Ilustrasi: Bung Karno/LIFE

Koran Sulindo – Soekarno terlihat terharu pagi itu. Pada 7 Maret 1954 itu ia dijadwalkan menutup acara konferensi ulama seluruh Indonesia di Istana Bogor, Jawa Barat. Konferensi yang dihadiri lebih kurang 35 orang ulama terkemuka seluruh Indonesia itu diselenggarakan sejak 4 hari sebelumnya di Cipanas, Puncak.

Konperensi itu antara lain membicarakan hubungan hukum agama dengan hukum negara, ketika republik itu baru berusia 9 tahun. Keputusan alim ulama inilah yang membuat Bung Karno tercenung pagi itu: Presiden Republik Indonesia adalah Penguasa Negara (Walijul Amri Danuri), Soekarno adalah pemimpin yang wajib ditaati dan dipatuhi umat Islam, selama tidak menyalahi syariat Islam.

Sebelumnya, pertemuan dibuka Menteri Agama K.H. Maskur sekitar pukul 9.30 WIB, disusul pembacaaan laporan keputusan-keputusan konperensi oleh Kyai Daud Rusdi dari Palembang.

Setelah itu giliran Presiden Soekarno berpidato. Ia memulai dengan pengantar suatu bangsa jang ingin merdeka harus mempersatukan semua golongan, terutama golongan agama dan nasional.

“Dan perjuangan kita meniadakan penjajahan baik politik dan ekonomis kini belum selesai dan tidak akan berhasil jika kita terus-menerus bertengkar antara kita sama kita!”

Menurut Bung Karno itu tetap tak berarti Islam harus tunduk kepada yang bukan Islam.

“Melainkan persatuan itu adalah sekedar perkawinan, koordinasi di dalam perjuangan menyempurnakan negara kita ini. Negara Republik Indonesia hanyalah sekedar wadah jang harus kita sempurnakan dan di dalam mana kita dapat mengembangkan agama kita sebaik-baiknya. Dapatkah kita sempurnakan air di dalam gelas, kalau gelas itu retak, sekalipun terbuat dari emas?”

Konon, pemberian nama sekelas Sultan kepada Bung Karno saat itu untuk mengimbangi pengaruh Darul Islam,  yang didirikan S.M. Kartosoewirjo, yang makin membesar di beberapa wilayah Indonesia. Kartosoewirjo bahkan saat itu didapuk menjadi Imam, antara lain oleh Kahar Moezakkar di Sulawesi Selatan dan Teungku Muhammad Daud Beureueh di Aceh.

Dalam konteks Republik Indonesia yang tidak mempunyai raja atau sultan, tetapi Presiden Republik, maka kedudukan presiden mempunyai kekuatan hukum seperti sultan, seperti dinukil dari hadits nabi Muhammad.

Itu memang gelar politis, dan Bung Karno tahu benar itu hanya siasat menandingi sang Imam Kartosoewirjo. Negara tak boleh kalah oleh upaya memecah belah negara, apapun alasannya.

Toleransi

Namun lebih dari segalanya, toleransi adalah hal utama yang selalu ditekankan Soekarno, baik dalam buku-bukunya, kebijakan politik,  maupun pidato-pidatonya. Sejak dari mula Bung Karno menetapkan kepercayaan pada Tuhan adalah yang utama dan dasar segalanya dalam kehidupan sehari-hari dan berbangsa.

“Kami yang hidup di negara kami, yang berjuang dan berkorban untuk negeri, mencoba mengamalkan toleransi yang menurut kami adalah takdir Tuhan. Mungkin bisa dibantah, tapi toleransi adalah pusat dan nilai utama orang Indonesia,” kata Presiden Soekarno, dalam pidatonya ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Penghargaan dari universitas paling prestisius dalam ilmu keislaman itu pada tokoh dari negeri yang bukan berdasar Islam itu konon disebut sebagai “balas budi” pada Bung Karno.

Kisah itu bermula saat Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser ingin menutup Al Azhar karena melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar ingin bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaan Nasser.

Mantan Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum’ah, menceritakan reaksi Bung Karno pada niat Nasser itu. “Apakah engkau bakal menghapus Nil? Apakah engkau bakal menghapus piramid? Kita tidak mengenal kalian sama sekali kecuali dengan Al Azhar!”

Bung Karno juga mengatakan Al Azhar dan Mesir ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Al Azhar adalah Mesir dan Mesir adalah Al Azhar.

Kemarahan Bung Karno pada Nasser itu terjadi 1959. Setelah itu, terbit undang-undang yang menyatakan Al Azhar adalah rujukan keislaman seluruh dunia, bukan hanya sebatas Mesir saja. Universitas Al-Azhar batal ditutup.

Pemikir Islam

Soekarno juga seorang pemikir Islam, mungkin bukan yang paling cemerlang, tapi jelas salah satu yang paling berpengaruh, dan pengaruhnya terasa hingga negara-negara yang pernah dilawatinya.

Memang pertama-tama, ia adalah seorang pemikir kebangsaan, seorang nasionalis tulen, yang sangat aktif dalam pergerakan kebangsaan. Pemikiran awal Bung Karno tentang Islam yang masyhur dan berpengaruh  adalah penyatuan Nasionalisme-Islamisme-Marxisme. Gagasan ini diterbitkan di Suluh Indonesia Muda pada 1926.

Soekarno baru secara khusus mendalami Islam ketika belajar di Bandung dan berguru langsung di bawah bimbingan A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis). Ia tetap belajar Islam melalui surat-suratan dengan Hassan saat ia ditahan di Pulau Endeh pada 1933. Di sana, ia minta dikirimi banyak buku-buku Islam.

Surat-surat Endeh ini berisi banyak hal tentang pergulatan jiwa Soekarno dalam mendalami Islam, berdiskusi tentang Islam dan penerapannya di zaman itu. Surat menyurat ini berlangsung antara Desember 1934 hingga Oktober 1936. [Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Surat-surat Islam dari Endeh; 1965)

Namun Islam tak berhenti hanya menjadi keimanan personal. Menurut Bung Karno, Islam is progress, Islam adalah kemajuan. Islam menurutnya adalah barang baru, barang baru yang lebih sempurna, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu, karena selalu berproses. Progresif.

“Progress berarti pembikinan baru, creation baru, – bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi zamannya “chalifah-chalifah” yang besar. Kenapa tokh orang-orang politik Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya chalifah-chalifah yang besar” itu?”

Itu suara Bung Karno pada 1936 dari wilayah terpencil di Flores!

Pahlawan Islam dari Nusantara

Pada 30 September 1960 itu Presiden Soekarno dijadwalkan memberikan pidato di hadapan Sidang Umum PBB XV. Tapi tak seperti kepala negara lainnya, sewaktu berpidato ia menyuruh ajudannya Kolonel Sabur tetap berdiri di sampingnya agak di belakang selama ia berpidato.

Dalam pidato yang kelak ia beri judul “To Build the World Anew”, Membangun Tatanan Dunia yang Baru, itulah untuk kali pertama di hadapan sidang PBB, ayat-ayat suci Alquran dibacakan.

“Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur’an berkata: ‘Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu’,” bunyi paragraf ke-4 pidato Bung Karno itu.

Ayat yang ia kutip adalah petilan surat Al-Hujarat (49:13), yang berisi konsep kebangsaan yang dari sudut pandang Islam.

Konon, setelah pidato yang menggemparkan itu, banyak pemimpin negara Islam, termasuk Saudi Arabia merasa kecolongan. Sebelum-sebelumnya, tidak satu pun kepala negara yang pernah mengutip ayat suci Alquran dalam pidatonya. Hanya Bung Karno.

Karenanya, ia kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika. Penobatan itu dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara-negara Asia Afrika di Kairo, Mesir, yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok, pada 1961.

Ini hanya salah satu anekdot yang terkenal. Beberapa diantaranya sering ditulis ulang baik dalam makalah atau tulisan di media massa. Cerita lain, penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Khrushchev mengundang Soekarno ke Moskow pada 1961. Bung Karno sudi datang jika Soviet dapat menemukan makam Imam Bukhari, salah seorang perawi hadits paling masyhur. Khrushchev menyuruh pasukan elitenya untuk menemukan makam yang dimaksud Bung Karno.

Akhirnya makam Imam Bukhari itu ditemukan di Samarkand dalam keadaan tidak terawat. Soviet lalu memugar makam itu dan Bung Karno akhirnya memang menginjakkan kakinya ke Moskow, dan ziarah ke makam Bukhari pada pada 12 Juni 1961.

Kisah lain adalah soal Bung Karno menghijaukan padang Arafah di Arab Saudi. Atau mengembalikan keberadaan Masjid Biru yang terletak di Kota Saint Petersburg Rusia setelah mengunjunginya pada tahun 1956.

“Tanpa Sukarno mungkin masjid indah yang didirikan tahun 1910 ini sudah hancur sebagaimana masjid dan gereja lainnya,” kata imam masjid, Mufti Ja’far Nasibullah, sebagaimana dikutip Aji Surya, diplomat alumnus Pesantren Gontor yang bertugas di Rusia, dalam “Segenggam Cinta dari Moskwa: Catatan Perjalanan di Rusia”.

Dari berbagai kisah itu Bung Karno bisalah dimasukkan sebagai praktisi Fiqh Siyasah Dauliyah paling jempolan, meski ia mengemasnya tak selalu dengan menamakan secara Islami.

Fiqh Siyasah Dauliyah, seperti dikutip Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya, Rijal Mumazziq Z, dalam tulisannya “Bung Karno, Islam dan Politik Internasional”, adalah politik internasional yang melibatkan satu negara dengan negara lain dalam berbagai urusan.

Menurut Rijal, Bung Karno jelas bukan pakar fiqh siyasah yang pandai mengutip dalil maupun landasan tekstual historis berdasarkan teks keislaman di masa lampau. Namun dalam strategi-taktis, Bung Karno lihai. Sangat lihai.

Bung Karno mampu mempersatukan bangsa-bangsa kulit berwarna untuk duduk setara dan menumbuhkan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955, saat Indonesia baru berusia 10 tahun. Bung Karno membentuk Non-Blok, sebuah antitesa kedua blok di atas. Dalam konsepsi politik Islam, ini adalah bentuk lain sikap tawassuth (moderat) dan Bung Karno bisa menjalaninya dengan mengutamakan sikap tawazun (seimbang).

Langkah lain lagi Bung Karno untuk mempersatukan negara- negara Islam dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA), Maret 1965, setelah sukses membentuk front Conference of New Emerging Force (Conefo). KH. Achmad Sjaichu, pengurus PBNU yang juga putra tiri KH. A. Wahab Chasbullah, ditunjuk sebagai sekretaris jenderal KIAA.

Melalui konferensi ini lahirlah Organisasi Islam Asia-Afrika (OIAA). Ketika KIAA membentuk OIAA, Sjaichu juga dipilih sebagai Presiden Dewan Pusat OIAA dan dikukuhkan Presiden Soekarno. Sayang setelah Bung Karno dijatuhkan dari kekuasaan, OIAA ini seperti mati suri hingga kini.

Bung Karno memang pemimpin yang tidak sempurna, namun lewat berbagai tindakan dan kontribusinya pada dunia Islam, ia patut dicatat dan terus diingatkan lagi untuk generasi kini. [Didit Sidarta]