirait, Berpolitik Bersama 7 Presiden/Konek

Koran SulindoSabam Sirait, bisa jadi, merupakan tokoh politik Indonesia yang masih hidup yang memiliki pengalaman paling panjang. Seperti ditulis Cornelis Lay dalam buku Sabam Sirait: Berpolitik Bersama 7 Presiden, yang baru terbit Oktober ini, kekayaan dan keluarbiasaan pengalaman itu tergambar dari rentang interaksi Sabam Sirait yang melibatkan begitu banyak tokoh, mulai dari tokoh kecil dari sebuah kampung hingga seorang presiden yang bersemayam di Istana Negara, serta melewati begitu panjangnya waktu, mulai dari Presiden RI Pertama Bung Karno hingga Presiden RI Ketujuh Jokowi.

“Pak Sabam berhasil melewati semua orde politik yang pernah ada di Indonesia hingga hari ini; mengatasi begitu lebarnya sekat-sekat pembilahan ideologis, mulai dari tokoh yang berspektrum ideologis paling kanan hingga yang paling kiri; melompati lapis-lapis tangga kelas yang curam, mulai dari rakyat jelata tanpa alas kaki hingga tuan besar, dan; membentang panjang hingga meliputi hampir setiap jengkal wilayah Indonesia, bahkan hingga ke berbagai negara,” kata Cornelis Lay.

Lantas, apa kiat sukses Sabam sebagai politisi lintas zaman? Menurut Cornelis Lay lagi, rentang interaksi yang sangat ekstrem di atas menggambarkan satu hal yang sederhana, yang boleh jadi merupakan kunci untuk memahami politik Sabam: kemampuan dalam mendamaikan dan menjaga keseimbangan antara kekakuan prinsip di satu sisi dan kelenturan bermanuver di sisi lain. Sabam dari waktu ke waktu mampu menjadi penyeimbang keduanya, yang pendulumnya selalu bergerak sesuai dengan irama sama: loyal pada prinsip, lentur dalam bermanuver.

Soal kelenturan dalam berpolitik ini, Sabam meneladani tokoh yang menjadi idolanya: Bung Karno. Sebagaimana Bung Karno, ia pun melakoni perjalanan politiknya dengan “kesabaran revolusioner”, hingga ia mampu “melengkung, tidak patah”.

Perumpamaan soal “melengkung, tidak patah” itu penting dikemukakan, sebab Sabam Sirait sendiri mengakui perjalanan kehidupan politiknya, terutama di masa Orde Baru, lebih banyak mengalami kekalahan daripada kemenangan. Ia sendiri menyadari kerap dikalahkan penguasa. “Perjalanan hidup saya  penuh benturan. Saya menggolongkan diri orang yang kalah, dan dikalahkan. Tapi, saya tidak akan berhenti mempertahankan prinsip dalam perjuangan demokrasi di negeri ini. Saya akan membuktikan bahwa hal itu mungkin,” katanya.

Salah satu kekalahan yang menyakitkan bagi Sabam Sirait terjadi dalam Kongres III Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di tahun 1986. Ia dikalahkan dalam pertarungan yang tidak seimbang. Seorang jenderal yang berpengaruh meneleponnya agar tidak meneruskan perlawanan di arena kongres. Pemerintah kemudian menunjuk Soerjadi, mantan Ketua GMNI dan Sekretaris Fraksi PDI di DPR, menjadi Ketua Umum PDI. Dan kemudian, Sabam dan sejumlah tokoh senior partai “disingkirkan”.

Kekalahan lain dialaminya di Sidang Umum MPR 1993, saat memperjuangkan perubahan Ketetapan MPR tentang Pemilihan Umum agar lebih demokratis, jujur, dan adil. Ketika itu, ia berdiri paling depan memperjuangkan perubahan Ketetapan MPR tersebut. Bahkan, Sabam sempat melakukan interupsi ditengah rapat paripurna Sidang Umum MPR, suatu hal yang tabu dalam perpolitikan di masa itu.

Semula Fraksi PDI bersikukuh mempertahankan usulan perubahan tersebut. Tapi, setelah berbagai tekanan dari sana-sini, akhirnya menjelang Sidang Umum MPR berakhir, PDI menarik usulan tersebut. Sabam sendiri yang mengumumkan penarikan usulan itu kepada pers. “Saya meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Demokrasi kita masih jauh. Kita masih harus berjuang terus,” katanya. “Saya menangisi kebenaran yang dikalahkan oleh penggumpalan kekuasaan. Tapi, harus diingat, kebenaran itu bersumber dari kebenaran itu sendiri, bukan dari kekuasaan”.

Kisah kekalahan demi kekalahan itu, disamping juga perlawanan terhadap kekuasaan yang dilakukan Sabam Sirait. Perlawanan politik itu tidak selalu dalam bentuk “keras”, tapi juga “halus”.

Misi Kenabian

Sebagai seorang politisi yang telah melintas tiga orde—Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi– sikapnya selalu konsisten. Tidak terdapat perbedaan mencolok atas dirinya terkait dengan posisi partainya– baik saat PDI masih menjadi ‘oposisi’ di era Orde Baru, maupun saat PDI Perjuangan berkuasa di awal era reformasi.

Menang atau kalah baginya merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan di dunia politik praktis. Sabam selalu siap menerima berbagai kemungkinan dan risiko politik pada dirinya. Dalam sebuah kesempatan, ia menyatakan dengan nada nasihat, agar tidak mudah berputus asa dalam berpolitik. “Orang politik itu bisa mati berkali-kali. Maksudnya, kalah dalam pertarungan politik adalah hal yang biasa. Saya sendiri sebagai politisi merasa lebih banyak gagalnya, tapi tak pernah putus-asa. Kalau kalah bertarung, ada saatnya kita bisa bangkit lagi,” katanya.

Lantas, darimana Sabam Sirait menyerap energi untuk menggerakkan gagasan dan aktivitas politiknya? Ia belajar dari tokoh-tokoh politik yang dikenalnya. Suatu kali, Sabam pernah mengatakan: “Dalam dunia politik, juga dalam ilmu pengetahuan politik, figur atau tokoh sangatlah menentukan. Kadang-kadang, sesudah tokoh itu tidak memimpin atau hilang dari peredaran politik, sang tokoh bisa dianggap masih penting. Bahkan, tidak mustahil figur atau tokoh itu bisa menjadi lembaga tersendiri”.

Contoh yang paling terang, sekali lagi, adalah Bung Karno. Menurut Sabam, semua hal tentang Bung Karno—perjalananan hidup, kejayaan, dan kejatuhannya—tidak saja menarik untuk dipelajari, tapi juga seakan rohnya masih hidup dan menggelegar sampai hari ini. Ajarannya masih menginsipirasi pemikiran dan perjuangan generasi muda hingga sekarang.

Dengan Presiden Soekarno, ia hanya bertemu langsung dua kali sepanjang hidupnya. Tapi, dari proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia, Sabam belajar banyak sekali mengenai politik—sebagai gagasan maupun praktik. Dari belajar, ia kemudian mengagumi sosok Bung Karno. Sampai hari ini!

Dengan Presiden Soeharto dan para petinggi Orde Baru, ia berinteraksi dengan intensif selama 30 tahun lebih. Kali ini, interaksi itu lebih sebagai  “lawan politik” dengan dinamika yang naik-turun. Dalam menghadapi para “lawan politik” di masa Orde Baru itu, tentunya ia kerap berhadapan dengan berbagai risiko politik yang tidak sepele—terlebih rezim Orde Baru tidak segan menggunakan segala cara dan upaya untuk menjinakkan para penentangnya.

Namun, Sabam tidak ingin menyerah begitu saja tanpa berbuat sesuatu. Di masa itu, Sabam adalah salah seorang dari segelintir politisi yang tidak ragu melakukan kritik atas apa yang ia anggap bertentangan dengan hati nurani dan akal sehat. Sekalipun ia menyadari sepenuhnya batas-batas yang memungkinkannya untuk mewujudkan gagasan politiknya di masa itu, ia tergolong seorang politisi yang berkeras hati.

Dengan Presiden Abdurahman Wahid, Sabam bersahabat baik, meski cukup sering berbeda pendapat dan sikap politik. Dan, tentu saja, hubungan yang paling erat adalah dengan Presiden Megawati Soekarnoputri. Kedekatan ini diakui sendiri oleh Megawati. Dalam berbagai kesempatan Megawati mengatakan bahwa Sabam Sirait adalah salah seorang yang berperan mengajaknya terlibat dalam dunia politik.

Sebaliknya, dengan dua presiden—B.J. Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono—Sabam mengaku hanya mengenal sepintas lalu saja. Karena itu, tak banyak pengalaman yang bisa dikisahkannya.

Bagaimana dengan Presiden Joko Widodo? Dengan Presiden Ketujuh RI ini Sabam cukup sering bertemu dan berdiskusi. “Jokowi berani mengambil keputusan yang membuat kehidupan rakyat lebih baik. Kejujuran, mau bekerja-keras, dan berani mengambil keputusan, merupakan nilai-nilai yang penting untuk menjadi pemimpin politik,” katanya.

Dari berbagai kisah di  buku ini, benar adanya diktum bahwa “pengalaman adalah guru terbaik”. Perjalanan panjang Sabam Sirait sebagai politisi dipenuhi berbagai pengalaman yang mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak dalam pentas perpolitikan di negeri ini.

Dalam soal pengalaman, saat ini bisa dikatakan Sabam Sirait termasuk politisi yang paling tinggi jam terbangnya. Bila dihitung sejak ia aktif di Parkindo (di tahun 1961) hingga berakhirnya masa jabatan terakhirnya sebagai anggota DPR (tahun 2009), maka Sabam Sirait telah berkecimpung di dunia politik praktis selama 48 tahun, separuh lebih dari usianya yang kini 81 tahun. Jika hitungan itu dimulai dari masa sebagai aktivis mahasiswa (mulai pertengahan 1950-an) hingga sekarang ini—dimana ia masih berperan sebagai penasehat politik sejumlah pejabat dan politisi muda– maka rentang waktu berpolitik itu lebih panjang lagi: sekitar 60 tahun atau enam dasawarsa.

Menurut Cornelis Lay, lewat sepak-terjangnya di dunia politik, Sabam menunjukkan betapa politik itu mengandung di dalam dirinya misi profetik (kenabian) yang sudah sangat samar untuk bisa ditangkap dalam hiruk-pikuk politik Indonesia kontemporer: sebuah bahan kontempelasi yang semakin langka. [Satyadarma Hs].