Kompleks Candi Muara Takus diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya, terletak di Kabupaten Kampar – Riau.

Sriwijaya adalah kerajaan besar yang berada di Pulau Sumatra sekitar abad 7 ­- 11 Masehi. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah semenanjung Asia Tenggara. Kerajaan ini berlandas pada ajaran Buddha.

Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “cahaya” atau “gemilang”, dan vijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”;  nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gemilang”.

Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada abad 9-10 Masehi. Kerajaan ini berhasil menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara bahkan menjadi pengendali rute/jalur perdagangan local maupun antar pulau. Kondisi tersebut membuat Sriwijaya dijuluki sebagai Penguasa Selat Sunda dan Selat Malaka.

Sriwijaya dikenal sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, yang menjadi daya tarik banyak pendeta, pengelana, dan sarjana dari negara-negara di Asia. Tersebut nama pendeta I Tsing dari Tiongkok, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya dari Nalanda, India, pada tahun 671 M dan 695 M. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi para pendeta Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.

Bukti keberadaan

Riwayat Sriwijaya dirujuk dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu bertulis yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan  I Tsing sangat penting, terutama penjelasannya yang rinci tentang kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu.

Sekumpulan prasasti abad ke-7 yang ditemukan di Palembang, Riau dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang penting. Selain itu, beberapa catatan saudagar dari India dan Arab juga menjelaskan secara samar mengenai keberadaan Sriwijaya.

Dari beberapa prasasti lokasi pusat kerajaan Sriwijaya dapat disimpulkan berada di Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi. Sriwijaya terhubung dengan sejumlah pelabuhan besar di sekitar Selat Malaka.

Prasasti Kedukan Bukit mencatat Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang pada 682 M.

Saat itu kehidupan di Kepulauan Nusantara semakin ramai dengan kedatangan para saudagar dan musafir dari Cina, India dan Eropa.

Kerajaan Sriwijaya pada masa kejayaannya terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Sumatera bagian selatan dan sebagian wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia modern). Secara lebih spesifik, pusat kerajaan terletak di muara Sungai Musi, dengan wilayah kekuasaannya meluas ke  Sumatera bagian selatan dan wilayah semenanjung seberang Sumatera. Palembang di Sumatera Selatan diyakini sebagai salah satu pusat Kerajaan Sriwijaya.

Penguasaan Kerajaan membentang sepanjang pesisir barat Semenanjung Malaya, Thailand (Siam) selatan hingga Jawa bagian barat.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terpenting yang telah ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Candi Muara Takus: Candi ini disusun dari batu bata bakar, merupakan kompleks candi Buddha yang terletak di Kabupaten Kampar, Riau. Muara Takus salah satu peninggalan penting dari keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.

2. Candi Musi: Candi ini terletak di Palembang, Sumatera Selatan, dan dianggap sebagai bagian dari pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Meskipun candi ini telah mengalami kerusakan, namun tetap menjadi bukti sejarah kejayaan Sriwijaya.

3. Prasasti Kedukan Bukit: Batu bersurat (bertulis) ini dianggap sebagai prasasti tertua yang menyebutkan nama “Sriwijaya”. Prasasti ini memberikan bukti tertulis tentang keberadaan dan kegiatan politik Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit atau Batu Bersurat Kedukan Bukit ditemukan pada 29 November 1920, di Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi, Palembang. Batu Bersurat ini berbentuk oval berukuran sekitar 45 x 80 sentimeter. Tarikh batu bersurat ini ialah 682 masehi menggunakan aksara Pallava bahasa Melayu kuno.

4. Catatan Sejarah dan Literatur: Selain bukti fisik, catatan sejarah dan literatur juga memberikan wawasan tentang Kerajaan Sriwijaya. Catatan-catatan seperti The Kedukan Bukit Inscription, Naskah Lontar Negarakertagama, dan catatan-catatan sejarah Tiongkok memberikan informasi tentang kejayaan hingga keruntuhan Sriwijaya.

Keruntuhan Sriwijaya

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India Selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.

Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah bawahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

Meskipun serangan Chola menyebabkan kehancuran bagi Sriwijaya, tetapi kerajaan tersebut tidak sepenuhnya redup oleh serangan Chola. Sriwijaya masih menghadapi serangan dari kerajaan dari Jawa yang mengakibatkan semakin hancurnya Sriwijaya. Sriwijaya kehilangan wilayah pesisir dan wilayah di Jawa bagian barat.

Catatan sejarah tentang konflik dan peperangan antara Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa lampau menjadi pengujung keruntuhan Sriwijaya. Meski dicatat bahwa informasi tentang peperangan antara Sriwijaya dan kerajaan di Jawa sangat terbatas dan tidak selalu jelas. Beberapa peperangan/konflik hanya dikenal melalui prasasti, literatur, atau legenda yang tidak selalu dapat rujukan secara historis.

Masuknya ajaran Islam ke Nusantara tidak secara langsung juga menyebabkan melemahnya Sriwijaya, meski bukan menjadi factor utama. Perkembangan Islam di Nusantara pada abad-11 Masehi membawa perubahan besar dalam masyarakat Nusantara dalam bidang politik, dan ekonomi, dan kepercayaan.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan masuknya Islam ke Nusantara dan dampaknya terhadap Sriwijaya:

– Munculnya kerajaan Islam Samudera Pasai di ujung Sumatera, Banda Aceh.

– Masuknya Islam membawa perubahan dalam struktur ekonomi di wilayah Nusantara. Beberapa wilayah perdagangan dan kekuasaan tradisional, termasuk Sriwijaya, menghadapi persaingan baru dalam perdagangan dengan kedatangan pedagang dan penguasa Islam.

– Perubahan kepercayaan dan sosial: Masuknya Islam membawa perubahan dalam struktur politik dan sosial di wilayah Nusantara. Beberapa komunitas lokal memilih untuk mengadopsi Islam sebagai ajaran resmi, yang dapat mempengaruhi hubungan politik dengan kerajaan-kerajaan lain, termasuk Sriwijaya.

– Perubahan Budaya: Masuknya Islam membawa perubahan dalam aspek budaya dan kehidupan sehari-hari di Nusantara. Praktik dan tradisi lokal mengalami pergeseran dengan beralih landasan pada ajaran Islam, yang mengubah identitas dan kesatuan masyarakat.

Para penguasa Sriwijaya abad 11 mulai tampak redup, mereka tidak mampu mengatasi berbagai halangan, beberapa wilayah melepas diri, pasokan upeti tidak lagi mengalir, pendapatan ekonomi dari penguasaan pelabuhan dan Selat Malaka berkurang, berakhir dengan semakin hilangnya cahaya Sriwijaya. [KS]