Elias Daniel Mogot, atau lebih dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 28 Desember 1927. Ia gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang, pada tanggal 25 Januari 1946, saat usianya baru 18 tahun.

Daan Mogot adalah seorang pemuda yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada tahun 1943, saat usianya baru 15 tahun. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Daan Mogot bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan menjadi Komandan Resimen IV Tangerang.

Pada tanggal 25 Januari 1946, Daan Mogot memimpin pasukannya untuk melucuti senjata tentara Jepang di Lengkong, Tangerang. Namun, pasukan Jepang justru menyerang pasukan Daan Mogot secara tiba-tiba. Dalam pertempuran tersebut, Daan Mogot dan 33 kadet lainnya gugur.

Kematian Daan Mogot merupakan sebuah tragedi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Ia adalah salah satu pejuang muda yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan Hidup Daan Mogot

Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 28 Desember 1927. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Nicolaas Mogot dan ibunya bernama Emilia Inkiriwang.
Daan Mogot menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Manado. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Jakarta.

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Daan Mogot yang saat itu berusia 14 tahun direkrut ke dalam Seinen Dojo, pasukan paramiliter pribumi bentukan Jepang di Tangerang. Di pasukan tersebut, Daan menjadi angkatan pertama.
Pada tahun 1943, Daan Mogot lulus dari Seinen Dojo dan menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air). Ia ditugaskan di Bali, di mana ia bertemu dengan dua sahabat karibnya, yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Daan Mogot bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan menjadi Komandan Resimen IV Tangerang. Ia juga mendirikan Akademi Militer Tangerang (MAT) dan menjadi Direkturnya.
Pada tanggal 25 Januari 1946, Daan Mogot memimpin pasukannya untuk melucuti senjata tentara Jepang di Lengkong, Tangerang. Namun, pasukan Jepang justru menyerang pasukan Daan Mogot secara tiba-tiba. Dalam pertempuran tersebut, Daan Mogot dan 33 kadet lainnya gugur.

Pertempuran Lengkong

Pada tanggal 24 Januari 1946, Kepala Staf Resimen IV Tangerang Mayor Daan Jahja menerima informasi intelijen bahwa pasukan Belanda dan KNIL sudah menduduki Parung dan akan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Gerakan militer Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius.

Pada tanggal 25 Januari 1946 sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letnan Kolonel Singgih, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha.

Setelah melalui perjalanan yang berat, pasukan TKR tersebut tiba di depot senjata Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Mayor Daan Mogot kemudian memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya, tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta.
Ketika perundingan berjalan, rupanya Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo sudah mengerahkan para kadet memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sementara sekitar 40 orang tentara Jepang yang ada di depot tersebut dikumpulkan di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada pasukan Kadet MAT yang terjebak.
Nama Daan Mogot diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Grogol dan Cengkareng di Jakarta Barat dengan kota Tangerang. Sementara, di tempat pertempuran Lengkong tersebut, dibangun monumen peringatan. Kisah Pertempuran Lengkong juga dijadikan dasar penulisan skenario film Merah Putih (2009).

Ironisnya, sementara Daan Mogot berjuang gugur di medan pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ayahnya justru tewas dibunuh gerombolan perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londo-londo (antek-antek) Belanda. Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang. [UN]