Ilustrasi skandal Bank Century [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Putusan praperadilan terkait dengan kelanjutan kasus korupsi dana talangan Bank Century (Bank Mutiara) menuai kontroversi. Selain karena amar putusannya relatif baru, juga melibatkan nama mantan Wakil Presiden Boediono.

Amar putusan yang relatif baru itu berkaitan dengan perintah pengadilan agar menetapkan Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede serta nama-nama yang disebutkan dalam dakwaan terpidana Budi Mulya dinaikkan ke tahap penyidikan. Menanggapi putusan tersebut, segera berhamburan beragam komentar.

Akan tetapi, sebelum membahas berbagai komentar itu, ada baiknya kita kembali membaca dakwaan Budi Mulya sehingga putusan praperadilan tersebut tak baru-baru amat. Terlebih ketika melibatkan nama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia itu.

Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum pada KPK, Budi Mulya melakukan tindak pidana korupsi terkait pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi VI Gubernur BI, Budi Rochadi selaku Deputi VII Gubernur BI dan dua pemilik Bank Century yaitu Robert Tantular dan Harmanus H. Muslim.

Dalam dakwaan tersebut, nama Boediono disebut 67 kali. Dengan demikian, perintah putusan praperadilan yang menyebutkan nama Boediono dan lain-lain itu sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan mengherankan. Dakwaan terhadap Budi Mulya telah menyebutkan keikutsertaan mereka sejak awal dalam korupsi dana talangan Bank Century.

Lantas, apa kesalahan orang-orang tersebut? Berdasarkan dakwaan, mereka mengubah peraturan BI demi mengalirkan dana kepada Bank Century. Peraturan BI pada 30 Oktober 2008 mensyaratkan sebuah bank setidaknya memiliki rasio kecukupan modal (CAR) delapan persen. Sedangkan, CAR Bank Century pada 30 September 2008 hanya 2,35%. Dengan kata lain, bank tersebut sama sekali tidak layak mendapat dana talangan.

Perubahan terhadap Peraturan BI itu lantas dibahas pada 14 November 2008. Pembahasannya dibicarakan dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang diikuti Budi Mulya. Rapat yang ingin menetapkan secara final perubahan Peraturan BI tahun 2008 itu. Hasilnya, perubahan dianggap tergesa-gesa dan secara sengaja menguntungkan Bank Century. Di sinilah peran Budi Mulya dan para pejabat BI termasuk Boediono itu.

Menanggapi putusan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Intitute for Criminal Justice Reform ( ICJR) menganggap putusan itu menunjukkan hukum acara praperadilan di Indonesia belum detil dan lengkap. Sebabnya, hasil penelitian lembaga tersebut menemukan sejak 2013, hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda. Dalam beberapa kasus bahkan hakim masuk dalam pokok perkara.

Namun, umumnya, hakim menguji konteks formal praperadilan. Dari fakta itu, Indonesia disebut tidak memiliki pengaturan praperadilan yang memadai.

Demokrat
Respons yang sama disampaikan Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindoan dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu. Ia menilai, putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu tidak sesuai dengan hukum acara pidana maupun perluasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. Inti dari praperadilan, kata Jansen, sesungguhnya untu melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik.

“Pertanyaannya sekarang di mana kita akan meletakkan putusan ini dalam pranata aturan hukum kita. Itu maka kami katakan putusan ini telah menabrak aturan hukum. Putusan ini cacat hukum. Karena cacat maka tidak perlu dijalankan,” kata Jansen.

Jansen menuturkan, praperadilan itu kompetensinya hanya soal keabsahan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut. Meliputi menangkap, menahan, menggeledah dan menyita serta menguji penetapan seseorang sebagai tersangka. Bukan sebaliknya, malah memerintahkan seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Jika penyidik kemudian menaati putusan ini, maka logikanya, lanjut Jansen, orang yang menjadi tersangka itu tidak punya hak lagi untuk mengajukan praperadilan. Pasalnya, penetapan tersangkanya itu adalah perintah pengadilan. Maka, putusan ini menjadi aneh. Ia karena itu mendesak Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang bertanggung jawab meluruskan putusan praperadilan ini.

Barangkali, kata Jansen, ada yang mengatakan putusan tersebut progresif. Namun, jenisnya adalah progresif yang merusak. Seperti penilaiannya terhadap putusan itu, akan tetapi Jansen tidak menjelaskan mengapa Partai Demokrat mesti meradang dan menanggapi putusan itu secara serius. Pertanyaan ini, barangkali segera akan dijawab Jansen di kemudian hari. [KRG]