Salah satu arca budha pusat kerjaaan sriwijaya di sumatera
Salah satu arca Avaloketiswara/Lokeswara [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Penemuan sekitar 30 arca Buddha di kawasan Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) disebut sebagai temuan penting. Pasalnya, arca Avaloketiswara/Lokeswara dan juga tablet kuno tersebut bisa mengubah historiografi hadirnya Buddhisme di Pulau Sumatera secara umum dan secara khusus Sumatera bagian Utara.

Dari dinding Facebook Ichwan Azhari, sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) menuturkan, 30 arca Buddha itu sama dengan arca Buddha era kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8. Tidak hanya Ichwan, peneliti Universitas Cornell Edward Edmun Mckinnon juga tertarik dengan penemuan arca itu. Rasa penasarannya itu bahkan telah ia sampaikan kepada Ichwan sejak Juli lalu.

Menurut Ichwan, beberapa arca yang ditemukan buruh tani tebu PT Perkebunan Nusantara II itu ada yang disepuh emas dan bergaya agama Buddha India Selatan abad ke-8. “Sezaman dengan era kerajaan Sriwijaya dan Jambi,” tulis Ichwan di dinding Facebook-nya beberapa waktu lalu. Kepada Ichwan, Mckinnon mengatakan, temuan itu menjadi penting karena mengkoreksi sejarah kehadiran agama Buddha kuno di Sumatera.

Temuan tersebut mengindikasikan jejak Buddha di Hamparan Perak sama dengan di Jambi dan Palembang. Pertanyaan pentingnya: apakah itu petunjuk, bukti orang Melayu kuna pra Islam di Sumatera Timur beragama Buddha? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ichwan sedang menyiapkan analisis ikonografi. Juga Balai Arkeologi Sumut sedang menyiapkan eskavasi pada tahun depan. Pun ia berharap agar tes laboratorium terhadap arca itu akan segera dilakukan.

Seperti Ichwan, peneliti Balai Arkeologi Sumut Ery Sudewo punya pendapat serupa. Arca-arca yang ditemukan itu, ditinjau dari gaya seninya relatif berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Dari arca-arca ditemukan dua di antaranya bergaya seni Gupta. Sementara tujuh arca lain bergaya seni Sailendra yang berkembang di Jawa, Sumatera dan Semenanjung Malaya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi.

“Temuan yang lain, tablet tanah liat (votive tablet) secara relatif berasal dari abad ke-6 hingga ke-9 Masehi.  Tablet-tablet tanah liat itu biasanya berisi mantra-mantra Buddha,” kata Ery ketika dihubungi melalui WhatsApp pada pertengahan September 2017.

Ery bertutur, arca-arca Buddha yang ditemukan di Buluh Cina, Hamparan Perak itu gaya seninya mirip dengan gaya seni arca Buddha yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan. Sebagian besar ahli dan pakar memandang hal itu sebagai pusat kekuasaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi dan sezaman dengan arca-arca dari Buluh Cina itu.

Arca-arca ditemukan di Buluh Cina, Medan, dua di antaranya bergaya seni Gupta [Foto: dinding Facebook sejarawan Unimed Ichwan Azhari]
Arca-arca ditemukan di Buluh Cina, Medan, dua di antaranya bergaya seni Gupta [Foto: dinding Facebook sejarawan Unimed Ichwan Azhari]
Kesamaannya tampak pada gaya seninya yang berlanggam seni arca Gupta. Yang berciri antara lain penggambaran jubah/kain yang dikenakan. Pada arca yang ditemukan di Buluh Cina dan Palembang kainnya digambarkan berpelipit. Langgam seni Gupta, kata Ery, berkembang di India bagian utara antara abad ke-4 hingga ke-6 Masehi.

Ery menduga, kesamaan arca pada Buluh Cina dan Palembang itu sepertinya terkait dengan jaringan perdagangan internasional melalui jalur Selat Malaka, yang melibatkan kedua tempat tersebut dengan pusat kebudayaan Buddha di India, terutama Nalanda di daerah Teluk Benggala. Penemuan arca tersebut lalu memunculkan pertanyaan apakah kehidupan Melayu kuna pra Islam adalah beragama Buddha? Menanggapi pertanyaan itu, Ery merujuknya kepada Kerajaan Sriwijaya yang Buddha, namun prasasti-prasastinya ditemukan berbahasa Melayu kuna yang ditulis dengan aksara Pallawa.

Fakta itu disebutnya sebagai bukti kuat pendukung peradaban Sriwijaya adalah orang-orang yang berbahasa Melayu kuna. Akan tetapi, arca yang ditemukan di Buluh Cina belum bisa disimpulkan kelompok masyarakat yang mendukung kebudayaannya. Apalagi belum ditemukan prasasti yang bisa menjadi rujukan untuk menentukan kelompok masyarakatnya sebagaimana kemelayuan di Sriwijaya sebagai pembandingnya. Itu sebabnya, ketika ada orang yang menyebutkan kelompok masyarakat pendukung kebudayaan Buddha di Buluh Cina adalah Melayu, itu hanya spekulasi. Karena hingga saat ini belum ditemukan bukti pendukugnya seperti prasasti-prasasti.

Menurut Ery, mengapa Melayu kuna mempengaruhi Sriwijaya – meski beragama Buddha – karena sebelum Sriwijaya, sesungguhnya Kerajaan Malayu lebih dulu berdiri. Akan tetapi pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya menguasai Melayu dan namanya hilang dari catatan sejarah. “Keterangan tersebut berdasarkan berita dari pendeta Buddha asal Tiongkok, yakni I-tsing yang menyebut sekembalinya belajar agama Buddha di Nalanda, Mo-lo-yeu (Malayu) yang pernah disinggahinya telah berubah menjadi She-li-fo-she (Sriwijaya),” tutur Ery.

Rujukan Melayu kuna hingga saat ini berdasarkan data primer berupa prasasti-prasasti berbahasa Melayu kuna yang ditemukan terutama di Sumatera bagian selatan (Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung), juga di beberapa tempat di Pulau Jawa (seperti di Pekalongan dan Dieng). Jadi persebaran penutur Melayu kuna berdasar prasasti-prasasti itu sejauh ini adalah di Sumatera dan Jawa.

Serangan Kerajaan Cola terhadap Sriwijaya pada abad ke-11 Masehi menurunkan pengaruhnya baik di Sumatera maupun Semenanjung Malaya. Juga memunculkan kerajaan dan pusat-pusat perdagangan yang mandiri dari pengaruh Sriwijaya. Salah satunya adalah Kerajaan Melayu yang berpusat di daerah Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

“Perlu diketahui, Melayu sendiri adalah nama satu sungai di Jambi. Orang-orang yang tinggal di daerah aliran sungai itulah yang pada awalnya disebut sebagai orang-orang Melayu,” kata Ery menambahkan. [Kristian Ginting]