Prasasti Karang Berahi yang mengandung kutukan bagi siapapun yang khianat kepada raja. [Foto gurusejarah.com]

Koran Sulindo – Prasasti Kedukan Bukit, piagam tertua yang tentang Sriwijaya berangka tahun 683 menceritakan tentang perjalanan suci atau siddhayatra Dapunta Hyang yang memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan.

Sampai saat ini lokasi tepat dari Minanga Tamwan masih menjadi perdebatan para ahli.

Beberapa prasasti lain yang menceritakan siddhayatra dan penaklukkan Dapunta Hyang juga ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka, Karang Brahi di Jambi dan dan Palas Pasemah di selatan Lampung.

Dari keterangan prasasti-prasasti ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Dapunta Hyang mendirikan Sriwijaya setelah mengalahkan musuh-musuhnya di Jambi, Palembang, Selatan Lampung dan Pulau Bangka.

Slamet Muljana mengaitkan nama Dapunta Hyang di Prasasti Kedukan Bukit sebagai  Sri Jayanasa seperti yang tertulis pada Prasasti Talang Tuwo yang berangka tahun 684. Ia berpendapat dengan jarak setahun antara kedua prasasti tersebut, kemungkinan besar  ‘Dapunta Hyang’ adalah orang yang sama dengan Sri Jayanasa.

Nama Dapunta Hyang dipercayai sebagai suatu gelar penguasa yang dipakai maharaja Sriwijaya periode awal. Gelar Dapunta juga ditemukan dalam Prasasti Sojomerto dari akhir abad ke-7 yang ditemukan di daerah Batang, pesisir utara Jawa Tengah. Dalam prasasti itu disebut bahwa Dapunta Selendra dipercaya sebagai nama leluhur Wangsa Sailendra.

Dari Prasasti Kota Kapur juga diketahui bahwa Sriwijaya telah melancarkan ekspedisi militer menghukum Bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti kepada Sriwijaya. Peristiwa ini semasa dengan runtuhnya Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat dan Kalingga di Jawa Tengah yang kemungkinan besar diakibatkan serangan Sriwijaya.

Mengandalkan hegemoni pada armada lautnya untuk menguasai alur pelayaran dan jalur perdagangan, Sriwijaya membangun beberapa kawasan sebagai pangkalan armadanya untuk mengawasi dan melindungi kapal dagang.

Dominasinya di Selat Malaka dan Selat Sunda membuat Sriwijaya tampil sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat.

Bukti-bukti sejarah dan arkeologi mencatat pada abad ke-9 kerajaan itu telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara seperti Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.

Dari sumber-sumber prasasti dan sumber-sumber asing khususnya Cina, sepanjang kurun waktu lima abad kekuasaan Sriwijaya, sekurang-kurangnya terdapat empat belas orang raja yang memerintah dan berkuasa di Sriwijaya.

Serbuan Chola

Sumber-sumber dari Cina dari Dinasti Song menyebut penguasaan San-fo-tsi atau Sriwijaya atas jalur maritim di Asia Tenggara pada abad ke-10 mulai mendapat tantangan dari She-po atau Kerajaan Medang di Jawa Timur.

Sama-sama mengirim duta ke Cina, utusan dari San-fo-tsi yang berangkat pada tahun 988 justru tertahan di pelabuhan Kanton karena negerinya diserang tentara dari Jawa. Sementara itu utusan dari Jawa tiba di Cina tahun 992 yang dikirim oleh rajanya yang baru naik takhta setahun sebelumnya. Raja baru Jawa itu adalah Dharmawangsa Teguh.

Serangan Medang itu diperkirakan berlangsung antara tahun 988 dan 992 di era Sriwijaya diperintah Sri Cudamani Warmadewa. Pada serangan itu, meski berhasil merebut Palembang untuk sementara waktu balatentara dari Medang itu berhasil dipukul mundur Sriwijaya.

Menguasai Palembang sebagai pusat Sriwijaya tak cukup untuk meruntuhkan kerajaan itu karena kekuatan mandala Sriwijaya justru tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.

Sri Cudamani Warmadewa yang berhasil lolos keluar dari ibu kota berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.  Di sisi lain serangan itu menyadarkan betapa berbahayanya ancaman dari Jawa.

Dari Prasasti Pucangan diketahui Sriwijaya disebut ikut berperan membantu Haji Wurawari dari Lwaram menghancurkan Istana Medang yang menyebabkan terbunuhnya Dharmawangsa Teguh pada tahun 1006 atau 1016. Prasasti Pucangan menyebut peristiwa itu sebagai Mahapralaya.

Berhasil menjinakkan serbuan Jawa, Sriwijaya justru gagal membendung ekspedisi yang dikirim Rajendra Chola I yang berkuasa di Koromandel, India selatan. Dari Prasasti Tanjore bertahun 1030 diketahui Chola berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu yakni Sangrama Vijayottunggawarman.

Dalam beberapa dekade berikutnya Rajendra Chola I tetap membiarkan raja-raja yang ditaklukannya itu tetap berkuasa asal tunduk kepadanya.

Berita Cina menyebutkan di tahun 1079 raja dari Chola itu disebut juga sebagai raja San-fo-ts’i karena mengirim duta untuk membantu perbaikan candi di dekat Kanton. Utusan itu diulangnya pada tahun 1082 di era pemerintahan Kaisar Yuan Fong.

Dari Chi-fan-chi yang ditulis tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya di selatan yakni San-fo-ts’i dan She-po. Di She-po rakyat kerajaan tersebut diketahui memeluk agama Buddha dan Hindu, sedangkan di San-fo-ts’i merupakan pemeluk Buddha.

Dalam kronik itu disebut San-fo-ts’i  memiliki 15 wilayah bawahan yakni Si-lan atau Kamboja, Tan-ma-ling atau Tambralingga di selatan Thailand, Kia-lo-hi atau Chaiya di selatan Thailand, Ling-ya-si-kia atau Langkasuka, Kilantan atau Kelantan, Pong-fong atau Pahang, Tong-ya-nong atau Terengganu, Fo-lo-an di muara Sungai Dungun, Ji-lo-t’ing, Ts’ien-mai, Pa-t’a di pantai timur Semenanjung Malaya, Lan-wu-li di Aceh, Pa-lin-fong atau Palembang, Kien-pi atau Jambi, dan Sin-t’o atau Sunda.

Hanya saja, istilah San-fo-tsi khususnya di tahun 1178 tak lagi identik dengan Sriwijaya namun merujuk Melayu Dharmasraya karena 15 negeri bawahan San-fo-tsi itu adalah jajahan Dharmasraya. [TGU]