Bung Karno Melawat ke Oldefos

Presiden Soekarno memeriksa pasukan kehormatan Amerika Serikat/wikimedia.org

Koran Sulindo – Lawatan tersebut menjadi headline di media-media besar, dari The New York Times, Washington Post, Chicago Chronicle, hingga The Christian Science Monitor. Bung Karno juga diwawancarai beberapa stasiun radio dan televisi di New York dan Washington.

Selain kunjungan pertama Bung Karno, ini juga merupakan kunjungan Presiden RI terlama di AS. Selama 19 hari itu ia berkeliling ke Charlottesville (Virginia), Annapolis (Maryland), New York City, Philadelphia (Pennsylvania), Springfield (Illinois), Detroit (Michigan), the Grand Canyon (Arizona), Los Angeles, Salt Lake City (Utah), and Niagara Falls (New York). Bung Karno meninggalkan AS pada 3 Juni 1956; ia menginjakkan kaki ke AS pada 16 Mei dan berpidato di hadapan Kongres (DPR) AS pada 17 Mei.

Washington Post pada edisi 16 Mei 1956 menulis, “Sambutan pada tamu kehormatan yang datang melewati Jalan Konstitusi (Constitution Avenue) yang dihiasi berjajar pepohonan Elm itu tidak pernah lebih penting daripada hari ini, ketika Presiden Eisenhower menerima Presiden dari negara termuda namun republik ketiga di dunia– Soekarno Indonesia…”

Bung Karno adalah pemimpin negara Asia pertama yang mengadakan kunjungan kenegaraan di AS. Pemimpin Cina, Jepang, saat itu belum pernah. Momen kunjungan itu juga belum setahun dari konferensi tingkat tinggi yang mengumpulkan negara-negara Asia dan Afrika di Bandung.

Soekarno tokoh sentral dalam KAA itu, yang bersama-sama menegaskan sikap netral dari pertarungan antara kekuatan kapitalis dan komunis dalam perang dingin yang saat itu terasa.

Hebohnya pemberitaan media-media di AS terhadap kunjungan Soekarno ini, bahkan, sudah terlihat sejak beberapa minggu sebelum Presiden RI pertama itu tiba di AS. Menurut Mohamad Burhanudin dalam tulisannya, “Kunjungan Kenegaraan Pertama Bung Karno Membangun Diplomasi dan Reputasi Bangsa” dalam dobrak.net, tak hanya mengulas perihal urusan politik, isu-isu soal wanita dan lain-lain juga diangkat media.

Di Washington Post, kolumnis Drew Pearson menulis sebelum berkunjung ke AS, Soekarno menyempatkan diri jauh-jauh datang ke kampung asalnya di Blitar meminta restu ibundanya. “Soekarno juga disebutkan mengujungi makam ayahnya di sebuah permakaman Muslim untuk berdoa demi kesuksesannya menjalin hubungan dengan AS,” tulis Pearson.

Media-media arus utama AS memang menggambarkan Soekarno agak lebih positif dengan menyebutnya sebagai pemimpin nasionalis yang berpandangan netral dan kharismatik, cerdik, orator ulung, dan pandai mengambil peran internasional.

Dalam pidatonya di depan Kongres AS, Bung Karno mengatakan akan menerima bantuan material dari mana saja, tapi tak akan bisa membeli kemerdekaan Indonesia yang dicapai dengan susah payah.

“Jangan sangsikan demokrasi Indonesia, tuan-tuan, bahkan di masa-masa paling sulit setelah pengakuan kedaulatan, kami tetap bisa menjaga persatuan negeri kami,” kata Soekarno.

New York Times terbitan 20 Mei 1956 melaporkan Bung Karno memukau hadirin dalam Sidang Gabungan Senat Amerika Serikat dan Dewan Perwakilan Amerika Serikat itu. Pidatonya bolak balik mendapat tepukan hangat dan ovasi berdiri sebagai penghormatan.

Presiden Soekarno pidato di Konggres Amerika Serikat/commonswikimedia-org

Para pengamat dalam negeri AS menganggap pidato itu sebagai ungkapan terkuat dari sudut pandang Asia yang pernah terdengar di Washington DC.

Tanpa ragu dalam pidato itu Bung Karno mengkritik pendekatan AS pada masalah bantuan luar negeri mereka di Asia. AS dianggapnya berusaha membeli stabilitas dengan membagikan  hadiah-hadiah senjata dan pembentukan pakta militer.

Secara lugas dan memikat Bung Karno menjelaskan mengenai nasionalisme di Asia dan proses kebangkitannya. Bung Karno mengatakan perjuangan nasional Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika belum selesai.

“Bagaimana bisa dibilang selesai jika jutaan mulut di Asia dan Afrika masih dijajah kolonialis,” kata Bung Karno.

Media-media AS menuliskan dengan empati, San Francisco Chronicle misalnya, menulis, “Sukarno Talks to US of Philadelphia, 1776”. Times menulis, “Sukarno Warns World”.

Post and Times-Herald menulis judul Sukarno Disambut Karpet Merah. Menurut media tersebut, saat turun dari pesawat Bung Karno menyapa warga Indonesia yang menyambutnya dengan berteriak “merdeka!” sebanyak 17 kali, menyimbolkan tanggal kemerdekaan Indonesia. Selain itu Bung Karno juga disambut salvo sebanyak 21 kali.

Tak kurang dari 25 ribu warga AS berjejer di sepanjang jalan di Washington DC untuk menyaksikan arak-arakan mobil Bung Karno. Dalam perjalanan dari bandara ke White House, Bung Karno menyempatkan diri turun dari mobil limusinnya untuk menyapa para penyambutnya. Dia bahkan menyalami seorang bocah berusia 5 tahun dan mencium seorang nenek-nenek.

Sementara harian News and Courier memberitakan kedatangan Bung Karno dengan judul Presiden Indonesia Mendapat Sambutan Meriah Saat Tiba di Washington. Di bawahnya terpampang foto Bung Karno yang memegang tongkat dan berpeci tengah berjalan di sisi Presiden AS Dwight Eisenhower.

Evening News keluar dengan judul Sukarno Menjadi Pusat Perhatian. The Christian Science Monitor memilih judul Pemimpin Indonesia Mendapat Sambutan Meriah di AS, sementara World-Telegram & Sun menulis Pemimpin Indonesia Dielu-elukan di Ibu Kota, dan New York Times memberi judul Sukarno Memukau Ibu Kota.

Bung Karno telah membuat publik AS terpesona dengan kharismanya. Kepiawaiannya berpidato juga tak luput dari perhatian media. Evening News menyebut Bung Karno sebagai “pembicara yang memukau.” Media tersebut mengutip pernyataan seorang diplomat asing yang menganggap kemampuan orasi Bung Karno lebih hebat ketimbang Adolf Hitler.

“Dia seorang pembicara yang memukau. Soekarno adalah orator terhebat yang pernah saya dengarkan, padahal saya sudah pernah mendengarkan pidato Roosevelt, Churchill, Nehru, dan Hitler. Pidatonya dalam bahasa Inggris sangat bagus, tapi dalam bahasa Indonesia luar biasa,” kata diplomat tersebut.

“Pemimpin netral beragama Islam tersebut membuat senang para penyambutnya, termasuk Presiden Eisenhower yang memintanya untuk tinggal di White House lebih lama ketimbang jadwal resmi,” tulis News and Courier.

Meski begitu, ketegangan lantaran sikap tidak memihak Bung Karno tetap terasa. Sesungguhnya AS berharap Indonesia mendukung mereka menentang komunisme, dan sikap netral Indonesia mengundang ketidaksukaan AS. Christian Science Monitor menulis “AS Menghadapi Tes dalam Kunjungan Soekarno,” sementara Madford Mail Tribune menulis “Kunjungan Pemimpin Indonesia Memicu Persoalan Diplomasi.”

Toh Bung Karno tetap dikagumi lantaran perjuangannya membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Koran Citizen bahkan menyamakan Bung Karno dengan George Washington, panglima angkatan bersenjata Amerika yang memimpin revolusi kemerdekaan melawan Inggris. Mengingat arti penting Washington bagi warga AS, penyejajaran Bung Karno dengan presiden pertama AS itu menunjukkan penghormatan tinggi mereka terhadap Bung Karno.

Bung Karno mengingat juga momen itu. “Tahun 1956, selama perlawatanku yang pertama ke luar negeri, aku dianggap seorang pahlawan di mata barat,” sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Ini beberapa kutipan dari buku itu: Di Amerika Serikat, tidak kurang 110 wartawan berebut mewawancarai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.

“Presiden Soekarno, apa tujuan kunjungan Anda ke Amerika?” tanya seorang reporter. Entah dari media mana.

“Sejak dulu aku mencintai negara Anda. Di dalam dunia pemikiranku, aku telah melihat semua gedung-gedung Anda. Aku telah melakukan perjalanan ke seluruh daerah pedalaman negeri Anda. Aku lebih tahu mengenai negeri Anda daripada Anda sendiri. Aku datang kemari sebagai penghargaan kepada Anda.”

Seseorang dari barisan wartawan kembali melempar tanya. “Apa yang Anda anggap sebagai perbedaan terbesar di antara kedua negara ini?”

“Dalam cara memilih tokoh-tokoh politik untuk menduduki jabatannya. Juga cara orang Amerika menyalami ibu dan mencium anak-anak, sangat berbeda dengan kami.”

Presiden Soekarno bersama anak-anak Indonesia di Keubes RI di Washington, AS/wikimedia.org

Oldefos

Rabu 16 Mei 1956 itu adalah hari pertama rangkaian perjalanan Bung Karno ke Amerika Serikat dan Eropa Barat selama Mei-Juli 1956. Bung Besar melawat ke pusat Old Established Forces (OLDEFOS), kekuatan tua dan mapan, imperialis dan neokolonialis. Kelak pada Agustus tahun yang sama, ia juga mengunjungi Uni Soviet, Oldefos yang lain.

“Saya datang ke sini ke Amerika untuk belajar sesuatu dari Amerika. Bukan sekadar Amerika sebagai sebuah negara, atau bangsa, atau orang, tetapi juga Amerika sebagai kerangka berpikir, Amerika sebagai pusat ide,” kata Bung Karno di Washington Military Airport, hari itu.

Itulah pernyataan pertamanya di hadapan biangnya Oldefos itu.

Ketika masih di HBS Surabaya, Soekarno muda memang terpukau gagasan Thomas Jefferson, bapak pendiri AS. Soekarno pernag menulis perbandingan “Declaration of Independence” Jefferson dengan “Manifesto Komunis” Karl Marx dan Freidreich Engels.

Berulangkali dalam pernyataannya  Bung Karno mengatakan kunjungannya ke AS untuk membangun “saling pengertian dan persahabatan yang sesungguh-sungguhnya antara Indonesia dan Amerika Serikat.” Hal ini disambut hangat masyarakat Amerika Serikat mengingat Bung Karno mengunjungi Washington terlebih dahulu sebelum melakukan kunjungan muhibah ke Uni Soviet dan Tiongkok.

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari media massa Amerika Serikat, Sandusky Register Star News terbitan 17 Mei 1956 melaporkan  Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia menentang perjanjian-perjanjian regional yang mengikat anggotanya pada komitmen militer karena hal ini akan menambah kecurigaan dan sahwa-sangka yang pada gilirannya akan meningkatkan ketegangan dikawasan.

Secara  indah Bung Karno membuat analogi usaha AS menentang komunisme dan usaha Indonesia menentang kolonialisme adalah kegiatan politik menuju ke arah tujuan yang sama, yaitu memberikan kebebasan yang lebih luas bagi umat manusia.

Makarim Wibisono‏ dalam tulisannya “Bung Karno Memukau Washington DC” mengatakan soal kolonialisme, Bung Karno mengakui itulah akar masalah hubungan negara-negara Asia dengan Negara-negara barat termasuk Amerika Serikat.

“Benar AS tidak mempunyai daerah jajahan di Asia, tapi ingat mereka mempunyai aspek lain dari kolonialisme selain kepemilikan politik. Mereka menjajah aspek ekonomi dan sosial,” kata Bung Karno, di depan The National Press Club. Bahkan sudah sejak masa itu Bung Karno mengingatkan adanya dimensi sosial dan ekonomi dari kolonialisme. [Didit Sidarta]