Perabot rumah tangga yang terbuat dari aluminium hampir pasti memenuhi dapur kita. Mulai dari wajan, baskom, teko, penanak nasi, bahkan cobek, semuanya sudah diproduksi dengan aluminium, bahan yang ringan dan mudah dibentuk. Bahan ini juga mudah dicuci, namun sulit menyerap minyak.
Tapi tahukah kita, betapa bahayanya aluminium bagi kesehatan? Pertanyaan ini dijawab dalam film bertajuk “Alumunium, Menurut Eksperimen Mandiri” (Alumnium in a Self-experiment). Film ini ditayangkan dalam Festival Film Sains (Science Film Festival) yang digelar secara daring di Indonesia mulai 12 Oktober hingga 30 November 2021.
Elizabeth Soegiharto, manajer Festival Film Sains Indonesia menjelaskan, film berdurasi 15 menit asal Jerman tersebut disutradarai oleh Carolin Conrady. Film menceritakan tentang aluminium yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia seperti produk alat makan, alat make-up, dan sebagainya.
“Aluminium dapat masuk ke tubuh melalui makanan, obat, yang dapat membahayakan tubuh seperti penyakit serius untuk manusia,” tutur Elizabeth dalam konferensi pers virtual pada Selasa, (12/10/2021). Kita selama ini kadang mendapatkan suatu makanan yang terasa getir atau pahit setelah dimasak dengan alat aluminium.
Padahal, saat kita memasak, tak ada bahan yang gosong. Semua bahan yang digunakan pun tidak mengandung unsur pahit. Jika sampai kita menemukan rasa pahit pada makanan, bisa jadi masalahnya muncul karena kita memasak bahan asam di dalam wadah berbahan aluminium. Asam bisa melarutkan bahan aluminium ke dalam masakan, dan itu berbahaya.
Bahan aluminium yang sudah larut ke makanan bisa masuk ke dalam tubuh. Bahayanya tak main-main. Dalam jangka panjang, aluminium yang tertimbun di dalam tubuh bisa menyebabkan masalah kesehatan, seperti menurunnya fungsi ginjal. Makanya, seperti diungkap dalam film tadi, kita sangat tidak disarankan menggunakan aluminium untuk memasak.
Selain film tentang aluminium tersebut, terdapat 16 judul film lainnya yang ditayangkan. Ia berasal dari 22 negara di dunia, dan sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Semuanya dipilih berkategori: edutainment keluarga, ilmu pengetahuan alam, ilmu hayati, dan teknologi, film pendek non-verbal, dan sains.
Festival Film Sains yang kembali diadakan Goethe-Institut untuk ke-12 kalinya tahun ini bertemakan “Kesehatan dan Kesejahteraan.” Harapannya, film-film tadi bisa mengajak para siswa-siswi SD-SMA di 52 kabupaten/kota yang menjadi audiensnya memperhatikan sisi kesehatan dan kesejahteraan, terutama selama masa pandemi.
Dr. Stefan Dreyer, direktur regional Goethe-Institut untuk Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, mengatakan bahwa isu kesehatan dan kesejahteraan kian penting pada masa ini dan kelak setelah pandemi berakhir. “Sebab itulah, pembahasan isu-isu ini secara terbuka menjadi penting pada masa sekarang,” kata Stefan.
Hilmar Farid, direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berharap, festival ini menginspirasi kita mengangkat tema-tema yang sepintas tampak berat, ilmiah, tapi dengan cara menyenangkan. “Tujuan akhir kita adalah memperkuat perangai ilmiah (scientific temper),” katanya ke media.
Dia juga berharap, festival ini dapat menginspirasi kita untuk mampu mengemas tema sains yang kerap dianggap berat dan serius menjadi lebih menarik. Lewat festival film sains, masyarakat diharap memiliki akses untuk menikmati sains tak hanya sebagai bagian dari pelajaran di sekolah, tapi dikemas dalam bentuk hiburan dan menyenangkan.
Selain sinopsis film “Alumunium, Menurut Eksperimen Mandiri,” Elizabeth pun membeberkan sinopsis empat film yang diputar dalam festival tersebut. Film kedua berjudul “Jejak Ekologis” (Dandelion the Ecological Footprint) yang juga berasal dari Jerman. Film yang disutradarai Patrick Schlosser ini berdurasi 25 menit.
“Film ini menceritakan makna jejak ekologis,” ujar Elizabeth. Penonton diajak bertanya kepada diri sendiri, ‘Benarkah kita membutuhkan semua hal yang kita konsumsi?’ “Dengan keadaan iklim saat ini, yang harus kita utamakan adalah kualitas, bukan jumlah barang yang kita miliki,” tutur Elizabeth.
Kemudian, film ketiga berjudul “Ada Apa Ini? Chris – Berita Bohong” (What Body is This? Chris – Fake News). Film berdurasi empat menit yang berasal dari Brazil ini dibesut sutradara Chico Bela. Film ini mengajak kita sebagai orang awam mampu menolak hoaks dengan menyaring informasi dan membuktikan kebenarannya dengan mengacu pada sumber yang benar.
Lalu film keempat berjudul “Belajar Bersama Tikus – Misteri Awan” (Programme with the Mouse – The Mystery of the Cloud) yang berasal dari Jerman. Film berdurasi 9 menit ini disutradarai Matthias Wegmann. Menurut Elizabeth, film ini menguak misteri bagaimana sebuah data disimpan dalam kotak awan di Internet.
Film kelima bertajuk “Knietzsche dan Kesehatan” (Knietzsche and Health) yang berasal dari Jerman. Film berdurasi tiga menit besutan sutradara Anja von Kampen ini, “menceritakan ihwal sistem kesehatan tubuh manusia yang harus bekerja dengan tepat agar kehidupan kita berjalan tanpa kendala,” kata Elizabeth menjelaskan.
Ke-17 film yang terpilih untuk festival akan diputar secara bergantian lewat platform Zoom di hadapan para penonton yang utamanya kalangan siswa-siswi di 52 kota di Indonesia. Di antaranya Jakarta, Tangerang, Aceh, Ambon, Bandung, Jayapura, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan beberapa kota lainnya.
Penikmat festival film tersebut terutama siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mitra Kementerian Luar Negeri Jerman. Namanya, “Sekolah: Mitra Menuju Masa Depan” atau PASCH. Di Indonesia, Goethe-Institut telah membina sebanyak 29 sekolah mitra yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.
Selain didukung inisiatif PASCH, Festival Film Sains tahun ini juga didukung banyak lembaga. Di antaranya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kedutaan Besar Republik Federal Jerman; Bildungskooperation Deutsch (BKD); SEAMEO STEM-ED; Universitas Paramadina; dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Sejak diluncurkan di Thailand pada 2005, Festival Film Sains konsisten mempromosikan literasi sains kepada pemuda di Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah, melalui komunikasi berbasis pengetahuan yang menghibur. Festival ini mulai diperkenalkan dan diadakan di Indonesia pada 2010.
Seiring perjalanan waktu, Festival Film Sains telah mengukuhkan diri sebagai yang terbesar di dunia untuk jenisnya. Tercatat, terlibat tak kurang dari 800.000 penonton di 28 negara selama edisi tahun 2020, termasuk 14.415 pengunjung dari Indonesia. Festival tahun ini diselenggarakan secara internasional di 23 negara. [AT]