Masa Orde Baru, selama 32 tahun, bisa dibilang sebagai periode paling mesra dalam hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Presiden Richard Nixon di tahun 1967 menyebutkan, “Indonesia is the greatest prize for US in Southeast Asia.” Ucapan itu bagaikan obat penawar dari kekalahan memalukan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Tapi, agar dukungan itu tak terlalu mencolok di mata internasional, Amerika Serikat menerapkan low profile policy atau sikap politik yang tidak menonjolkan diri. “Kami dapat membantu sebuah negara sebagai pelengkap pada usaha-usaha yang mereka lakukan sendiri. Karena itu, tidaklah pantas untuk menonjolkan diri dan bersikap menggurui, apa sebenarnya yang patut dilakukan oleh pihak yang kami bantu,” kata Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada masa itu.
Yang terjadi sesungguhnya, pemerintah Amerika Serikat cukup aktif “mendekati” pemerintah baru Indonesia di bawah Jenderal Soeharto. Bisa dikatakan, selama pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa, segala kepentingan Amerika Serikat—politik, ekonomi, dan kebudayaan—berjalan lancar di negeri ini.
Di akhir tahun 1966 digelar dua pertemuan penting untuk membahas penjadwalan kembali utang-utang Indonesia: Tokyo Meeting dan Paris Club. Lantas pada Februari 1967 dibentuk Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), perhimpunan negara-negara donor untuk pembangunan Indonesia. Salah satu penyokong utama IGGI adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat dan Jepang menjadi donatur terbesar dalam program pinjaman lunak untuk Indonesia.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan militer dalam bentuk persenjataan serta program International Military Education and Training (IMET). Bantuan persenjataan itu termasuk tawaran penjualan pesawat tempur canggih pada masanya, F-16.
Meski banyak menerima bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya, pemerintah Orde Baru menyatakan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Untuk menunjukkan sikap itu, Menteri Luar Negeri Adam Malik sepanjang Juni 1974 mengunjungi Uni Soviet dan dua negara Eropa Timur, Yugoslavia dan Romania.
Dalam beberapa isu penting, sikap Indonesia berseberangan dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Misalnya dalam masalah Palestina, Indonesia konsisten bersikap mendukung kemerdekaan Palestina. Selain itu, pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sempat melakukan diplomasi intensif mendekati negara-negara komunis. Menteri Luar Negeri Indonesia masa itu, Mochtar Kusumaatmadja, melawat ke Uni Soviet dan Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani berkunjung ke Hanoi. Indonesia juga menggelar Konferensi Menteri-Menteri Penerangan Gerakan Nonblok, Januari 1984.
Kendati begitu, tetap saja pelaksanaan politik luar negeri di bawah pemerintahan Orde Baru dinilai pro-Barat dan tidak lagi dalam garis Nonblok. Karena, politik luar negeri Indonesia terlalu “low profile” di masa Orde Baru. Masyarakat internasional menilai kebijakan pemerintah Indonesia kerap didikte Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Setelah kejatuhan Soeharto, dominasi Amerika Serikat di Indonesia sempat mengalami ketidakstabilan. Ditambah pula dengan berbagai krisis ekonomi global yang banyak memukul kekuatan ekonomi utama dunia, termasuk Amerika Serikat.
Untuk menstabilkan dominasinya di sejumlah kawasan, termasuk di Asia Tenggara, Amerika Serikat melakukan politik luar negeri yang semakin aktif mendorong berbagai konsep kemitraan regionalisme, terutama dalam bidang ekonomi. Akan halnya memudarnya pengaruh lembaga keuangan kapitalisme, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, berusaha digantikan dengan lembaga-lembaga keuangan finansial lain yang terlihat berbeda, seperti OECD dan IFC (di bawah Bank Dunia) yang berbarengan dengan ekspor kapital melalui perusahaan-perusahaan keuangan raksasa Amerika Serikat—seperti Citi Bank Group dan Goldman Sachs.
Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali Indonesia menjadi “good boy” Amerika Serikat. Presiden SBY bahkan pernah menyebut Amerika Serikat sebagai tanah air keduanya. Di masa pemerintahan SBY, Indonesia merupakan salah satu “mitra kesayangan” Amerika Serikat. Itu misalnya tampak dari kesepakatan kemitraan komperehensif (comperehensive partnership) antara Indonesia dan Amerika Serikat yang ditandatangani pada 2010. Hingga 2011, investasi Amerika Serikat merupakan yang terbesar ketiga, dengan pertambahan hingga US$ 1,5 miliar.
Ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, hubungan baik itu semakin erat. Obama, yang pernah tinggal di Indonesia di masa kecilnya, melanjutkan bantuan-bantuan bilateral yang selama ini dikucurkan Amerika Serikat.
Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat [USAID] rutin menggelontorkan dana untuk Indonesia. Tidak kurang US$ 20 juta per tahun untuk program pinjaman kredit development credit authority. Di bidang pendidikan, terutama pendidikan tinggi, pemerintah Amerika Serikat sejak 2010 hingga 2014 telah menginvestasikan lebih dari US$ 165 juta untuk program Fullbright Indonesia Research Science and Teknology (FIRST). Kemudian, USAID memberikan dana US$ 20 juta dalam bentuk beasiswa dan US$ 83 juta untuk pelatihan guru.
Di bidang pembangunan, Amerika Serikat melalui program Millenium Challenge Corporation (MCC) juga telah melakukan berbagai bentuk investasi dalam bidang energi terbarukan, gizi ibu dan anak, serta dukungan untuk memodernisasi sistem alat publiknya. Selain itu, Amerika Setikat membentuk OPIC untuk mendukung program ekonomi mikro di Indonesia.
Kerja sama tersebut belum meliputi kerja-kerja sama lain yang juga sudah disepakati, seperti di bidang iklim dan lingkungan, pertahanan dan keamanan, serta aturan dan penegakan hukum. Bisa dibilang, Amerika Serikat menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Asia.
Namun, itu semua bukan tanpa pamrih. Sesungguhnya banyak kepentingan Amerika Serikat yang tidak kecil terhadap Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kedudukan yang penting di Asia, terutama di Asia Tenggara.
Kemitraan komperehensif Indonesia dan Amerika Serikat itu bagaikan hubungan antara pihak yang akan selalu dikendalikan dan dieksploitasi dengan pihak yang akan selalu mengambil keuntungan dan mengendalikan untuk keuntungan nasional mereka. Kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka menjadi benar-benar memprihatinkan. [*]